Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kidung Sunyi Novelis Italia

Novel yang memperlihatkan bagaimana dalam situasi paling kelam sekalipun orang dapat sampai pada cahaya pengharapan.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Va' Dove Ti Porta Il Cuore
(Pergilah Ke Mana Hati membawamu)

Pengarang: Susanna Tamaro
Penerjemah: Dr. Antonius Sudiarja, S.J.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
Tebal: 215 halaman

Sebuah karya sastra, tidak terkecuali novel Va' dove ti porta il cuore karya Susanna Tamaro, tidak lepas dari pengalaman hidup, identitas, pandangan filsafat, maupun perasaan-perasaan pengarangnya. Kendati demikian, tidak bisa dikatakan bahwa apa yang ditulisnya mengalir langsung dari pengalaman pribadinya. Sebagai sebuah teks yang mandiri, karya sastra menjadi sebuah kenyataan simbolis yang berjarak. Tak dapat disangkal bahwa teks ini bisa dirunut kembali ke sumbernya, yakni si pengarang. Pengarang ingin menyatakan dirinya, mengkomunikasikan pengalaman hidupnya yang mendalam secara simbolis, bukan secara harfiah.

Novel ini novel tentang perempuan. Berkisah mengenai penderitaan dan kesepian seorang nenek, bernama Olga, yang tinggal seorang diri di Trieste, sebuah kota di Italia. Sambil mengenang dan menceriterakan kembali masa-masa ketika ia masih bersama Augusto suaminya, berhubungan dengan Ernesto, seorang lelaki lain yang dicintainya, mengasuh Ilaria anak perempuan satu-satunya hasil hubungan gelap dengan Ernesto, dan juga cucu satu-satunya yang sangat disayanginya. Nenek ini menumpahkan seluruh perasaan hatinya dalam sebuah catatan harian. Ia berharap bahwa cucunya yang sekarang meninggalkannya dan berada jauh di Amerika akan membacanya kelak kalau ia kembali.

Inilah kesepian seorang nenek yang ditulis dengan amat mengesankan oleh Susanna Tamaro. Kesepian itu tidak lain adalah hilangnya komunikasi yang wajar dengan orang yang dicintainya. Namun kesepian itu bagi Tamaro bukanlah suatu hal yang fatal, melainkan mengandung harapan di masa depan bagi cucu yang dicintai itu.

Tamaro, sedari awal hingga akhir, memeras seluruh kepiawaiannya dalam mengeksplorasi relasi batin seorang nenek dalam ungkapan-ungkapan yang peka, mendalam, dan menyentuh. Dalam tulisannya nenek ini tidak hanya menumpahkan perasaan rindu dan cintanya, kepedulian dan perhatiannya, tetapi juga kejengkelan, kemarahannya, dan ketidakpahamannya kepada cucunya, yang meninggalkannya.

Ketidakpahaman yang menciptakan jurang menganga yang seolah tak terjembatani antara kedua generasi berbeda ini. Sekarang cucu itu ada di Amerika, tetapi tak pernah meninggalkan alamatnya, sementara nenek harus menghadapi masa-masa akhir hidupnya sendirian. Perpisahan mereka merupakan peristiwa yang menegangkan dan pahit bagi nenek itu. Novel Tamaro tidak bermaksud memperlihatkan kemungkinan adanya jembatan yang menghubungkan antara kedua generasi itu, sebaliknya justru memperlihatkan bahwa jurang itu nyata ada dan memang tak terjembatani. Dalam novel ini sama sekali tidak ditunjukkan adanya dialog. Seluruh novel berisi soliloquia (gerundelan) sang nenek sendiri perihal ingatan, perasaan, penyesalan, kelembutan hati, cinta, kekuatan, kerapuhan, dan kesadarannya ketika menghadapi persimpangan hidup.

Nenek, sebagai generasi tua yang hidup pada zaman lain, milenium lain, mengikhlaskan cucunya mencari jalannya sendiri. Ia tidak menilai cucunya sebagai generasi yang dekaden atau tidak bermoral. Ia membebaskan cucunya berangkat ke Amerika—lambang dunia baru yang akan diarunginya. Maka, pada akhir novel itu, nenek menulis, "... Hendaknya engkau teguh, dalam keheningan, dan dengarlah suara hatimu sendiri. Ketika kemudian ia bicara kepadamu, bangkitlah dan pergilah ke mana dia membawamu"(hlm. 215). Dan, pesan itulah yang diangkat Tamaro sebagai judul novelnya, Va' dove ti porta il cuore!

Novel ini tidak hanya bercerita, tapi juga berfilsafat mengenai kehidupan, termasuk aspek keperempuanan, yang, "Selama ratusan generasi kita hanya berkutat dari kamar tidur, dapur, dan kamar mandi" (hlm. 61).

Kualitas terjemahan novel ini prima. Transliterasinya ke bahasa Indonesia dikerjakan Dr. Antonius Sudiarja, seorang padri yang pernah belajar filsafat di Universitas Gregoriana, Roma. Novel ini mendapat penghargaan Donna Citta di Roma 1994. Pada 1995 best seller internasional ini diangkat ke layar lebar oleh sutradara Cristina Comencini. Novelis ini banyak menulis. Tapi Tamaro memang bukan tipe pengarang yang menyukai popularitas. Ketenaran, katanya, mengandung duri.

J. Sumardianta, Pengamat sastra, guru SMU Kolese de Britto, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus