Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Si Bung Tak Ada Lagi

Sutomo, 61, meninggal dunia di Padang Arafah saat menunaikan ibadah haji. Almarhum seorang tokoh pejuang 1945. berperan pada pertempuran di Surabaya.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Si Bung Tak Ada Lagi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
HANYA ada tiga tokoh Indonesia yang panggilan Bung tetap lekat di depan nama mereka: Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo. Rabu lalu Bung Tomo menyusul Bung yang lain yang telah tiada. Ia meninggal 7 Oktober siang ketika sedang wukuf di Padang Arafah dalam rangka menunaikan ibadat haji, mungkin karena udara panas yang menyengat. Tokoh yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 ini pernah menduduki tempat cukup penting dalam sejarah Indonesia. Sebelum kemerdekaan, ia tokoh pemuda Jawa Timur yang cukup menonjoh Ia menjadi anggota Indonesia Muda, KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) dan juga sebagai sekretaris Parindra cabang Surabaya. Semasa penjajahan Jepang ia bekerja sebagai wartawan di kantor berita Domei. Ia merupakan satu-satunya tokoh luar Jakarta dari 80 pemuda yang terpilih sebagai anggou Gerakan Rakyat Baru pada Juli 1945 di samping tokoh lain seperti B.M. Diah, Adam Malik, Wikana, Sukardi, Asmara Hadi, dan S.K. Trimurti. Pamor pemuda Sutomo meluncur tinggi tatkala pertempuran mulai pecah di Surabaya pada awal Oktober 1945. Sutomo tiba di Surabaya dari Jakaru pada 12 Oktober 1945 tatkala situasi Surabaya makin bergolak. Ia tiba dengan suatu gagasan yang brilyan yang segera dilaksanakannya. Ia mendirikan pei mancar radio yang dinamakannya Radio Pemberontakan. Tujuannya untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat. Suara Bung Tomo yang bersemangat, menggelegar dan bergelora dengan segera melambungkannya menjadi tokoh "pemberontak" yang termashyur. Pidatonya selalu diawalinya dengan berulangkali meneriakkan "Allahuakbar". I1ta-katanya keras, gampang dicerna ia segera dikenal sebagai orator ulung setingkat Bung Karno. Berkat himbauannya para warok dan jagoan mulai membentuk laskar-laskar rakyat. Bahkan para kiai dari banyak pesantren seantero Jawa Timur tergugah untuk mengerahkan pada santrinya ke Surabaya untuk terjun dalam "perang sabil" elawan Belanda dan antek-anteknya. Bung Tomo kemudian juga membentuk risan Pemberontakan Republik Indonesia. "Waktu itu Bung Tomo berambut panjang, bersepatu lars, pistol di kiri-kanan pinggang dan selalu dikawal beberapa pemuda yang berselempangkan rentengan peluru di tubuh mereka," kenang Soetarto sesepuh PPFN yang waktu itu membuat film dokumenter perjuangan di Surabaya. Ktut Tantri, waniu Amerika yang kemudian bergabung dengan para pejuang RI, juga punya kesan mendalarn pada almarhum. "Waktu itu saya lihat dia sebagai Robin Hood kecil yang gagah, baik hati, dan penuh humor. Ini tercermin dalam sikapnya menghadapi para tahanan kulit putih waktu itu. Ia sangat baik terhadap mereka, padahal dalam pidat-pidatonya dia begitu berapi-api membenci orang Eropa. Dapat dilihat ia tidak membenci orang Belanda sebagai manusia Yang dibencinya pemerintahan Belanda," ceritanya pekan lalu. Bung Tomo kemudian ikut serta dalam persiapan pembentukan Tentara Nasional Indonesia dan di sini ia pernah mencapai pangkat letnan jenderal. Ia pernah menjadi anggota DPR pada tahun 1950-an dan pada 1955 menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang pada Kabinet Burhanuddih Harahap. Dia Milik Bangsa Semangatnya belajar tak pernah henti. Ia meneruskan sekolah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, tapi terhenti karena kesibukan dagang. Kuliahnya kemudian diteruskan di FE-UI. Sekitar 1966 ia ikut dalam usaha penumbangan Orde Lama sebagai anggota KAMI dan juga menjadi ketua Kesatuan Aksi Pengemudi Becak Indonesia (KAPBl). Sebagai tokoh pejuang ia mempaoleh Hak Pengusahaan Hutan seluas 115 ribu hektar di Kalimantan Barat yang diusahakan lewat PT Ahyu Balapan. Pada 1970-an ia sering memberi ceramah di hadapan para mahasiswa. Bukunya Himbauan yang ditujukan pada pemerintah dan kalangan agama dilarang beredar pada 1977. Berbagai pidatonya waktu itu dinilai menghasut mahasiswa. Atas tuduhan subversi, bersarna Mahbub Djunaidi dan Ismail Suny ia ditahan selama setahun pada 1978. Begitu meninggal di Padang Arafah kabarnya ia langsung dirnakarnkan di sana. Belum jelas apakah makamnya akan dipindahkan ke Indonesia. Namun menurut Ktut Tantri, sebaiknya Bung Tomo dimakamkan di sini. "Kalian tidak dapat membiarkan dia dikubur di sana. Dia milik bangsa Indonesia. Dia harus kembali ke tanah tumpah darahnya," ujarnya penuh emosi pada Farida Sendjaja dari TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus