JANGAN kaget bila esok atau lusa tarif jalan tol naik. Pasalnya, PT Jasa Marga perlu duit lebih banyak untuk membiayai pembangunan jalan tol yang telah disetujui. Padahal, dengan turunnya harga minyak, pemerintah tak sanggup lagi menyediakan dana APBN yang lebih besar untuk membiayai pembangunan jalan bebas hambatan itu. Dalam Pelita VI, sudah direncanakan pembangunan jalan tol sepanjang 310 kilometer. Sedikitnya diperlukan dana Rp 6 triliun untuk membangun jalan itu. Sementara itu, dalam anggaran 1994/95- 1998/99, alokasi dana yang disediakan untuk pembebasan tanah bagi tol cuma Rp 880 miliar. Karena itu, awal Mei lalu, Jasa Marga mengundang pihak swasta nasional untuk ikut membiayai pembangunan jalan tol. Memang, Jasa Marga telah mengeluarkan obligasi hampir Rp 700 miliar. Tapi itu pun tak cukup. Menurut Direktur Utama Jasa Marga, Maryadi Darmokumoro, Jasa Marga dalam Pelita VI ini cuma mampu membangun 47 kilometer -- cuma 15% dari seluruh rencana jalan tol. Sedangkan jalan tol yang ditawarkan ke swasta seluruhnya ada 263 kilometer. Kecuali jalan arteri Ujungpandang dan Medan-Binjai, hampir semua jalan tol itu berada di Jawa. Termasuk dalam daftar yang ditawarkan Jasa Marga adalah Jakarta Outer Ring Road (sepanjang 56,27 km), Cikampek-Subang (37 km), dan Gempol-Pasuruan (24 km). Adapun pola kerja sama yang ditawarkan, menurut Maryadi, adalah BOT (bangun, operasi, transfer). Mungkin karena investasi yang dibutuhkan mencapai triliunan rupiah, investor yang tertarik pun tentu penanam modal kuat. Yang sampai saat ini sudah menyatakan minatnya barulah PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), milik Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, yang lebih kondang dengan sebutan Mbak Tutut. "Memang kami tertarik, khususnya proyek yang berada di Pulau Jawa," kata Direktur CMNP, Bambang Soeroso, kepada media. Prospek investasi dari proyek yang ditawarkan itu sebenarnya cukup menarik, mengingat beban lalu lintas yang menghubungkan pusat industri dan perdagangan cukup besar. Volume lalu lintas, sejak 1978 hingga 1993, meningkat 19.400% atau setiap tahun rata-rata mengalami kenaikan 1.200%. Padahal, perkembangan jalan tol setiap tahunnya tumbuh dengan 106%. Hanya saja, kata Maryadi, untuk membuat jalan tol, diperlukan investasi yang tidak sedikit dan masa pengembaliannya cukup panjang. Paling tidak diperlukan waktu 15 sampai 20 tahun untuk balik modal. Tapi hal ini bukan soal bila dibandingkan dengan pendapatan dari tol. Dalam kurun waktu yang sama, pendapatan dari tol, yang kini mencapai 450 km, mengalami kenaikan 77.100%, dari semula Rp 486 juta menjadi Rp 374,7 miliar. Apalagi pola kerja sama yang ditawarkan adalah BOT. Dengan sistem ini, pihak swasta punya konsesi 25 tahun hingga 30 tahun guna membangun, memelihara, dan mengoperasikan. Jelas hal itu sangat menguntungkan. Dari soal menarik investor, agaknya Jasa Marga tak akan menghadapi hambatan yang berarti. Contohnya, pembangunan jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (59 km). Proyek yang kini dalam tahap konstruksi itu akan dikerjakan oleh Jasa Marga bersama Trafagar dan CMNP. Tapi, rupanya, banyak pihak yang meragukan bila pembangunan jalan tol diserahkan ke pihak swasta. Kritik itu antara lain datang dari Aberson Marle Sihaloho, Wakil Ketua Komisi APBN DPR. Menurut Aberson, tarif mahal akan dikenakan kepada pemakai jalan tol, karena biaya pembangunannya menggunakan dana mahal. Ditambahkannya, untuk kepentingan umum, seharusnya pembangunan jalan tol menggunakan dana dari APBN dan pinjaman lunak. "Saya tidak setuju cara kerja sama seperti itu. Ini sama saja dengan menyerahkan monopoli negara ke swasta," kata Aberson. Aberson mungkin benar. Tapi pihak Jasa Marga pun mempunyai alasan lain. Menurut Maryadi, salah satu syarat yang diajukan BUMN Departemen Pekerjaan Umum kepada swasta: "Bisa menyediakan equity 25 persen dari biaya proyek." Maksudnya, dengan modal itu, berarti tidak seluruh dana pembangunan jalan berasal dari pinjaman. Dengan demikian, tarif tol dapat ditekan. Tapi persoalannya, adakah swasta yang mampu menyediakan modal 25% dari nilai proyek. Ada, mungkin. Hanya saja, menurut Mbak Tutut, saat ini pihak swasta agak seret memperoleh dana murah. Itu sebabnya, dalam pembangunan jalan tol, putri sulung Presiden ini mengusulkan adanya keringanan dalam pembayaran PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Ada tiga proyek yang diincar Mbak Tutut, yakni jalan tol Cikampek-Cirebon, Semarang-Surakarta, dan satu proyek di luar Jawa (Medan-Binjai). Pilihan tersebut tentu tak lepas dari pertimbangan bisnis. Cikampek-Cirebon, misalnya, dianggap jalur yang padat karena menghubungkan sentra-sentra ekonomi. Begitu juga Medan-Binjai, yang sangat memerlukan jalan alternartif untuk mengatasi kemacetan. Akan halnya pembangunan jalan tol Semarang-Surakarta, prospeknya juga tak kalah menarik. Soalnya, di Solo akan dibangun bandara internasional. Selain rencana mengundang swasta, kabarnya Jasa Marga juga akan meningkatkan efektivitas. Agaknya, hal ini erat terkait dengan kenaikan tarif tol. Tapi hal itu dibantah Humas Jasa Marga, Zulkarnain. "Memang ada kesan bahwa setiap dua tahun tarif akan dievaluasi. Itu kan cuma kesan," kata Zulkarnain. Maksudnya? Ya, mungkin naik, tapi mungkin juga tidak. Tunggu saja. Bambang Aji, Dwi S. Irawanto, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini