Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK percuma Presiden Megawati Soekarnoputri menyempatkan diri berdansa dengan Presiden Jiang Zemin dalam perjamuan menyambut kunjungannya ke Republik Rakyat Cina pada 25 Maret 2002. Buah politik dansa-dansi itu mulai terasa khasiatnya dalam aliran investasi para taipan serta pemerintah Cina yang kian hari kian deras menuju Indonesia. Kedutaan Besar Cina di Jakarta mencatat, dari realisasi penanaman modal sebelumnya, sekitar US$ 300 juta, dalam dua tahun jumlah itu sudah berlipat menjadi US$ 1,5 miliar.
Cina, yang resminya masih menganut ideologi komunis, memang akhirnya tak kuasa membendung penetrasi kapitalisme yang merangsek. Bahkan belakangan Partai Komunis Cina sendiri telah memasukkan kalangan pengusaha/kapitalis ke dalam keanggotaan mereka. Inilah yang tak terbayangkan oleh para pemikir Marxis sebelumnya meskipun isyaratnya sudah tampak sejak Cina berada di bawah kendali (mendiang) Deng Xiaoping. Dengan jurus baru ini, terbukti Cina melaju kencang. Tapi mengapa kini mereka begitu gencar menanam duitnya di luar negeri?
Dengan sekitar 1,3 miliar penduduk, ditopang pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 9,1 persen, tak pelak Cina bak naga raksasa dengan lokomotif bermesin turbo bagi perekonomian seluruh Asia Pasifik. Apa pun geliatnya, pasar superjumbo itu akan berpengaruh dan turut menyeret negeri di sekitarnya. Tak terkecuali Indonesia, yang nilai perdagangannya dengan Cina pada tahun lalu mencapai sekitar US$ 5 miliar?dengan Indonesia mencatat surplus sekitar US$ 800 juta.
Belakangan pemerintah Cina merasa perlu "mendinginkan" ekonominya yang dianggap terlalu atraktif. Mereka berencana mulai menekan pertumbuhan, kalau bisa, sampai tujuh persen saja. Langkah ini sama sulitnya dengan usaha menggenjot, sehingga para pengamat Cina tetap memprediksi pertumbuhan ekonomi mereka tahun ini paling mentok hanya akan menurun sampai 8,2 persen. "Mereka harus memikirkan juga efek guncangannya yang bisa amat besar jika terlalu cepat," kata ekonom Universitas Indonesia, Muhammad Chatib Basri.
Seperti Chatib, ekonom Centre for Strategic and International Studies, Mari Pangestu, menilai perlambatan bukan faktor utama pendorong gencarnya investasi Cina. Sudah sejak 2-3 tahun lalu, sejak mereka bersiap masuk sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), imbauan untuk looking out sudah dikumandangkan. Mereka sadar, dengan penduduk begitu besar, selalu ada kemungkinan Cina hanya akan menjadi korban negara produsen yang mengincar pasar atau buruh murah.
"Mereka juga harus membangun pasar ekspor untuk produknya," kata Mari. Pasar hampir identik dengan populasi, dan itulah yang mereka bidik di Indonesia?yang berpenduduk sekitar 230 juta. Tak perlu jauh, tengok saja perkakas dapur, bahan pangan, atau barang elektronik rumah tangga. Ada begitu banyak jenis yang ternyata jauh-jauh didatangkan dari Negeri Cina, mulai peniti, garpu dan mangkuk mi, hingga sepeda motor dan mesin cuci.
Inilah yang membuat investasi pengusaha Cina di sektor perdagangan di Indonesia cukup besar, meski masih jauh di bawah sektor yang lebih mengandalkan sumber daya alam seperti minyak dan gas atau agro. Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada Januari 2000-Juni 2004 saja investasi di sektor perdagangan mencapai US$ 48,85 juta. Investasi di sektor pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi US$ 14,3 juta. "Tapi data itu bisa misleading karena realisasi sesungguhnya bisa jauh lebih besar. Hanya saja tidak dilaporkan," kata Kepala BKPM Theo F. Toemion kepada TEMPO, yang menemuinya saat dia meresmikan sebuah acara di Medan, Kamis pekan lalu.
Komposisi terbesar investasi Cina ini memang tak terpantau di bawah kewenangan Theo karena berada di sektor minyak dan gas. Nilainya, menurut keterangan Konsul Dagang Kedutaan Besar RRC, Tan Weiwen, sekitar US$ 1 miliar dari total US$ 1,5 miliar volume duit Cina yang ditanam di Indonesia. Hitungan Tan tentu saja belum memasukkan limpahan modal lain yang saat ini masih dalam tahap kesepakatan. Padahal jumlahnya tak kalah besar dan justru berada di sektor sekunder seperti hotel dan restoran.
Dalam catatan BKPM, ada enam proyek raksasa yang berlokasi di Papua dengan total nilai di atas US$ 6 miliar. Menurut seorang petinggi di BKPM, proyek-proyek tersebut nantinya akan menempel dengan investasi di sektor minyak dan gas di wilayah itu. "Mereka mengincar pembangunan kota dan seluruh fasilitasnya di tiap lokasi penambangan minyak dan gas," katanya, "mirip Freeport saat membangun Tembaga Pura." Tapi, sekali lagi dia mengingatkan, semua angka itu baru sebatas kesepakatan. Realisasinya masih jauh dan sebenarnya belum beranjak dari basis sumber daya alam.
Kemungkinan realisasi yang lebih dekat adalah investasi pemerintah RRC melalui Bank of China dalam bentuk pinjaman-pinjaman untuk proyek infrastruktur. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, yang juga Menteri Perhubungan ad interim, Soenarno, mengatakan kesepakatan di bidang ini mengalir lancar setelah pertemuan Megawati dan Perdana Menteri Zhu Rongji pada 2002 itu. Ada proyek untuk kelistrikan (PLTU), kereta api, pembangunan jembatan, serta jalan tol dan sumber daya air. "Cukup besar-besaran, padahal sebelum itu biasa saja," katanya.
Proyek yang sudah dicanangkan Presiden Megawati awal bulan ini adalah pembangunan jembatan sepanjang 5,43 kilometer yang menghubungkan Surabaya-Madura (Suramadu) di Jawa Timur. Investasi Cina di proyek senilai Rp 2,3 triliun itu, menurut Soenarno, mencapai 85 persen. "Mereka membiayai bentang tengah sebesar Rp 1,5 triliun, sementara sisi Madura dan Surabaya akan ditanggung oleh APBN dan APBD," ia menambahkan.
Proyek yang tak kalah gede adalah pembangunan monorel di Jakarta. Dana dari Cina itu mengucur dalam bentuk pinjaman melalui dua konsorsium yang tergabung dalam Jakarta Monorail, yaitu konsorsium ITC dan konsorsium dari Singapura, Omnico Singapore. Berapa persisnya komposisi pendanaan yang dipenuhi Cina memang belum jelas. Tapi, sebagai gambaran, seluruh proyek ini bernilai tak kurang dari US$ 630 juta atau sekitar Rp 5,6 triliun. Sebanyak US$ 480 juta di antaranya berupa pinjaman lunak, dengan rincian: US$ 360 juta dari pinjaman ini datang dari bank luar negeri dan sisanya, US$ 120 juta, berupa pinjaman rupiah.
Masih menurut Soenarno, di proyek PLTU, pemerintah Cina sudah menyanggupi pendanaan senilai US$ 400 juta. Untuk pembangunan double track (rel kereta api jalur ganda) Cirebon-Kroya di Jawa Tengah, mereka siap dengan US$ 70 juta. Yang masih harus dibicarakan ialah proyek jembatan di Selat Sunda dan bendungan. Untuk jembatan Selat Sunda, kedua pemerintah sudah menandatangani kesepakatan awal senilai US$ 1,8 juta untuk pelaksanaan studi bersama para ahli kedua negara. Tapi Amerika juga menawarkan sekitar US$ 7,2 miliar untuk Selat Sunda. Selain itu, kata Soenarno, "Cina sudah ngintip mau masuk juga di sebagian proyek tol trans-Jawa seribu kilometer."
Dengan gambaran investasi gencar di semua sektor seperti itu, Chatib Basri menyebut Cina saat ini sangat mirip dengan Jepang pada era 1970-an. "Mereka ini raksasa yang begitu lapar. Semua mereka lahap," katanya. Tapi benarkah Cina sendiri sudah menganggap Indonesia sebagai surga yang paling diincar saat ini? Tan Weiwen menggeleng saat ditanyai hal ini. Masih ada banyak persoalan di sini yang membuat mereka lebih bernafsu menenteng tas uangnya ke Thailand, Singapura, atau Malaysia. Untuk yang satu ini, dansa saja tampaknya tak cukup.
Y. Tomi Aryanto, Faisal Assegaf, Danto (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo