Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pelemahan rupiah yang terus terjadi mau tak mau membuat regulator harus mengupayakan berbagai cara intervensi, baik jangka pendek maupun panjang. Berikut ini petikan wawancara dengan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, di Yogyakarta, Selasa, 8 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana BI menyikapi pelemahan rupiah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini diawali dengan AS sebagai penyedia likuiditas dolar di dunia, di mana perdagangan dan investasi kita masih didominasi oleh kurs mereka. Suka tidak suka situasinya masih seperti itu. Kami sudah berusaha lakukan diversifikasi, dengan local currency settlement, kerja sama dengan Thailand dan Malaysia. Tapi ini bicara jangka panjang, karena tidak mudah mengubah perilaku dunia usaha yang sudah terbiasa gunakan dolar untuk ekspor-impor.
Prediksi BI terhadap kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat?
Amerika Serikat sudah mulai menaikkan suku bunga ke arah yang normal, sejak tren suku bunga rendah mereka di 2015 itu 0,25 persen. Itu bukan bunga yang normal, karena yang normal itu nilainya berada sedikit di atas inflasi. Kalau inflasi AS 2 persen, kemungkinan kenaikannya menuju 3 persen, dari posisi saat ini 1,75 persen. Tahun ini kami prediksi dinaikkan tiga kali, tapi ada kemungkinan juga jadi empat kali.
Dengan kondisi itu, apa yang harus kita lakukan?
Sumber pembiayaan dalam negeri kita itu tidak cukup. Jadi, untuk membiayai perekonomian, kita butuh dana dari luar negeri. Konsekuensinya kita butuh impor, utang, dan bayar dividen, semuanya dalam bentuk valas. Nah, valas datangnya dari mana, ya, dari ekspor, pariwisata, dan dari tenaga kerja di luar negeri. Maka utamanya yang didorong pemerintah adalah kembangkan ekspor dan pariwisata, we are on the right track.
Apakah rupiah bisa terbantu dengan upaya tersebut?
Kita lihat saja, negara yang ketahanan kursnya kuat adalah negara yang neraca ekspor-impornya surplus. Kita kan sekarang masih defisit sekitar 1,7 persen dari PDB. Tidak apa-apa, kita coba kendalikan dan dorong di bawah 3 persen. Negara yang neracanya surplus, kursnya di saat seperti ini justru terapresiasi, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Cina.