Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIMMY Rifai Gani tinggal menghitung hari untuk meninggalkan ruang kerjanya di lantai 10 Gedung Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Senin pekan lalu, Direktur Utama PT Sarinah (Persero) itu mengirim surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Isinya mohon izin untuk melanjutkan sekolah administrasi publik selama sebelas bulan di Harvard Kennedy School, Amerika Serikat. "Sejak dua tahun lalu saya ingin bersekolah lagi. Beasiswa ini tak bisa saya sia-siakan," katanya Rabu pekan lalu.
Sumber Tempo di Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatakan sesungguhnya ada alasan lain di balik kepergian peraih gelar master dan mahasiswa internasional terbaik dari San Francisco State University, Amerika Serikat, 17 tahun lalu ini. Jimmy undur diri karena setengah frustrasi mengembangkan Sarinah. Pengalaman dan rapor cemerlangnya selama dua dekade terakhir dalam dunia akademik dan bisnis ternyata tak mudah diterapkan di perseroan.
Sejak dipimpin Jimmy tepat tiga tahun lalu, kinerja Sarinah sebenarnya membaik. Perusahaan yang Agustus nanti genap berusia 50 tahun ini tetap untung, tapi pas-pasan dan tak pernah mencapai target. Puncaknya akhir tahun lalu. Dengan pendapatan sekitar Rp 300 miliar, Sarinah meraup laba bersih Rp 14 miliar, naik dari tahun sebelumnya Rp 9 miliar tapi meleset dari rencana awal Rp 17 miliar.
Banyak rencana perseroan pun tak dapat diwujudkan. Ambisi menyulap Gedung Sarinah Thamrin menjadi kompleks perkantoran dan perbelanjaan supermegah, misalnya, hingga kini tak jelas nasibnya. Rencana membangun hotel di Bandung, yang sudah dimulai sejak tahun lalu, harus ditunda. Mimpi Jimmy melebarkan gerai Sarinah ke mancanegara juga tak pernah terwujud. "Satu-satunya yang bisa dibilang sukses hanya strateginya mengembangkan bisnis ekspor-impor beberapa hasil perkebunan," kata sumber tadi.
Manajemen Sarinah mengalami dilema. Selama ini pengembangan usaha kurang optimal karena posisinya sebagai badan usaha milik negara mengharuskan setiap keputusan dikoordinasikan dengan kebijakan Kementerian. Meski sejak empat tahun lalu masuk daftar puluhan BUMN yang akan direvitalisasi, sumber Tempo mengatakan, "Sarinah bukan prioritas."
Walhasil, hampir mustahil Jimmy meminta tambahan modal kepada pemerintah. Upaya melipatgandakan dana dengan meminjam kepada lembaga keuangan juga sering mentok karena sebagian asetnya hingga saat ini tak memiliki sertifikat hak milik. Belum lagi Sarinah hingga kini belum memiliki nilai buku yang bisa menggambarkan total aset sebenarnya milik perseroan. Jika merujuk pada laporan keuangan 2010 (audited), total nilai aset Sarinah hanya Rp 238 miliar.
Itu pula sebabnya target Sarinah untuk melantai di bursa tahun depan terancam tak terwujud. Apalagi hingga kini masih banyak perusahaan pelat merah yang berada di atas Sarinah dalam daftar antrean program divestasi. "Padahal, dengan go public, manajemen ingin leluasa mengelola Sarinah secara lebih profesional," masih kata si sumber. Selain itu, perseroan menaksir hasil penjualan saham kepada publik ini bisa menghasilkan Rp 300-500 miliar untuk modal ekspansi usaha lima tahun ke depan.
Jimmy membantah ngambek mengurus Sarinah lalu mengundurkan diri. Meski begitu, dia mengakui menakhodai perusahaan milik negara tak semudah memimpin korporasi multinasional dan nasional, yang pernah dilakoninya di bidang pengembangan usaha. "Saya sprinter, tapi di sini lintasannya tak mulus. Sulit dipakai lari cepat," ujarnya.
Keputusan Jimmy sudah bulat. Bagi dia, yang terpenting saat ini bisa meninggalkan Sarinah dengan menyelesaikan pekerjaan rumah terbesar tiga tahun terakhir: rencana jangka panjang Sarinah 2012-2016. Hingga Senin pekan lalu, dia masih membahasnya dengan staf Dahlan di kantor Kementerian BUMN. "Sebelum saya pergi, sudah jadi," kata Jimmy. Dia hakulyakin, dengan haluan dan kapten baru nanti, kekayaan Sarinah bisa meningkat lima kali lipat dalam lima tahun mendatang.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo