Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Antrean Pelangsir dan Tangki di Kebun

Pemerintah pusat mengalah menghadapi ancaman blokade batu bara dari Kalimantan. Penambahan kuota BBM hanya solusi sementara.

4 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada pemandangan "tak biasa" di stasiun pengisian bahan bakar di kawasan Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis siang pekan lalu. Antrean kendaraan yang kerap mengular hingga satu kilometer tak tampak lagi. Hanya ada tiga-empat kendaraan roda empat dan dua yang bergantian mengisi bensin dengan tertib.

Terbatasnya kuota bahan bakar minyak bersubsidi di wilayah ini membuat pemerintah daerah terpaksa menyiasatinya dengan menerbitkan aturan baru. Pemilik kendaraan bermotor tidak lagi bisa seenaknya mengisi penuh tangki kendaraannya, yang terkadang sudah dimodifikasi melebihi­ kapasitas semestinya. "Kami batasi 25 liter Premium bagi kendaraan roda empat," kata Wali Kota Balikpapan Rizal Effendy.

Adapun sepeda motor dibatasi hanya boleh minum 10 liter Premium per hari. Pemerintah juga melarang SPBU di dalam kota melayani pengisian solar bersubsidi pada siang hari. Truk-truk peminum solar dalam jumlah besar hanya bisa mengisi tangkinya di stasiun pengisian di luar kota. "Boleh di kota, tapi di malam hari saja. Itu untuk mengatasi kemacetan pengguna jalan di sekitar SPBU," Rizal menambahkan.

Namun tidak semua kepala daerah di Kalimantan punya sikap tegas seperti Rizal. Ketimbang pusing berhadapan dengan warganya sendiri, para gubernur di wilayah ini lebih suka menekan pemerintah pusat dan menuntut penambahan kuota BBM bersubsidi.

Para gubernur itu, yang tergabung dalam Forum Kerja Sama Revitalisasi Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan, dan diketuai Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin, memberi tenggat hingga akhir Mei lalu. Ada pula kelompok yang menebar ancaman: jika kuota tak ditambah, mereka akan memblokade pasokan batu bara dari Kalimantan ke Jawa.

Blokade benar-benar dilakukan di beberapa wilayah sepanjang dua pekan lalu. Awalnya dilakukan di Sungai Barito yang melintas di Kabupaten Barito Kuala. Gerakan Dayak Kalimantan Tengah, yang diketuai Yansen Binti, juga mengerahkan seri­buan anggotanya untuk melakukan hal serupa di Kabupaten Barito Selatan.

Komite Nasional Pemuda Indonesia di Kalimantan Timur tak mau ketinggalan. Mereka mengerahkan 1.100 anggotanya untuk menutup jalur Barito di bawah Jembatan Kalahien. Begitu pula kelompok yang menamakan diri Kaltim Menggugat, pimpinan Muchlis. Menumpang 10 perahu kelotok, mereka nekat mencegat dan memaksa lima tongkang batu bara agar bersandar di Mahulu dan Loa Janan, saat sedang melintasi Sungai Mahakam di Samarinda.

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak menyatakan aksi blokade berjalan tanpa restunya. "Itu merupakan pelanggaran pidana," katanya. "Mereka itu sudah dewasa. Risiko ditanggung sendiri bila nanti berurusan dengan pihak hukum. Sebaiknya jangan dilanjutkan," ujarnya. Ia berjanji mengedepankan strategi diplomasi, dengan cara melobi Jakarta melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

PT Perusahaan Listrik Negara mengaku tak terlalu khawatir dengan ancaman blokade batu bara dari Kalimantan. Kendati sebagian besar pasokan listrik di Jawa-Bali bersumber dari kilang bertenaga batu bara, cadangan dianggap masih cukup. "Rata-rata cadangan untuk operasi 25 hari penuh. Belanda masih jauh…," Bagiyo Riawan, Direktur Pengadaan Strategis PLN, berseloroh. "Para gubernur itu kan bagian dari pemerintah. Kalau benar melakukan blokade, apa mereka enggak nalar?"

Toh, kombinasi antara lobi dan blokade di sungai itu terbukti mujarab. Setelah bertemu dengan empat gubernur dari Kalimantan dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, Rabu pekan lalu, Jero Wacik menyetujui penambahan kuota Premium dan meningkatkan pasokan BBM nonsubsidi dalam jumlah tak terbatas untuk Kalimantan. "Kalau tidak ditambah, batu bara tidak boleh keluar dari Kalimantan. Ini jadi politik, padahal sebenarnya persoalannya adalah meminta tambahan BBM. Ini jalan keluar sementara."

l l l

Lain kisah di Balikpapan, beda pula cerita di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Di sana, tak ada satu pun kendaraan antre di SPBU karena pengelola memasang tanda bahwa tak ada lagi bensin atau solar di tangki mereka. Antrean kendaraan hingga ratusan meter justru terjadi untuk menunggu pasokan BBM langsung dari depot PT Pertamina. Antrean seperti itu bisa berlangsung 3-5 hari. Begitu truk tangki BBM datang, isinya akan langsung ludes dalam sekejap.

Situasi itu ini jelas merugikan masyarakat. Mereka yang antre BBM itu kemudian menjualnya lagi secara eceran di warung-warung sepanjang jalur trans-Kalimantan, yang menghubungkan rute Balikpapan-Banjarmasin. Harganya tak tentu, tapi pasti jauh lebih tinggi dari harga di SPBU resmi, yang hanya Rp 4.500 per liter. Kadang harga eceran di warung bisa Rp 7.000 atau bahkan hingga Rp 10 ribu per liter bila pasokan benar-benar langka.

Di Kabupaten Berau, yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia, harga eceran itu bisa lebih menggila. Awal tahun ini, misalnya, harga Premium eceran pernah melambung sampai Rp 50 ribu di kawasan perbatasan, seperti Nunukan, Bulungan, Malinau, dan Berau.

"Saya sudah capek mengurusi masalah BBM," kata Bupati Berau Makmur Hapka, beberapa waktu lalu. Ia mengaku sudah patah semangat dengan masalah yang tak ada ujungnya ini. Apalagi berbagai institusi yang semestinya bertindak justru diam saja.

Ia mencontohkan bagaimana personel kepolisian tidak bersikap saat mendapati sebuah skuter yang mampu menampung hingga 80 liter Premium di SPBU. "Polisinya diam saja, meski dia berjaga di SPBU. Anak kecil saja tahu bahwa Vespa itu dimodifikasi. Tak ada lagi mesinnya, karena sudah diganti dengan jeriken," Makmur bercerita. "Cuma didorong saja setelah mengisi BBM."

Petugas SPBU, kata Makmur, juga membiarkan praktek penimbunan BBM dengan modus seperti itu. Terkesan sudah ada kerja sama antara penimbun BBM dan petugas SPBU. "Kami pernah coba ikut menjaga SPBU, tapi malah petugas Satpol PP dipukul penimbun BBM. Ya sudah, biarkan saja seperti itu."

Mereka yang masih mencoba antre di SPBU harus benar-benar punya kesabaran tinggi. "Paling cepat dua hari baru dapat BBM," kata Suryanto, seorang warga Berau.

Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sudah tiga bulan lebih antrean di SPBU selalu padat dan didominasi oleh kendaraan roda dua yang menggembol tangki gendut. Mereka bisa bolak-balik 5-6 kali saban hari. Setiap kali dapat BBM, mereka akan segera menguras isi tangkinya, lalu balik lagi untuk antre ke SPBU. Warga setempat menyebut mereka sebagai "pelangsir minyak".

Melihat hal itu, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengeluarkan instruksi pembatasan pada 8 Mei lalu. Di situ disebutkan bahwa kendaraan roda dua hanya diizinkan mengisi maksimal 6 liter Premium per hari. Truk dan bus kecil hanya boleh menyedot paling banyak 40 liter solar, bus besar 50 liter, sedangkan minibus hanya boleh 25 liter tiap hari. Tapi instruksi Gubernur ternyata tak cukup sakti. Antrean panjang tetap saja terjadi dan diisi para pelangsir minyak.

Wakil Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Fahmi Harsandono mengatakan solusi dengan menambah kuota pun tak akan banyak berarti. Dia menunjuk banyaknya kendaraan industri pertambangan dan perkebunan yang dibiarkan minum solar bersubsidi. "Wong, mereka punya tangki penampungnya di tengah kebun. Ada satu perusahaan yang tiap bulan belanja BBM-nya bisa Rp 40 miliar," katanya.

Y. Tomi Aryanto, S.G. Wibisono, Karana W.W.


Fahmi Harsandono:
Kuota Berapa Pun Akan Habis Disedot

Dia berulang kali memergoki dan membongkar praktek penyelewengan dalam penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi. Dengan pengalaman itu, Wakil Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fahmi Harsandono masygul melihat tuntutan para kepala daerah di Kalimantan agar pemerintah pusat menambah kuota Premium dan solar di daerahnya. "Kalau kendaraan industri perkebunan dan pertambangan yang ikut minum solar bersubsidi tak ditertibkan dulu, berapa pun banyaknya kuota yang diberikan pasti akan habis disedot," ujarnya saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu.

Apa betul jatah BBM bersubsidi untuk Kalimantan sangat kurang dibanding kebutuhannya?

Volume BBM subsidi secara nasional tahun ini adalah 40 juta kiloliter. Dari jumlah itu, 37,5 juta kiloliter sudah dibagi kuotanya per daerah. Tambahan 2,5 juta kiloliter lagi dibagi setelah APBN Perubahan ditetapkan. Jumlah itu memang pas-pasan. Karena itu, di beberapa daerah kami menginstruksikan agar mereka proaktif melakukan penghematan. Barangnya cuma segini, ya, marilah kita berhemat sesuai dengan jumlah yang ada. Sebab, memang belum ada keputusan politik untuk menambah kuota. Pertamina sendiri tidak berani asal memberi. Sebab, kelebihan kuota tahun lalu sebesar 1,2 juta kiloliter saja sampai saat ini belum disetujui oleh DPR untuk dibayar. Kalau sekarang permintaan tambahan itu diberikan begitu saja, lalu ada kelebihan kuota, nanti siapa yang bayar?

Saat ini berapa kuota yang tersisa?

Sampai akhir Maret lalu sudah terpakai 10,7 juta kiloliter—Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo menyatakan konsumsi sampai Mei sekitar 17,52 juta kiloliter atau 43 persen dari kuota tahunan dan 108 persen dari kuota sampai akhir 2012. Kalau dibiarkan begini terus, Oktober nanti jatah sudah habis. Artinya akan ada ­over­-kuota 4-5 juta kiloliter.

Tapi, tanpa tambahan kuota, antrean di pompa pengisian BBM akan terus terjadi....

Antrean itu terjadi kan karena kendaraan industri dibiarkan ikut mengisi solar bersubsidi. Angkutan umum dan nelayan lebih suka antre beli bensin dan solar ketimbang narik penumpang atau mencari ikan, karena hasilnya lebih besar kalau mereka menjual lagi BBM-nya. Kalau begitu polanya, mau dikasih berapa pun akan habis terus. Yang begini kan kepala daerah harus ikut menertibkan. Tidak mungkin pemerintah pusat atau BPH Migas yang hanya punya 80 pegawai bisa mengawasi.

Kelompok seperti mereka itu kan hanya pemain kelas teri?

Ya, dalam beberapa kali penangkapan, kami menemukan ada timbunan sampai 100 ribu liter solar. Yang begitu jelas tidak mungkin diangkut hanya dengan jeriken. Makanya Presiden menginstruksikan agar dibuat sistem pembukuan online antara depot Pertamina dan SPBU. Jadi, setiap tangki yang keluar dari depot harus sampai ke SPBU, jangan belok di jalan.

Y. Tomi Aryanto,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus