Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Volatilitas rupiah yang terjadi sejak awal tahun 2018 hingga Maret ini masih lebih rendah dibandingkan dengan mata uang di kawasan Asean, bahkan juga dengan mata uang di negara-negara berisiko tinggi (fragile five).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi yang penting sebenarnya volatilitas karena bagi pengusaha apakah (mata uang) itu menguat atau melemah, yang penting mereka punya waktu untuk melakukan adjustment," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi, Rabu, 14 Maret 2018.
Doddy mengungkapkan volatilitas rupiah hanya sekitar 8 persen. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, volatilitas Indonesia termasuk yang paling rendah. Volatilitas won Korea Selatan mencapai 9 persen, ringgit Malaysia 9,3 persen, peso Filipina 8,2 persen dan baht Thailand 9 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, volatilitas mata uang di negara-negara berisiko tinggi tercatat lebih tinggi. Berdasarkan data BI, volatilitas real Brazil mencapai 15 persen, peso Mexico 13 persen, lira Turki 8,8 persen dan rubel Rusia 14 persen.
Doddy menegaskan, pihaknya akan menjaga volatilitas rupiah. Selain volatilitas, BI juga akan mengawasi pergerakan pelemahan rupiah yang terjadi sejak awal Maret yang tercatat melemah hingga 0,27 persen.
BI mencatat, Rupiah memiliki nilai pelemahan yang cukup rendah dibandingkan mata uang beberapa negara fragile five, di mana pelemahan peso Brazil tercatat 0,28 persen, lira Turki melemah 0,32 persen, dan rubel Rusia 0,49 persen.
"Jadi pergerakan rupiah tidak terlalu dalam, pelemahan rupiah lebih kecil. Beberapa hari terakhir, kita melihat rupiah relatif terkendali," ujarnya.
Doddy memaparkan, pelaku pasar di dalam negeri meyakini komitmen BI untuk terus menjaga stabilitas rupiah sangat kuat sehingga aksi jual rupiah tidak berlanjut.