Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYONGSONG pergantian tahun, Eddy Praptono jauh-jauh hari sudah berhitung. Presiden Direktur Dana Pensiun PT Telkom ini rencananya bakal membiakkan dana pensiun yang dikelolanya tahun ini di ladang investasi reksadana. ”Dari total dana Rp 6,9 triliun, lima persen akan diinvestasikan ke reksadana,” katanya pekan lalu. Angka itu jauh di atas porsi tahun sebelumnya, yang hanya 1,62 persen.
Eddy menaikkan portofolionya karena pasar reksadana mulai tumbuh kembali dalam delapan bulan terakhir. Sementara di awal 2006 nilai aktiva bersih reksadana hanya Rp 27,6 triliun, di penghujung tahun nilainya menggembung menjadi Rp 51,5 triliun. Masih jauh memang bila dibandingkan dengan pencapaian dua tahun lalu (Rp 104 triliun). Namun, melihat kecenderungan suku bunga deposito yang bakal terus merosot, investasi di reksadana patut diperhitungkan.
Reksadana tentu hanya salah satu dari sederet instrumen investasi yang bisa Anda lirik sepanjang tahun ini. Bagi Anda yang konservatif, obligasi dan emas bisa jadi pilihan. Sedangkan bagi Anda yang punya nyali lebih besar untuk menanggung risiko, berinvestasi langsung di bursa saham atau valuta asing juga patut dicoba. Tentu semua pilihan butuh perhitungan cermat. Sebab, jika meleset, bisa-bisa isi kantong Anda malah terbakar di ”Tahun Babi Api” ini.
Emas
Setelah berkibar pada Mei 2006, lalu redup sejak pertengahan tahun, komoditas emas kembali memancarkan kilaunya di akhir tahun. Harga emas yang sempat anjlok menjadi US$ 566,5 per troy ounce pada Juni 2006 kembali bersinar menjadi US$ 626,9 per troy ounce di akhir Desember 2006.
Minat investor yang sempat redup pun kembali menyala. Apalagi, sebelum ambruk, harga logam mulia ini pada Mei 2006 sempat menyentuh angka tertinggi US$ 721,5 per troy ounce atau sekitar Rp 211 ribu per gram (1 troy ounce setara dengan 31,1 gram).
Menurut Sam Handojo, Direktur Utama PT Central Indah Cakrawala, perusahaan jual-beli logam mulia, melambungnya harga emas ini terkait dengan dolar Amerika yang lagi terkulai sejak November lalu. Kurs dolar yang sedang lesu membuat investor kembali memalingkan investasinya ke emas. Akibatnya, harga emas terdongkrak. Jika kondisi perekonomian Amerika tak kunjung membaik, harga emas bahkan diperkirakan bakal kembali melesat ke US$ 700 per troy ounce (sekitar Rp 203 ribu per gram).
Nah, bila Anda kepincut, Handojo menyarankan investor sebaiknya membeli emas batangan. ”Harganya tidak jatuh saat dijual,” ujarnya. Ini berbeda dengan emas perhiasan, yang bisa jatuh saat dijual. Sedangkan investasi emas dalam bentuk kontrak berjangka yang tersedia di Bursa Berjangka Jakarta belum tentu terus-terusan mendatangkan untung. ”Risikonya besar dan transaksinya belum likuid,” katanya.
Meski begitu, bukan berarti harga emas tidak bisa turun. Menurut Handojo, nilai emas bisa turun bila perekonomian Amerika tidak seburuk yang diprediksi pasar. ”Harga emas juga bisa turun bila kisruh politik Timur Tengah mereda,” katanya. Apalagi, kemenangan Partai Demokrat atas Partai Republik bisa mengubah kebijakan Amerika di Timur Tengah.
Valuta Asing
”Tahun Babi Api” bisa jadi bukan tahun yang bersahabat buat dolar Amerika. Sejak tiga bulan lalu, nilai tukar dolar terhadap euro merosot hingga dua persen. Menurut Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered Bank, besarnya bolong neraca transaksi berjalan negeri adikuasa itu sekitar US$ 650 miliar menjadi penyebabnya. Akibatnya, pamor dolar pun diperkirakan bakal redup hingga sembilan bulan ke depan. Bank-bank sentral dunia—dipelopori oleh Rusia—akan mengurangi cadangan devisanya dari dolar ke euro.
Fauzi juga memperkirakan, untuk menggerakkan sektor propertinya yang lesu, suku bunga bank sentral Amerika yang kini tinggal 5,25 persen diperkirakan tahun ini masih bisa turun ke level 4,5 persen. ”Menurunnya suku bunga membuat dolar semakin tidak menarik,” kata Fauzi. Karena itu, ia merekomendasikan, ”Investor harus cepat-cepat keluar dari dolar dan beralih ke euro atau yen.” Kalaupun ingin tetap menimbun dolar, katanya, sebaiknya porsi investasinya diciutkan tinggal 30 persen saja.
Tak ada salahnya investor juga mulai melirik valuta asing non-dolar, seperti rubel (Rusia), rupee (India), atau real (Brasil). Tapi, karena tak gampang mendapatkannya, investasi bisa dilakukan secara tidak langsung lewat pembelian saham perusahaan dari negara-negara itu. Di India, misalnya, investor bisa membidik saham industri retail. Sedangkan di Rusia dengan membeli saham sektor energi. Adapun di Brasil dengan membeli saham-saham produsen bioetanol.
Namun, Anton Gunawan, ekonom Citigroup, tidak yakin cadangan devisa dunia akan banyak dialihkan dari dolar ke euro. Menurut dia, sepanjang 2007, yen memang punya potensi menguat, tapi euro justru cenderung melemah. Masalahnya lagi, kata Anton, yen belum bisa diandalkan sebagai kendaraan investasi. Soalnya, bank sentral Jepang cenderung akan melakukan intervensi bila yen menguat. ”Nilai tukar yang kuat bisa memukul ekspor Jepang,” kata Anton. Jadi, belum tentu dolar harus serta-merta ditinggalkan.
Reksadana
Trauma ambruknya pasar reksadana pada September 2005 sepertinya sudah mulai pupus. Sejak kuartal pertama 2006, pasar reksadana terus menggeliat. Ini tecermin dari tumbuhnya nilai aktiva bersih reksadana hingga 96 persen pada tutup tahun 2006.
Menurut Rizka Baely, Presiden Direktur PT Momentum Asset Management, membaiknya pasar reksadana tak lepas dari kebijakan Bank Indonesia menurunkan suku bunga sejak pertengahan 2006. “Penurunan suku bunga yang bakal berlanjut pada 2007 membuat pasar modal semakin menarik,” katanya. Karena itu, ia menyarankan investor memilih reksadana saham. ”Ini jenis reksadana yang paling berpotensi mendatangkan untung,” kata Rizka. Disusul reksadana pendapatan tetap, lalu reksadana pasar uang.
Dari sisi pertumbuhan investasi, ia memperkirakan, reksadana saham akan naik hingga 20 persen. Sedangkan reksadana pendapatan tetap tumbuh 12 persen. Adapun potensi pertumbuhan reksadana pasar uang sekitar 10 persen.
Produk lain yang layak diperhatikan adalah exchange trade funds (ETFs) yang aturan mainnya baru diluncurkan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) awal Desember 2006. ”Produk ini lebih transparan buat investor,” kata Rizka. Lewat produk ini, aset yang dibeli bisa dilihat investor kapan saja, karena unit penyertaannya diperjualbelikan layaknya saham.
Deposito
Di tengah tren penurunan suku bunga Bank Indonesia, yang kini tinggal 9,75 persen—bahkan diperkirakan bakal turun hingga 8,25 persen tahun ini—pilihan membenamkan uang di bank memang menjadi kian tak menarik. Bunga deposito hampir bisa dipastikan bakal mengkerut.
Beberapa bank besar bahkan sudah mematok bunga deposito di kisaran tujuh persen. Padahal inflasi diperkirakan masih sekitar 5-7 persen. Dengan begitu, suku bunga riil (setelah dikurangi inflasi) yang bakal dinikmati investor pun kian kecil jadinya. Tak mengherankan, sejumlah analis menyarankan agar investor mengalihkan portofolio investasinya dari deposito ke instrumen lain.
Misalnya, dengan menambah portofolio saham. ”Karena deposito hanya transisi untuk investasi jangka panjang,” kata Fauzi Ichsan, ekonom StanChart. Lain soal, kata dia, bila suku bunga kembali meningkat hingga 12,75 persen seperti awal 2006.
Meski begitu, Anika Faisal, Direktur Bank Danamon, mengatakan turunnya suku bunga tidak serta-merta membuat nasabah lari meninggalkan deposito. ”Meski pemasukan kecil, pasar deposito akan tetap ada karena risikonya paling kecil,” ujarnya. Pada akhirnya, semua memang terserah pada pilihan Anda.
Obligasi
Di mata Rizka Baely, investasi di pasar obligasi termasuk yang juga layak diperhitungkan oleh para pemodal. Bakal berlanjutnya penurunan suku bunga Bank Indonesia pada 2007, kata dia, akan membuat obligasi kian menarik untuk dilirik. Syaratnya, kupon atau bunga obligasi yang ditawarkan masih di atas suku bunga bank.
Namun, untuk mengurangi risiko, Rizka menyarankan investor memilih obligasi yang diterbitkan pemerintah, meski imbal hasil keuntungan yang ditawarkannya (saat ini kurang dari 10 persen) lebih kecil dari obligasi korporat. Alasannya, ”Memilih obligasi tidak cuma melihat return, tapi juga melihat risiko kreditnya,” kata Rizka. Selain itu, obligasi yang diterbitkan pemerintah lebih likuid ketimbang obligasi korporat.
Pandangan berbeda diungkapkan Fauzi Ichsan. Menurut ekonom Standard Chartered Bank ini, keinginan untuk meningkatkan portofolio obligasi pada 2007 sudah terlambat. Sebab, imbal hasil keuntungan obligasi sudah turun menjadi sekitar 10 persen. Padahal, hingga pertengahan tahun lalu, imbal hasilnya masih 13-14 persen.
Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal Edwin Sinaga. “Dari sisi imbal hasil sudah tidak menarik,” katanya. Ia bahkan mengatakan, kondisi makroekonomi 2007 tidak akan memberikan sinyal positif bagi pasar obligasi bila sektor riil belum juga bergerak.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo