Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bis Udara Buat Garuda

Garuda bermaksud melengkapi armadanya dengan pesawat berperut lebar. Pembiayaan pembelian pesawat akan dicarikan kredit dari sindikat bank luar negeri. Kini sedang dijajaki antara Airbus dan Boeing.(eb)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI saat ini pesawat terbang yang digunakan perusahaan penerbangan nasional Garuda adalah jenis DC buatan perusahaan Amerika McDonnel Douglas dan Fokker buatan Belanda dan Jerman Barat. Kini Garuda sedang mempertimbangkan menambah jenis pesawatnya. Dan yang sedang dijajagi dengan serius adalah jenis Airbus, bikinan perusahaan konsorsium Perancis, Jerman Barat dan Inggeris. Sebuah sumber mengungkapkan perundingan sedang berlangsung antara Garuda dengan Airbus-lndustrie, perusahaan multinasional yang memprodusir pesawat berpcrut lebar itu. Menurut sumber itu, Garuda berminat untuk membeli empat buah Airbus dengan kemungkinan tambahan order dua pesawat yang bisa mengangkut banyak penumpang itu. Harian The Asian Wall Street Journal menyebutkan perundingan sudah berlangsung "di tingkat atas" dan sudah "melangkah jauh". Kalaupun ada perubahan, sebuah sumber yang dekat dengan Garuda memastikan, itu hanya terbatas pada soal modifikasi. Dir-Ut Garuda Wiweko Supono, selepas melapor kepada Presiden Soeharto di Cendana akhir pekan lalu, memang tak secara jelas menyebutkan perusahaannya akan membeli pesawat dari perusahaan konsorsium tiga negara Eropa itu. Tapi kepada Kepala Negara, dia melaporkan persiapan untuk melengkapi armadanya dengan pesawat berperut lebar (wide body). Mengaku Rugi Sudah lama Garuda memikirkan penambahan jenis pesawatnya, terutama jenis yang bisa mengangkut lebih banyak penumpang untuk memenuhi arus penumpang dalam negeri yang makin padat. Tahun lalu jumlah penumpang dalam negeri yang diangkut Garuda naik 25%. Untuk menampungnya dua DC-10 yang sudah dibeli Garuda akan melengkapi 4 DC-10 yang sekarang suaah beroperasi. Sedang untuk jalur dalam negeri DC-9 Garuda akan tambah 7 lagi menjadi 25 pesawat. Kalau Garuda jadi membeli Airbus jenis A-300 -- yang realisasinya diperkira kan baru dua tahun lagi -- maka dengan harga pesawat US$ 35 juta per buah, berarti Garuda harus menyediakan dana segede Rp 131 milyar: jumlah yang tidak sedikit. Apalagi setelah dirundung Kenop-15, Garuda mengaku rugi Rp 43 juta setiap harinya. Menurut Wiweko itu terutama disebabkan komponen biaya luar negeri naik 43%, sedangkan Garuda belum boleh menaikkan harga tiketnya. Pemerintah rupanya setuJu Garuda menuntut tarifnya dinaikkan sekarang juga. Sebab, konon 90% dari keuntungannya bersumber dari operasi di dalam negeri. Sesudah bertemu dengan Presiden baru-baru ini, Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin juga mengungkapkan: "llarga tiket Garuda akan diseuaikan," karena "suku cadang yang mempunyai komponen luar negeri memang sudah dibeli dengan kurs Rp 625." Dikemukakannya, "tidak lama lagi," pemerintah akan mengambil keputusan tentang hal inii Rusmin tidak menyebutkan berapa kenaikan harga tiket itu. Tapi di kalangan Garuda, kabarnya mereka tak ingin kurang dari 21%. Sekalipun dalam dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Wiweko mengusulkan kenaikan harga tiket sebanyak 25%. Berapapun harga tiket akan naik, dapat dipastikan untuk memperoleh dana buat pembelian tambahan pesawat terbangnya, Garuda harus kembali mencari kredit dari bank. Di kalangan bankir luar negeri, Garuda mempunyai reputasi yang cukup baik. Sebagai perusahaan negara Garuda boleh juga labanya, sebelum Kenop-15. Di depan DPR Dir-Ut Wiweko dengan bangga mengungkapkan keuntungan Garuda sudah mencapai Rp 50 milyar dalam 10 tahun terakhir. Masuk akal kalau boss Garuda itu keberatan untungnya kini harus berkurang dengan Rp 43 juta setiap hari. Dengan menikmati kedudukall monopoli di dalam negeri, ditambah arus penumpang yang terus meningkat setiap tahun, tak syak lagi masa depan Garuda makin cerah. Ini saja sudah merupakan modal yang baik bagi Garuda untuk mengetuk pintu bank mana saja buat cari kredit. Segi minus Garuda di mata para bankir, agaknya adalah kedudukannya sebagai perusahaan milik negara, yang kebijaksanaan komersialnya tetap dibatasi oleh kebijaksanaan pemerintah. Tapi soal pokok yang mungkin bisa menghambat pemberian kredit bank adalah ini: sejauh mana Pemerintah atau Bank Indonesia bersedia menjamin kredit yang diberikan kepada Garuda? Pengalaman Pahit Para bankir umumnya ingin agar kredit yang diberikan kepada Garuda punya deking jaminan pemerintah. Sebaliknya pemerintah tentunya tak begitu senang kalau harus ikut campur dalam persoalan kredit yang diusahakan perusahaan-perusahaannya. Sikap demikian, adalah untuk mencegah pengalaman pahit Pertamina terulang lagi. "Bukan berarti Garuda tidak bonafide," kata seorang bankir yang mengetahui. "Tapi BI tampaknya tak ingin membeda-bedakan antara perusahaan milik negara." Kabarnya sikap itu pula yang nyaris menyulitkan Garuda, sebelum dia berhasil menerima kredit komersil sebanyak US$112,5 juta dari satu sindikat yang dipimpin Chase Manhattan Asia Ltd., anak perusahaan bank Chase Manhattan New York yang berkedudukan di Hongkong. Dengan masa pengembalian 5 tahun, tingkat bunganya sedikit lebih ringan yang diperoleh BI dari konsorsium yang dipimpin Morgan Guarantie Trust. Belum diketahui apakah sindikat bank yang sama kembali didekati Garuda untuk pembiayaan pembelian pesawat Airbus nanti. Sebuah sumber TEMPO beranggapan, selain sindikat yang dipimpin cabang Chase Manhattan di Hongkong itu, bukan mustahil para bankir di Eropa mulai diketuk pintunya oleh Airbus Industrie untuk membantu rencana baik Garuda itu. Bagi produsen Airbus, tak ada kemenangan yang lebih besar kini dari kesediaan Garuda untuk membeli hasil produksinya. Baik Airbusndustrieyang Perancis maupun Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) yang di Jerman Barat, ternyata belum menerima kembali pokok uang yang ditanamkannya pada proyek Airbus. Sekalipun Airbus yang terjual selama 1978 mencapai 63 buah (dibanding Boeing 747 terjual 74 dan DC-10 hanya 38), MBB toh merasa rugi Rp 10 milyar. Dan bagi perusahaan kongsi Perancis-Jerman Barat ini, tak mudah rupanya memperoleh laba dalam waktu dekat. Pengalaman industri kapal terbang AS menunjukkan sekurangnya 500 buah pesawat musti laku terjual, baru bisa untung. Juga daya saing produsen Airbus makin lemah karena kurs dollar terus merosot terhadap mata uang DM. Maka harga jual satu unit Airbus relatif jadi lebih mahal dibanding pesawat lain dari kapasitas yang sama, seperti Boeing 767 (lihat box). Akan halnya Boeing 747 yang terkenal itu, Dir-Ut Wiweko juga melihatnya sebagai salah satu alternatif untuk melengkapi armada pesawat perut lebar bagi penerbangan jarak jauh. Penjajagan sudah beberapa kali dilakukan, antara laln dengan sering datangnya utusan Boeing dari Seattle bernama Neils ke Jakarta. Bukan mustahil rencana pembelian Boeing yang satu paket dengan Airbus itu, kalau nanti terlaksana, akan jatuh pada waktu yang sama: dua tahun lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus