Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bujet Ganjil Pasar Baru

Proyek revitalisasi Pasar Baru Metro Atom milik PD Pasar Jaya ditengarai digelembungkan pengembang. Harga jual kios kelewat mahal.

21 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERTAS segel menempel di sejumlah kios di dua los lantai dua Pasar Baru Metro Atom, Jakarta Pusat, Selasa tiga pekan lalu. Tulisan di kertas berukuran folio itu bermacam-macam: kios ditutup sementara atau dibatalkan. Manajer Pasar Baru Mahadi Sitepu, yang meneken surat penyegelan, meminta pemilik toko segera menyelesaikan masalah perpanjangan hak pemakaian kios.

Beberapa kios lain diminta segera menyelesaikan tunggakan pembayaran uang muka 20 persen. Jumlah tunggakan tiap kios berbeda-beda, ada yang Rp 70 juta, ada juga yang hingga Rp 114 juta. Dilihat dari tanggal segel, penutupan kios oleh manajemen pasar ini sudah dilakukan sejak Maret lalu.

Direktur Utama Perusahaan Daerah Pasar Jaya, Djangga Lubis, mengatakan masa hak pemakaian kios yang berlaku selama 20 tahun habis pada 2008. Itu sebabnya Pasar Jaya meminta pedagang memperpanjang hak pakai untuk 20 tahun berikutnya. Tak semua toko menunggak atau belum membayar uang muka. "Banyak juga yang sudah lunas," katanya.

Sejak bangunannya direvitalisasi pada 2012, harga jual kios di Pasar Baru Metro Atom menjadi masalah antara pedagang, Perusahaan Daerah Pasar Jaya, dan PT Duta Kirana Sejahtera—developer yang menggarap revitalisasi pasar. Seorang pemilik toko yang membuka usaha layanan perbaikan kamera mengatakan harga sewa per kios di lantai dua sangat mahal, bisa mencapai Rp 500 juta. "Kalau tidak mahal, pasti kios-kios ini tidak tutup," katanya kepada Tempo.

Bukan hanya soal harga jual yang dinilai bermasalah. Dari dokumen internal Duta Kirana yang salinannya diperoleh Tempo, diduga kuat terjadi pembengkakan biaya dalam proyek revitalisasi Pasar Baru Metro Atom ini. Revitalisasi bangunan pasar meliputi penggantian instalasi listrik, penggantian dan perbaikan interior gedung, serta perbaikan halaman dan saluran air.

Dalam laporan rencana kerja sama disebutkan penghitungan biaya fisik mencapai Rp 105,9 miliar, ditambah biaya nonfisik Rp 20,7 miliar, sehinggal total biaya revitalisasi Rp 126,7 miliar. Agus Lamun, Asisten Manajer Humas Pasar Jaya, juga memberikan angka yang sama ketika dimintai konfirmasi soal ini.

Namun angka berbeda tercantum dalam laporan cash flow konstruksi yang memuat paket pekerjaan konstruksi, yang dimulai dari April 2012 hingga berakhir pada Maret 2013. Dalam laporan yang memuat realisasi proyek per bulan itu disebutkan nilai pengerjaan hanya Rp 85,3 miliar.

Nilai itu juga tertulis dalam rencana anggaran biaya pelaksanaan proyek, yang disebut dalam dokumen grand summary milik Duta Kirana Sejahtera. Karna Brata Lesmana, direktur utama perusahaan itu, memberikan kisaran angka yang sama. "Ya, sekitar Rp 85 miliar," katanya.

l l l

Djangga mengatakan revitalisasi ini direncanakan bersamaan dengan habisnya hak pakai kios pada 2008. Tampilan gedung pasar yang dibangun 25 tahun lalu itu dianggap perlu diperbaiki. Semula Pasar Jaya ingin membongkar lalu membangun dengan gedung baru. Namun, berdasarkan hitungan konsultan struktur dari Lembaga Teknologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, gedung pasar dianggap masih cukup kuat, sehingga diputuskan cukup dilakukan revitalisasi dengan memperbarui interior gedung.

Sebelum program revitalisasi dilaksanakan, menurut peraturan daerah, Pasar Jaya meminta persetujuan pedagang bahwa pasar akan direvitalisasi. Sebenarnya, kata dia, antara perpanjangan hak pakai dan revitalisasi tidak ada kaitannya. Karena itu, menurut dia, ada atau tidak ada revitalisasi, pedagang harus bersedia menerima harga yang ditetapkan Pasar Jaya. "Revitalisasi ini bagian dari servis kami agar pasar jadi lebih bagus," katanya.

Pasar Jaya kemudian mengajak pihak swasta merevitalisasi bangunan pasar yang direncanakan seluas 16.578 meter persegi. Alasannya, kata Djangga, Pasar Jaya tidak punya dana. Sedangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak mengalokasikan anggaran dalam APBD.

Perusahaan daerah milik DKI Jakarta itu lantas menggandeng PT Duta Kirana Sejahtera dengan mekanisme build, operate, and transfer (BOT). Dalam dokumen perjanjian kerja sama bertanggal 27 Februari 2012, Duta Kirana Sejahtera akan memperoleh hak menerima pendapatan dari hasil penagihan penjualan hak pemakaian tempat usaha alias penjualan kios.

Dari perpanjangan hak pemakaian, pendapatan dari proyek revitalisasi ini akan mencapai Rp 166 miliar. Dari jumlah itu, keuntungan yang akan diperoleh sekitar Rp 39 miliar. Keuntungan ini akan dibagi dua: Pasar Jaya mendapat bagian Rp 10 miliar dan Duta Kirana Rp 29 miliar. Pembagian keuntungan itu, menurut Pasar Jaya, sesuai dengan kesepakatan kedua perusahaan.

Namun jumlah keuntungan tersebut, menurut Karna Brata, baru sebatas perkiraan. Dia mengatakan hingga kini Duta masih menanggung rugi karena tidak semua kios laku terjual. Selain itu, masih ada beberapa pedagang yang belum dan tidak membayar uang muka. Akibatnya, biaya revitalisasi yang sudah dikeluarkan belum balik. "Cash flow saya jadi tidak lancar," ujar Karna.

Apalagi, kata Karna, Duta Kirana mempunyai kewajiban minimum terhadap Pasar Jaya. Maka, walaupun masih merugi, Duta Kirana tetap mempunyai kewajiban terhadap Pasar Jaya. "Jangan bicara untung dulu, balik modal saja saya sudah syukur," katanya. Adapun penerimaan dana kompensasi dari PT Duta Kirana Sejahtera kepada PD Pasar Jaya dibayarkan secara diangsur selama 16 kali angsuran.

Keterangan ini berbeda dengan pencatatan dalam keuangan perusahaan yang tertulis di dokumen internal Duta Kirana. Di sana tertulis perusahaan sudah membukukan pendapatan Rp 160 miliar dari proyek tersebut.

Di samping dugaan pembengkakan biaya, proyek revitalisasi pasar ini juga memuat poin yang disebut biaya entertain untuk Djangga Lubis. Misalnya pada 2 Maret 2012 ada keterangan entertain P. Jangga sebesar Rp 3.729.000 dengan no kas/bank D2-2.

Pada 2011, tercatat ada tiga kali pengeluaran serupa masing-masing 25 Agustus sebesar Rp 6,5 juta, 11 Januari Rp 1.669.800, dan 11 Maret 2011 sebesar Rp 1,5 juta. Pada 7 Agustus 2010, tercatat pengeluaran entertain Rp 11.157.500. Djangga Lubis, melalui Humas Pasar Jaya, menyangkal ada biaya entertain yang diterimanya dari pengembang Pasar Baru Metro Atom.

Karna membantah pernyataan bahwa harga jual kios terlalu mahal. Ia mengatakan penetapan harga kios sudah melalui kesepakatan dengan pedagang. Dia mengungkapkan bahwa harga jual kios Rp 8-50 juta per meter persegi sudah termasuk murah. "Mana ada di Jakarta tanah segitu?" katanya.

Dari pantauan Tempo, yang terlihat jelas dari revitalisasi ini adalah penggantian lantai dengan keramik dan plafon atau eternit, sedangkan rolling door alias pintu kios, menurut salah satu pedagang, Munawir, masih menggunakan pintu yang lama, hanya dicat. Lift di pojok lantai dua juga tidak bisa digunakan. "Dipakai pas kemarin ada peresmian food court, besoknya sudah enggak bisa," katanya.

Pelaksana Tugas Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pedagang yang menolak harga jual baru umumnya punya 10-20 kios. Soal dugaan penggelembungan anggaran revitalisasi Pasar Baru Metro Atom, dia mengatakan agar hal itu diserahkan saja kepada kejaksaan. "Silakan saja selidiki," katanya. "Hanya, oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu tidak pernah jadi temuan."

Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus