Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
DPR meminta Kementerian Perhubungan mengevaluasi program angkutan kota bersubsidi.
Pemerintah daerah kurang sigap mendukung program angkutan kota buy the service.
Jumlah penumpang angkutan kota bersubsidi terus meningkat.
JAKARTA – Komisi Transportasi Dewan Perwakilan Rakyat meminta evaluasi menyeluruh terhadap program buy the service (BTS) atau angkutan kota bersubsidi karena dianggap tidak optimal selama beberapa tahun terakhir. Ketua Komisi Transportasi DPR, Lasarus, masih ragu akan tingkat keberhasilan skema penggantian biaya operasional operator angkutan umum tersebut. Program itu dinilai hanya membebani kas negara bila tak diminati penumpang. “Kalau permintaan lemah, berarti programnya tak memecahkan masalah, padahal dibiayai subsidi,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Program buy the service digagas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan untuk memancing migrasi pengguna kendaraan pribadi ke moda angkutan massal. Konsep ini merupakan pengembangan program bus rapid transit (BRT) yang awalnya hanya berupa pembelian bus oleh Kementerian Perhubungan untuk dikelola pemerintah daerah. Pada versi BTS, Kementerian Perhubungan menyubsidi total biaya operasional operator yang dipilih lewat lelang, sehingga biaya penumpangnya nyaris gratis.
Saat mulai diberlakukan lewat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2020, program BTS hanya berjalan di lima kota besar, yaitu Palembang, Solo, Medan, Yogyakarta, dan Denpasar. Saat itu subsidinya masih berkisar Rp 56,9 miliar. Program ini melebar ke 10 kota ketika aturannya direvisi menjadi Peraturan Menhub Nomor 2 Tahun 2022. Pendanaannya terus melambung selama tiga tahun terakhir, dari Rp 292,7 miliar pada 2021, Rp 550 miliar pada 2022, hingga Rp 625,7 miliar pada 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penumpang bus rapid transit (BRT) Kota Tangerang, Banten. Tangerangkota.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun usulan anggaran teranyar untuk program itu justru tak sebesar sebelumnya. Dalam rapat Komisi Transportasi pada 5 Juli 2023, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat hanya mengusulkan Rp 550 miliar untuk BTS di 10 kota pada 2024. Angka itu menjadi bagian dari Rp 1,85 triliun yang diajukan Direktorat untuk beberapa program konektivitas angkutan darat. Selain BTS, jumlah itu untuk pembangunan sejumlah terminal tipe A serta beberapa penugasan keperintisan.
Lasarus membenarkan bahwa Dewan tak akan menambah anggaran program itu bila belum terbukti efektif di semua wilayah yang disasar. Dia sendiri belum memperoleh data ihwal okupansi armada ataupun tolok ukur keberhasilan BTS di 10 daerah.
“Malah kami dapat laporan penerapannya tidak efektif di beberapa daerah,” katanya. Sejauh ini, Komisi Perhubungan DPR baru meminta Kementerian Perhubungan mengevaluasi program itu secara internal. Realisasinya baru akan diungkit dalam rapat komisi berikutnya. “Yang paham teknis mereka (Kementerian Perhubungan), jadi tolong dipetakan masalahnya.”
Meminta evaluasi yang sama, anggota Komisi Transportasi DPR, Hamka B. Kady, menengarai sejumlah armada BTS angkutan darat sepi penumpang karena kesulitan mengakomodasi pembayaran tunai. Di area non-metropolitan, sebagian penumpang belum terbiasa memakai aplikasi. “Di Jakarta saja barangkali belum bisa (terisi) secara penuh, apalagi daerah. Itu menjadi kelemahan yang harus kita evaluasi,” ucapnya dalam siaran pers di laman resmi DPR.
Kurang Dukungan Pemda
Penumpang antre menaiki Trans Metro Pasundan di shelter bus Alun-alun Bandung, Jawa Barat, 23 Maret 2023. TEMPO/Prima Mulia
Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan BTS angkutan itu masih direspons secara pasif oleh regulator daerah. Dia mengatakan, alih-alih menerapkan strategi push and pull atau sosialisasi untuk menarik minat penumpang dan operator swasta, pemerintah daerah membiarkan program itu berjalan tanpa realisasi penumpang yang jelas.
“Padahal pemerintah daerah bisa menerapkan regulasi pendukung, misalnya mewajibkan aparatur sipil daerah naik bus BTS sepekan sekali,” kata dia. “Nyatanya tak disambut.”
Dia pun mengkritik pemilihan rute BTS yang tak sesuai dengan permintaan calon penumpang di daerah. Di beberapa rute, ucap Djoko, trayek BTS berimpitan dengan trayek angkutan lokal yang lebih dipercayai oleh penumpang setempat. Ada juga kekurangan dari sisi ketersediaan halte dan rambu, sehingga BTS sulit dibedakan dari armada lokal nonsubsidi. Sebagian besar rencana headway dan on-time performance BTS pada kondisi jam puncak juga kerap tidak terpenuhi akibat buruknya tata kelola lalu lintas di daerah.
Djoko mengimbuhkan, program BTS pun sulit berkembang lantaran minim dukungan dari pihak legislatif. Menurut dia, Kementerian Perhubungan sempat mengajukan pendanaan sebesar Rp 1,3 triliun untuk BTS pada 2023, tapi dipangkas menjadi Rp 625 miliar. Program ini pun mulanya akan dilebarkan ke 27 daerah, tapi hanya terealisasi di 10 daerah. “Kalau ingin program berkembang tapi anggaran dipangkas, bagaimana bisa jalan?” tuturnya.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, juga mengkritik pembatasan anggaran bus BTS. Pengurangan subsidi, kata dia, membuat jumlah armada program itu semakin terbatas. “Kalau dalam satu jam hanya lewat satu bus BTS, tidak ada yang mau memakai karena banyak pilihan lain yang jadwalnya lebih fleksibel.”
Sejumlah pejabat Direktorat Jenderal Perhubungan Darat belum menyahut pertanyaan Tempo ihwal realisasi program BTS. Namun, pada 27 Juni lalu, Kepala Sub-Direktorat Angkutan Perkotaan Kementerian Perhubungan, Tonny Agus Setiono, mengklaim program Teman Bus—angkutan berskema BTS—bisa memangkas ongkos transportasi penumpang. Dia merujuk pada hasil survei kepuasan pelanggan pada periode 1 Mei-8 Juni 2023. Saat itu Kementerian menyurvei 20.735 responden pengguna BTS di 10 kota. “Ternyata biaya transportasinya berkurang 55 persen. Ada penghematan,” katanya.
Menurut dia, BTS kini dijalankan di 48 koridor angkutan dengan 741 unit bus dan 111 unit armada pengumpan, seperti angkot. Dari catatan Kementerian, penumpang bus berskema BTS pada 2020 hanya 8.052 orang, lalu naik 275 persen menjadi 30.210 orang pada 2021, dan kembali naik 141 persen menjadi 72.947 orang sepanjang 2022.
Tonny menyebutkan jumlah penumpang BTS memang dibatasi demi kenyamanan penumpang. Di Singapura, dia mencontohkan, pemerintah mengurangi kapasitas keterisian bus kota dari 94 persen menjadi 85 persen. “Kalau desak-desakan, kan, enggak enak. Makanya (jumlah keterisian) berfluktuasi, tapi kita punya target peningkatan.”
YOHANES PASKALIS | MOHAMMAD KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo