HAJI Mukmin dari Tegal mungkin merupakan pengusaha yang menjadi
contoh pengusaha kecil lainnya. Sesudah diterima Presiden
Suharto baru-baru ini, orang Nomor 1 di Indonesia itu langsung
memberi order hasil produksinya 1000 unit alat penyemprot hama
seharga Rp 26.000 per buah. Di samping itu suatu surat keputusan
Bupati Tegal membuat hasil produksinya terjamin pemasarannya
sekurangnya 50% keperluan sprayer (alat semprot untuk seluruh
sawah yang ikut Bimas di Kabupaten Tegal harus dipenuhi oleh
penyemprot buatan Haji Mukmin. Kepercayaan pemerintah terhadap
produksi Haji Mukmin tentunya tak datang begitu saja.
Berdasarkan hasil uji Departemen Pertanian pada 1976, alat
semprot Mukmin dinyatakan sebagai barang yang berkwalitas
internasional, hingga bisa digunakan sebagai alat standar petani
untuk menyemprot hama.
Seperti banyak keberuntungan lainnya, keberuntungan Haji Mukmin
muncul sebagai peristiwa yang tak diduga. Ketika pemerintah
menggalakkan program Bimas, pemerintah mengontrak perusahaan
asing CIBA untuk melakukan penyemprotan hama dari udara dengan
kapal terbang. Seandainya operasi CIBA itu berhasil, maka nasib
Haji Mukmin tentunya akan lain. Tapi penyemprotan obat dari
udara oleh CIBA ternyata menimbulkan efek sampingan yang
berbahaya: sekalipun hama terbunuh, tapi hewan ternak milik
petani juga terkena, dan yang lebih parah, sumur penduduk juga
ikut diracuni obat anti hama. Pemerintah menghentikan operasi
CIBA dari udara dan beralih ke alat penyemprot biasa, sekalipun
mungkin tidak seefektif kapal terbang penyemprot.
Industri alat-alat dari besi dan logam memang bukan barang baru
bagi Haji Mukmin. Seperti kebanyakan penduduk desa Kajen
Kabupaten Tegal, Haji Mukmin juga seorang pandai besi yang
membikin peralatan bangunan dari besi seperti grendel, engsel,
kunci. Suatu bisnis yang ditangani dengan serius sejak 1959.
Sekitar akhir 1960-an, usaha Haji Mukmin hampir saja bangkrut,
karena ternyata konsumen lebih menyukai barang impor terutama
asal Jepang dan RRC. Sebelum dia memutuskan untuk menutup
bengkelnya, Mukrnin pergi ke Jakarta dan Bandung, membeli
masing-masing 1 lusin peralatan buatan Jepang dan RRT. Kembali
ke Tegal, dia coba untuk membuat alat-alat persis seperti buatan
luar negeri. Dia rupanya berhasil. Buktinya Ketika Gubernur
Jawa Tengah (waktu itu) Munadi berkunjung ke bengkelnya, dia
tal bisa membedakan antara grendel dan engsel "made in Tegal"
dari yang buatan Jepang atau RRC. Ini merupakan peluang bagi
Haji Mukmin untuk mendapat pesanan dari pemerintah terhadap
hasil produksinya.
Lokomotif
Sekarang ini bengkel Haji Mukmin mempekerjakan sekitar 75
teknisi yang sebagian besar pelajar STM yang putus sekolah.
Jumlah produksinya 1.000 unit alat penyemprot tangan sebulan.
Dengan kata lain, harga order yang diberikan Presiden merupakan
penghasilan kotor sedikitnya Rp 26 juta sebulan. Ini belum
termasuk hasil dari penjualan produksi lainnya seperti garpu
tanah dan sekop.
Berapa omset atau hasil penjualannya, wak Haji keberatan
menyebutkannya. "Itu rahasia," katanya. Tapi dari daerah
pemasaran yang dijangkau produksinya, bisa dipastikan dia bukan
kelas teri. Selain seluruh Jawa, alat semprot buatannya itu juga
terkenal di daerah transmigran seperti Sumatera Selatan dan juga
di Sulawesi Selatan. Kini orang dari desa Kajen itu sedang ikut
tender Pemerintah di Jakarta.
Maka bisa dimengerti kalau perusahaannya butuh modal yang lebih
besar. Pada mulanya, demikian cerita Mukmin, dia bekerja dengan
modal sendiri. Tapi ia juga dapat Kredit Investasi Kecil (KIK)
dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) sebanyak Rp 12 juta dari
Bank Pembangunan Daerah cabang Tegal. Kin, untuk lebih
mendorong perusahaannya, Haji Mukmin sedang mengail tambahan
kredit lagi sehingga mencapai Rp 120 juta.
Haji Mukmin rupanya juga seorang pengusaha yang lapang dada
terhadap ambisi karyawannya. Kalau ada karyawannya yang ingin
mendirikan usaha sendiri dengan membikin komponen yang
diperlukan bengkel Haji ukmin, dia tak keberatan dan malah
mendorongnya. Tak heran kalau banyak bekas karyawannya menjadi
pensuplai, dan menerima sub-kontrak dari Haji Mukmin untuk
melever beberapa komponen. Untuk melicinkan usaha bekas
karyawannya itu. Mukmin juga memberi bantuan modal dalam bentuk
uang dan bahan baku. Tapi modal tetap berupa mesin dan alat-alat
harus disediakan sendiri oleh para sub-kontraktor itu. Praktis,
kini bengkel Haji Mukmin hanya membikin komponen yang penting
saja seperti tabung dan pompanya di samping merakitnya menjadi
barang jadi.
Kenapa Haji Mukmin lebih senang sistim kerja seperti ini? "Biar
mereka ikut menikmati hasilnya," katanya kepada Churozi Mulyo,
pembantu TEMPO di Pekalongan. Sikap Mukmin itu amat dihargai
oleh pandai besi lainnya di desa Kajen. Mereka sadar produksi
alat penyemprot hama merk MUTOF (dari Mukmin dan Tofik anaknya)
sekarang ini berfungsi sebagai lokomotif yang menarik industri
pandai besi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini