SAMPAI saat ini pesawat terbang yang digunakan perusahaan
penerbangan nasional Garuda adalah jenis DC buatan perusahaan
Amerika McDonnel Douglas dan Fokker buatan Belanda dan Jerman
Barat. Kini Garuda sedang mempertimbangkan menambah jenis
pesawatnya. Dan yang sedang dijajagi dengan serius adalah jenis
Airbus, bikinan perusahaan konsorsium Perancis, Jerman Barat
dan Inggeris.
Sebuah sumber mengungkapkan perundingan sedang berlangsung
antara Garuda dengan Airbus-lndustrie, perusahaan multinasional
yang memprodusir pesawat berpcrut lebar itu. Menurut sumber itu,
Garuda berminat untuk membeli empat buah Airbus dengan
kemungkinan tambahan order dua pesawat yang bisa mengangkut
banyak penumpang itu. Harian The Asian Wall Street Journal
menyebutkan perundingan sudah berlangsung "di tingkat atas" dan
sudah "melangkah jauh". Kalaupun ada perubahan, sebuah sumber
yang dekat dengan Garuda memastikan, itu hanya terbatas pada
soal modifikasi.
Dir-Ut Garuda Wiweko Supono, selepas melapor kepada Presiden
Soeharto di Cendana akhir pekan lalu, memang tak secara jelas
menyebutkan perusahaannya akan membeli pesawat dari perusahaan
konsorsium tiga negara Eropa itu. Tapi kepada Kepala Negara, dia
melaporkan persiapan untuk melengkapi armadanya dengan pesawat
berperut lebar (wide body).
Mengaku Rugi
Sudah lama Garuda memikirkan penambahan jenis pesawatnya,
terutama jenis yang bisa mengangkut lebih banyak penumpang untuk
memenuhi arus penumpang dalam negeri yang makin padat. Tahun
lalu jumlah penumpang dalam negeri yang diangkut Garuda naik
25%. Untuk menampungnya dua DC-10 yang sudah dibeli Garuda akan
melengkapi 4 DC-10 yang sekarang suaah beroperasi. Sedang untuk
jalur dalam negeri DC-9 Garuda akan tambah 7 lagi menjadi 25
pesawat.
Kalau Garuda jadi membeli Airbus jenis A-300 -- yang
realisasinya diperkira kan baru dua tahun lagi -- maka dengan
harga pesawat US$ 35 juta per buah, berarti Garuda harus
menyediakan dana segede Rp 131 milyar: jumlah yang tidak
sedikit. Apalagi setelah dirundung Kenop-15, Garuda mengaku rugi
Rp 43 juta setiap harinya. Menurut Wiweko itu terutama
disebabkan komponen biaya luar negeri naik 43%, sedangkan Garuda
belum boleh menaikkan harga tiketnya.
Pemerintah rupanya setuJu Garuda menuntut tarifnya dinaikkan
sekarang juga. Sebab, konon 90% dari keuntungannya bersumber
dari operasi di dalam negeri. Sesudah bertemu dengan Presiden
baru-baru ini, Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin juga
mengungkapkan: "llarga tiket Garuda akan diseuaikan," karena
"suku cadang yang mempunyai komponen luar negeri memang sudah
dibeli dengan kurs Rp 625." Dikemukakannya, "tidak lama lagi,"
pemerintah akan mengambil keputusan tentang hal inii Rusmin
tidak menyebutkan berapa kenaikan harga tiket itu. Tapi di
kalangan Garuda, kabarnya mereka tak ingin kurang dari 21%.
Sekalipun dalam dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Wiweko
mengusulkan kenaikan harga tiket sebanyak 25%.
Berapapun harga tiket akan naik, dapat dipastikan untuk
memperoleh dana buat pembelian tambahan pesawat terbangnya,
Garuda harus kembali mencari kredit dari bank. Di kalangan
bankir luar negeri, Garuda mempunyai reputasi yang cukup baik.
Sebagai perusahaan negara Garuda boleh juga labanya, sebelum
Kenop-15. Di depan DPR Dir-Ut Wiweko dengan bangga mengungkapkan
keuntungan Garuda sudah mencapai Rp 50 milyar dalam 10 tahun
terakhir. Masuk akal kalau boss Garuda itu keberatan untungnya
kini harus berkurang dengan Rp 43 juta setiap hari.
Dengan menikmati kedudukall monopoli di dalam negeri, ditambah
arus penumpang yang terus meningkat setiap tahun, tak syak lagi
masa depan Garuda makin cerah. Ini saja sudah merupakan modal
yang baik bagi Garuda untuk mengetuk pintu bank mana saja buat
cari kredit. Segi minus Garuda di mata para bankir, agaknya
adalah kedudukannya sebagai perusahaan milik negara, yang
kebijaksanaan komersialnya tetap dibatasi oleh kebijaksanaan
pemerintah. Tapi soal pokok yang mungkin bisa menghambat
pemberian kredit bank adalah ini: sejauh mana Pemerintah atau
Bank Indonesia bersedia menjamin kredit yang diberikan kepada
Garuda?
Pengalaman Pahit
Para bankir umumnya ingin agar kredit yang diberikan kepada
Garuda punya deking jaminan pemerintah. Sebaliknya pemerintah
tentunya tak begitu senang kalau harus ikut campur dalam
persoalan kredit yang diusahakan perusahaan-perusahaannya. Sikap
demikian, adalah untuk mencegah pengalaman pahit Pertamina
terulang lagi. "Bukan berarti Garuda tidak bonafide," kata
seorang bankir yang mengetahui. "Tapi BI tampaknya tak ingin
membeda-bedakan antara perusahaan milik negara."
Kabarnya sikap itu pula yang nyaris menyulitkan Garuda, sebelum
dia berhasil menerima kredit komersil sebanyak US$112,5 juta
dari satu sindikat yang dipimpin Chase Manhattan Asia Ltd., anak
perusahaan bank Chase Manhattan New York yang berkedudukan di
Hongkong. Dengan masa pengembalian 5 tahun, tingkat bunganya
sedikit lebih ringan yang diperoleh BI dari konsorsium yang
dipimpin Morgan Guarantie Trust.
Belum diketahui apakah sindikat bank yang sama kembali didekati
Garuda untuk pembiayaan pembelian pesawat Airbus nanti. Sebuah
sumber TEMPO beranggapan, selain sindikat yang dipimpin cabang
Chase Manhattan di Hongkong itu, bukan mustahil para bankir di
Eropa mulai diketuk pintunya oleh Airbus Industrie untuk
membantu rencana baik Garuda itu.
Bagi produsen Airbus, tak ada kemenangan yang lebih besar kini
dari kesediaan Garuda untuk membeli hasil produksinya. Baik
Airbusndustrieyang Perancis maupun Messerschmitt-Bolkow-Blohm
(MBB) yang di Jerman Barat, ternyata belum menerima kembali
pokok uang yang ditanamkannya pada proyek Airbus. Sekalipun
Airbus yang terjual selama 1978 mencapai 63 buah (dibanding
Boeing 747 terjual 74 dan DC-10 hanya 38), MBB toh merasa rugi
Rp 10 milyar. Dan bagi perusahaan kongsi Perancis-Jerman Barat
ini, tak mudah rupanya memperoleh laba dalam waktu dekat.
Pengalaman industri kapal terbang AS menunjukkan sekurangnya 500
buah pesawat musti laku terjual, baru bisa untung. Juga daya
saing produsen Airbus makin lemah karena kurs dollar terus
merosot terhadap mata uang DM. Maka harga jual satu unit Airbus
relatif jadi lebih mahal dibanding pesawat lain dari kapasitas
yang sama, seperti Boeing 767 (lihat box).
Akan halnya Boeing 747 yang terkenal itu, Dir-Ut Wiweko juga
melihatnya sebagai salah satu alternatif untuk melengkapi armada
pesawat perut lebar bagi penerbangan jarak jauh. Penjajagan
sudah beberapa kali dilakukan, antara laln dengan sering
datangnya utusan Boeing dari Seattle bernama Neils ke Jakarta.
Bukan mustahil rencana pembelian Boeing yang satu paket dengan
Airbus itu, kalau nanti terlaksana, akan jatuh pada waktu yang
sama: dua tahun lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini