Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
UU HKPD menambah jenis instrumen utang yang dapat diterbitkan pemerintah daerah.
Penarikan utang oleh pemerintah daerah hanya boleh dilakukan untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur.
Meski syarat penerbitan sukuk dan obligasi daerah disederhanakan, pemerintah tetap akan melakukan pengawasan ketat.
JAKARTA - Pemerintah daerah diberi kemudahan dan keleluasaan untuk menerbitkan surat utang atau obligasi guna membiayai pembangunan daerah. Persyaratan baru penerbitan obligasi daerah ini diatur dalam amendemen Undang-Undang Harmonisasi Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang berlaku tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati syarat penerbitan obligasi daerah menjadi lebih sederhana, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah daerah tetap harus mengutamakan prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal sebelum menarik utang. "Ada banyak negara yang pernah mengalami kesulitan sangat serius akibat utang pemerintah daerah yang tidak terkontrol, sehingga pada akhirnya diambil alih oleh pemerintah pusat. Hal ini yang tidak kami inginkan,” ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Sri Mulyani menegaskan, penerbitan obligasi daerah harus tetap disertai perencanaan yang matang. Termasuk mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan telah melewati asesmen Kementerian Keuangan serta Kementerian Dalam Negeri. “Kami menyadari bahwa pemberian kewenangan dan instrumen seperti ini pasti ada konsekuensinya, sehingga tetap diperlukan pengawasan yang ketat.”
Ia melanjutkan, jika pemerintah daerah mampu mengelola instrumen pembiayaan ini dengan baik, dampaknya juga akan positif terhadap peningkatan kemandirian fiskal hingga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. “Karena selama ini memang masih jadi isu, bagaimana agar pemanfaatan pembiayaan daerah bisa lebih fleksibel. Di mana pinjaman daerah untuk keperluan produktif masih belum optimal,” katanya.
Adapun, dalam UU HKPD, disebutkan bahwa penerbitan surat utang daerah tak hanya berbentuk obligasi. Bisa juga berupa instrumen syariah atau sukuk daerah. Semua penerbitan instrumen ini dilakukan di pasar modal domestik, di mana pembiayaan ini hanya untuk pinjaman dari dalam negeri dan dilarang untuk mendapatkan pembiayaan langsung dari luar negeri. “Penggunaan pembiayaannya diutamakan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan infrastruktur daerah,” ucap Sri Mulyani.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, mengamini, meski dibolehkan secara regulasi, pemerintah daerah harus melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menggenjot pendapatan daerah. Misalnya, melalui inovasi dan retribusi daerah, melakukan efisiensi belanja operasional, menjual aset-aset yang tidak produktif, serta menggunakan dana sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) tahun sebelumnya yang selama ini mengendap di perbankan.
Semua langkah optimalisasi pendapatan itu harus dilakukan sebelum pemerintah daerah memutuskan untuk menarik pinjaman atau menerbitkan obligasi. “Pemda harus transparan soal obligasi ini, berapa besarannya, digunakan untuk apa, dan siapa penerima manfaatnya harus jelas,” kata Misbah.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai kapasitas pemerintah daerah dalam transparansi pengelolaan keuangan daerah akan menjadi salah satu tantangan penerbitan obligasi. Pasalnya, kesehatan keuangan daerah akan menjadi salah satu sumber penilaian penting bagi lembaga pemeringkat atau lembaga rating dalam menilai obligasi daerah sebelum diterbitkan di pasar modal.
“Pemerintah daerah harus konsisten dengan regulasi yang dibuat, berlaku jangka panjang dan tidak berubah-ubah, jangan sampai ada dinamika politik yang bisa mengurangi antusiasme investor nantinya," ujar Yusuf.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan obligasi daerah dapat menjadi solusi yang dapat diandalkan, asalkan digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur yang memiliki imbal hasil investasi menarik. “Tidak semua proyek bisa dibiayai obligasi, apalagi yang sifatnya ada subsidi dari pemerintah daerah.”
Ihwal ketertarikan investor terhadap penawaran obligasi daerah, menurut Bhima, hal itu sangat bergantung pada imbal hasil yang ditawarkan serta proses due diligence dari proyek yang akan didanai. “Kalau menarik, investor akan masuk. Dengan catatan, imbal hasilnya mengalahkan Surat Berharga Negara (SBN), di atas 7-8 persen untuk tenor 10 tahun. Karena kalau di bawah itu, investor akan lebih memilih SBN,” ujarnya.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo