Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ayam-ayam dari Negeri Samba bakal siap-siap menari di pasar dalam negeri setelah Indonesia kalah gugatan dari Brazil di World Trade Organization atau WTO. Keputusan itu membuat Indonesia harus memenuhi tuntutan Brazil dalam membuka peluang untuk impor daging ayam broiler dalam beberapa waktu kedepan.
Menurut Rudi Afnan, Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, ayam impor dari Brazil ini akan mengancam peternak lokal. Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia tidak perlu melakukan impor daging ayam.
Dilansir dari kanal resmi IPB, ipb.ac.id, Rudi mengatakan, "Ini lebih terkait pada masalah kebijakan atau policy dalam perdagangan internasional dimana kita terpaksa menerima impor ayam dari Brasil. Sementara kita sendiri sudah swasembada untuk daging broiler bahkan sejak tahun 2008 hingga sekarang kita sudah berhasil ekspor."
Menurutnya, Indonesia sendiri sudah berada dalam 10 besar negara yang menghasilkan ayam broiler terbesar di dunia. untuk penghasilan setiap tahunnya, Indonesia memproduksi 107 juta ton ayam dan hampir dua persen ayam broiler di dunia dihasilkan di Indonesia.
"Brazil sendiri itu berada pada urutan ketiga dunia. Karena produksinya meroket maka dia akan mengekspor daging ke Indonesia dengan harga yang relatif murah yaitu sekitar Rp 14 ribu/kilogram,” ujarnya. Selain itu peternak dan industri Indonesia akan sulit bersaing, dan juga menjadi ancaman bagi peternak Indonesia.
Menurut Rudi, salah satu cara yang harus dilakukan adalah efisiensi, walaupun hal ini akan sulit mengingat harga produksi lokal mencapai Rp. 30-40 ribu per kilogramnya. Sementara untuk daging ayam broiler mencapai Rp. 14 ribu per kilogram.
Komponen yang menjadi kendala bagi produksi ayam broiler ialah pakan yang mencapai porsi 60 persen. "Pakan itu sendiri 50 persennya adalah jagung dan harganya juga mahal. Untuk pakan jagung, bahan pakan lokal sendiri kadar airnya tinggi dan berisiko reject di pabrik pakan. Ini juga harus diperhatikan pemerintah. Jadi mayoritas jagung untuk pakan masih impor, selain itu juga ada biaya Day Old Chicken (DOC) dan obat-obatan," ungkapnya.
Salah satu efisiensi yang perlu dilakukan, menurut Rudi yaitu, mendesak pemerintah untuk memberikan subsidi kepada peternak. Hal ini mengingat daging ayam broiler dari Brazil lebih murah dikarenakan terdapat corn estate dan subsidi dari pemerintah.
Ia menjelaskan, jika pemerintah bisa menjamin stok jagung nasional dan DOC maka harga daging broiler akan menurun sehingga yang dibayarkan konsumen tidak terlalu tinggi. Sebab, dari segi cara berternak Indonesia tidak kalah saing dengan Brazil dan negara lainnya.
Lebih lanjut, cara yang perlu dilakukan melalui pemasaran. Untuk produk broiler ini terdapat tiga pasar yang akan menampung yaitu, pasar tradisional, supermarket, dan ekspor. Segmentasi pasar ini juga menjadi cara yang bisa ditempuh.
"Ayam Brasil ini datangnya dalam bentuk beku. Mestinya masuknya di supermarket, tidak boleh masuk ke pasar tradisional. Jadi ada segmentasi pasar dan masyarakat harus ikut membantu yaitu mau membayar lebih tinggi. Meski begitu, harganya harusnya tidak lebih dari dua kali lipat, saya rasa masyarakat masih mau," ungkapnya.
Oleh karena itu, Rudi menjelaskan bahwa efisiensi bisa dilakukan oleh semua peternak ayam, dengan catatan harga pokok pruduksi tidak bisa terlalu tinggi. Dengan demikian bahan pakan jagung dan DOC juga harus semurah mungkin.
GERIN RIO PRANATA
Baca juga: Anggota DPR Ini Desak Pemerintah Atur Impor Bibit Ayam Sesuai UU Cipta Kerja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini