Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, kata sebuah ramalan, demokrasi tak akan bertahan. Dalam The Future of Freedom, Fareed Zakaria menulis, "Indonesia bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi."
Zakaria adalah editor Newsweek International yang dari kantornya yang tinggi di New York memandang reformasi Indonesia sebagai langkah yang salah. Pada tahun 1998, IMF dan pemerintah AS seharusnya tak mendesakkan reformasi perekonomian untuk mengatasi krisis moneter waktu itu. Desakan itu, kata Zakaria, membantu hancurnya legitimasi pemerintah Soeharto hingga ia jatuh.
Inilah yang dikenangnya tentang "Orde Baru": "Soeharto menjalankan sebuah rezim yang cacat tapi yang dapat mencapai ketertiban, pemerintahan yang sekuler, dan liberalisasi ekonomisebuah kombinasi yang mengesankan di Dunia Ketiga."
Sebuah aplausmeskipun kini percuma dan tak meyakinkan. Tapi bagaimanapun dalam membahas tendensi demokrasi di dunia kini, dan kemungkinan rusaknya kemerdekaan dalam proses itu, The Future of Freedom memukau dan Zakaria cemerlang.
Namun di situ pula ia bisa selip. Kecemerlangan pikirannya sering membungkus kesimpulan yang terlalu tangkas. Pikirannya seperti sinar laser: tajam, gemilang, tapi sempit.
Ia sempit, mungkin karena ia seorang Amerika yang tinggal di Amerika. Seperti banyak analis Amerika, dalam pandangannya ada asumsi diam-diam bahwa dunia hanya sedaun kelor: pelbagai hal di atasnya akan terguncang bila Amerika mengangkat kelingking. Narsisisme Amerika ini sebuah sindrom yang sulit disembuhkandan mungkin itu sebabnya Zakaria melihat perubahan di Indonesia pada tahun 1998 sebagai akibat langsung tuntutan IMF dan pemerintah AS.
Terlalu cepat ia melihat. Begitu cepat hingga ia tak melihat kalimatnya sendiri di halaman 154. Di sana Zakaria berbicara tentang "politik kemarahan". "Politik kemarahan," tulisnya, bersifat lokal. Bila dunia Arab marah kepada sebuah keadaan (dan tentunya juga bila orang Indonesia marah kepada represi "Orde Baru"), itu tak ada hubungannya dengan "kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang imperial."
Pada akhirnya memang hasrat dan daya imperial Amerika adalah satu hal, dan kerumitan dunia adalah hal lain. Lihat saja kekonyolan para penggagas "The Project of the New American Century" yang kini dengan pongah berkutat di Pentagon. Mereka ingin mengukuhkan supremasi Amerika di dunia, tapi apa yang terjadi? Di Fallujah, impian itu dihantam bom.
Sayangnya Zakaria (sekali lagi: terlalu cepat berpikir) lupa akan kenyataan seperti itusebagaimana ia lupa argumennya sendiri. Sementara ia memuji Soeharto di halaman 118, ia melihat cacat kekuasaannya di halaman 117: pemerintahan Soeharto, tulis Zakaria, "kekurangan institusi politik yang diterima sah." Soeharto "mengelola negerinya melalui sebuah kelompok kecil orang istana, sedikit sekali memperhatikan perlunya pembangunan lembaga."
Tanpa institusi politik yang diterima sah, bagaimana sebuah rezim bisa bertahan dalam krisis yang dahsyat? Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 adalah akibat dari sebuah keadaan di mana dalam dirinyalah kekuasaan terpusatjuga kesalahan-kesalahan kekuasaan itu. Ketika di sebuah sore yang panas tahun itu, di depan para mahasiswa yang menduduki kompleks DPR, saya berbicara dengan gugup bahwa turunnya Soeharto adalah prasyarat bagi reformasi, alasan itulah yang ada di balik kepala saya. Agaknya juga di hati para demonstran.
Reformasi dipekikkan karena kita ingin menyelamatkan Republik dari serangkaian institusi yang pura-pura, dari sebuah tata yang identik dengan takhta. Sebab itu reformasi adalah untuk membangun stabilitas.
Zakaria menulis bahwa setelah 1998 yang muncul di Indonesia adalah sebuah ketidakstabilan. Harus dicatat: ia menulis sebelum tahun 2003dan tentu tak menyaksikan apa yang terjadi pada tahun 2004. Melihat pemilihan 2004, saya mulai tak percaya bahwa Indonesia bukan "calon ideal demokrasi."
Zakaria memang punya alasan kenapa ia tak melihat demokrasi Indonesia akan berhasil. Ada tiga.
Pertama, dari semua negeri Asia Timur, Indonesia paling bergantung pada sumber alam. Sebab itu negeri ini tak gampang terdesak untuk membuka pintu ekonominya kepada tuntutan luar. Alasan ini bisa benar seandainya Zakaria menyamakan Indonesia dengan Arab Saudi, atau berbicara tentang tahun 1980-an, ketika pendapatan minyak negara begitu dominan dalam ekonomi Indonesia. Tapi bukankah setelah minyak tak lagi "brol", setelah proteksionisme hanya membuat ekonomi boros dan korup, Indonesia pun masuk ke dalam kegandrungan deregulasi dan pintu yang terbuka ke ekonomi global?
Kedua, Indonesia tak punya cukup lembaga politik yang punya legitimasi. Zakaria benar, tapi jalan berpikirnya terputar: legitimasi itu justru hanya bisa dibangun dari demokrasi.
Ketiga, mustahil mencoba demokratisasi pada taraf pendapatan per kepala yang rendah, sekitar US$ 2.650. Eksperimen itu tak akan lama umurnya, katanya, mungkin sekitar 18 tahun. Tentang ini, kita tak tahu: terlalu pagi untuk menilai benarkah aritmetik demokrasi itu.
Lagi pula tidakkah demokrasi bisa menguat bersama naiknya kekayaan penduduk dan bisa berkembang bersama mekarnya harapan untuk sejahtera?
Mungkin Zakaria akan berkata, "Ah, saya ragu."
Nun jauh di sana, di tengah genderang perang Bush yang memandang dunia Islam dengan waswas, memang mudah untuk memandang negeri muslim terbesar ini dengan ragu. "Sistem politik yang baru terbuka [di Indonesia] telah menghamburkan ke luar kaum fundamentalis Islam," tulis Zakaria. "Di sebuah negeri yang tak punya bahasa politik yang memadai, [orang] mengutarakan sebuah wacana yang sangat dikenalwacana keagamaan."
Pemilu 1999, Pemilu 2004: rasanya orang Indonesia telah membuktikan diri punya cerita yang lebih ramai dan bermutu ketimbang mimpi buruk Amerika. Meskipun kini masih terlalu dini untuk tahu, benarkah saya berharap, atau menggantang asap.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo