DANA US$ 80 juta dolar, bagi BUMN segede Pertamina, memang bukan apa-apa. Mungkin karena itulah plafond pinjaman tahun lalu -- yang dipatok Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri -- tak disentuh sedikit pun. Lain halnya dengan jatah kredit untuk tahun anggaran 1994-1995 yang besarnya US$ 1 miliar atau sekitar Rp 2,15 triliun. Kredit ini langsung disambar. Menurut Faisal Abda'oe, Dirut Pertamina, dana sebesar itu akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas kilang di Cilacap dan Balikpapan. Rinciannya: US$ 600 juta akan dipakai untuk membiaya proyek debottlenecking di Kilang Cilacap. Kelak jika sudah rampung, kapasitas pengilangannya akan naik dari 300 ribu barel menjadi 350 ribu barel sehari. Adapun sisanya akan dipakai untuk meng-up grade dan memodifikasi dua kilang di Balikpapan, yang masing-masing menelan biaya US$ 200 juta. Pinjaman kali ini -- yang merupakan 71,4% dari plafond yang ditetapkan Tim PKLN untuk BUMN -- tidak mengundang suara-suara sumbang. Sebaliknya, banyak pihak yang mendukung. Beberapa pakar yang dihubungi TEMPO menyatakan, langkah Pertamina mengambil pinjaman yang demikian besar tak perlu dipersoalkan, "Sepanjang proyek yang dibiayainya bisa memberikan nilai tambah." Sebenarnya, bukan sekadar nilai tambah yang harus dikejar Pertamina. Lebih dari itu, akhir bulan lalu Presiden Soeharto menyerukan agar BUMN ini terus meningkatkan efisiensi. Sebab, jika tak mampu menekan biaya produksi, cepat atau lambat, "Pertamina akan mengalami kesulitan." Seruan ini agaknya lebih merupakan penegasan kembali. Mengapa? Sudah lama BUMN terbesar ini terus melakukan berbagai langkah efisiensi. Dua tahun lalu, misalnya, Pertamina tak lagi menerima karyawan melalui jalur Program Sarjana Teknik, yang biasanya dipakai untuk merekrut sarjana geologi, geofisika, dan engineering. "Kami memang sudah lama menyetop penerimaan pegawai baru," kata seorang pejabat di bagian personalia. Selain itu, kepada karyawannya yang sudah bermasa kerja 15 tahun ke atas (jumlahnya di atas 50% dari total karyawan Pertamina yang 45 ribu orang), ditawarkan semacam pensiun dini. Kepada mereka, jika mau pensiun, akan diberikan pesangon yang menggiurkan. Seorang staf dari golongan yang paling rendah dengan masa kerja 16 tahun, misalnya. Bila mengajukan pensiun dini akan memperoleh pesangon tak kurang dari Rp 100 juta. Tapi, anehnya, hingga saat ini, "Belum seorang pun mau mengambil tawaran itu," kata sumber TEMPO. Kendati tawaran pensiun dini tak berhasil, rencana PHK tidak lantas disodorkan. "Kami tetap akan mengurangi karyawan dengan cara pensiun biasa," kata Abda'oe. Dengan cara ini saja, katanya, dalam lima tahun mendatang pegawai Pertamina akan susut sebanyak 15 ribu orang. Cukup? Belum. Kata Abda'oe, efisiensi yang dilakukan dengan mengurangi pegawai tak terlalu besar pengaruhnya terhadap biaya operasi. "Gaji karyawan hanya 2% dari total cost Pertamina," tuturnya. Tak bisa lain, langkah efisiensi pun harus merambat hampir ke semua bagian. Pengangkutan BBM, yang menyita hampir 70% kegiatan BUMN ini, satu demi satu mulai dilepaskan. Distribusi BBM di Pulau Jawa, misalnya, sejak beberapa tahun lalu diserahkan kepada swasta melalui proyek pipanisasi. Diharapkan, dalam lima tahun, distribusi minyak di Jawa tak lagi menggunakan armada angkutan darat, tapi seluruhnya telah menggunakan pipa. Begitu pun pembangunan pompa bensin umum, yang sejak empat tahun lalu diserahkan kepada swasta. Itu merupakan penghematan, karena untuk satu pompa perlu dana sedikitnya Rp 300 juta. Di bidang distribusi ini Pertamina juga telah melepaskan sebagian kapal angkut BBM-nya kepada swasta. Masalahnya, kata seorang pejabat di BUMN ini, dengan memiliki kapal sendiri, biaya angkut yang ditanggung jadi besar sekali. Karena itu, selain menyewa, kini Pertamina hanya bertindak sebagai negosiator bagi perusahaan angkutan laut swasta agar mereka mudah memperoleh kredit pengadaan kapal. Berkat seluruh tindak penghematan itu, menurut Abda'oe, Pertamina berhasil menekan biaya pengilangan BBM dari US$ 2,18 menjadi US$ 1,93 per barel. Nah, jika Pertamina sudah melakukan efisiensi besar-besaran begitu, lantas kenapa Presiden masih harus mengingatkannya kembali? Benarkah BUMN ini sedang krisis seperti yang diduga banyak orang? Ternyata, tidak juga. "Organisasinya masih bagus, kewajiban membayar juga lancar, tapi kinerjanya menurun," kata sumber TEMPO di Departemen Pertambangan. Seperti diketahui, pada tahun 1991, berdasarkan penilaian Departemen Keuangan -- yang mengukur tingkat kesehatan BUMN berdasarkan rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas -- Pertamina memperoleh nilai 135. Berarti, tiga tahun lalu kondisi BUMN ini sangat sehat. Predikat tersebut didasarkan pada formula: di atas 100 sangat sehat, 68-100 sehat, 44-68 kurang sehat, dan 0-44 harus masuk ICU. Tapi kondisi prima seperti itu tak berlangsung lama. Setiap tahun, prestasi Pertamina terus menurun, hingga pada tahun 1993 angkanya tinggal 112. Dan tahun ini, kendati masih bertahan pada keadaan sangat sehat, nilainya diperkirakan tak melebihi 102. Kinerja yang terus menukik itulah, mungkin, yang mendorong Pemerintah untuk mengingatkan Pertamina agar lebih meningkatkan efisiensinya.Budi Kusumah dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini