Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKHAWATIRAN terhadap penerbangan murah kembali terdengar setelah kecelakaan pesawat MD-82 milik Lion Air di Solo, 30 November lalu. Maklum, maskapai yang baru masuk pasar angkutan udara pada 2000 ini boleh dikatakan "pionir" tarif murah. Namun, "Tidak tepat menuding tarif murah sebagai penyebab kecelakaan itu," kata mantan Direktur Utama Pelita Air Services, Soeratman, yang juga pernah memimpin Merpati Nusantara Airlines. Sebab, penerapan aturan keselamatan penerbangan sangat ketat.
Menurut Direktur Sertifikasi Kelaikan Udara Departemen Perhubungan, Iing Iskandar, operator penerbangan wajib merawat pesawat sesuai dengan standar keselamatan penerbangan sipil yang mengacu pada peraturan International Civil Aviation Organization (ICAO). Hasil perawatan harus tercatat (recorded) dan diperiksa oleh petugas berlisensi. Setelah itu, pesawat harus diuji coba. Auditor dari ICAO juga akan datang tanpa pemberitahuan untuk mengaudit kelaikan pesawat itu.
Mantan Presiden Direktur Sempati Air, Hasan Soedjono, mengungkapkan statistik kecelakaan penerbangan setelah reformasi justru jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. Padahal tarif penerbangan ketika itu jauh lebih mahal. "Jadi, tidak terbukti kecelakaan itu gara-gara tarif murah," kata Hasan. Maskapai tidak mungkin berani main-main dengan keselamatan. "Kerugian maskapai akibat kecelakaan akan jauh lebih besar dari biaya perawatan."
Kecelakaan penerbangan, kata Hasan, bisa disebabkan faktor cuaca, kesalahan pilot, kesalahan peralatan, kesalahan operator, dan kesalahan pemerintah. Bila kondisi pesawat laik terbang, faktor yang paling mempengaruhi kecelakaan adalah cuaca. "Ini faktor yang tak bisa dipengaruhi," kata Hasan. Namun, penyebab pastinya harus menunggu hasil pemeriksaan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi. "Tidak boleh diduga-duga," ujarnya.
Khusus pesawat Lion Air MD-82 yang mengalami kecelakaan itu, menurut Vice President Engineering Services GMF Aero Asia, Suwito, pesawat itu baru saja dirawat oleh GMF untuk 3.000 jam terbang, dan dinyatakan laik terbang pada 10 November 2004. Toh, menurut Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, pemerintah bisa menerapkan tarif batas bawah agar maskapai memiliki dana yang cukup untuk memenuhi biaya operasi. Soal korelasi tarif murah dengan kecelakaan penerbangan, Hotasi tak mau berkomentar.
Tarif batas bawah itu, menurut Manajer Humas Lion Air, Hasyim Arsal Alhabsi, justru tak diperlukan karena akan menghambat persaingan dan pertumbuhan penumpang. Tahun ini jumlah penumpang 25 juta orang, naik dari 16 juta orang pada 2003. "Tarif murah itu bisa diterapkan karena biaya operasi penerbangan juga murah," katanya. "Bahkan, dengan harga tiket saat ini, Lion Air tak hanya meraup untung, tapi juga berpromosi dengan undian miliaran rupiah."
Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, Cucuk Suryo Suprojo, mengatakan biaya operasi penerbangan saat ini memang semakin murah. Rata-rata hanya US$ 3 sen per kursi per kilometer dibandingkan dengan US$ 11 sen sebelum operator penerbangan sebanyak seperti saat ini. Persaingan angkutan udara yang semakin kompetitif mendorong maskapai semakin efisien. Turunnya biaya operasi juga dipicu oleh sewa pesawat dan penggunaan teknologi yang lebih murah.
Menurut Soeratman, fenomena penerbangan murah sudah menggejala di banyak negara. Di Indonesia, murahnya biaya operasi penerbangan juga karena operator-operator penerbangan baru tidak perlu menguras investasi terlalu besar untuk mendidik tenaga penerbangan, seperti pilot dan teknisi. "Mereka bisa mencari tenaga berpengalaman dengan bayaran menarik," kata bekas Direktur Teknik Garuda Indonesia itu.
Operator baru juga bisa lebih efisien karena organisasinya lebih ramping dan hanya berkantor di ruko. Apalagi operator baru ini sangat menguasai pasar karena sebelumnya berangkat dari bisnis perjalanan (travel agent), sehingga tidak sulit mencari penumpang. "Karakter ini jauh berbeda dengan operator penerbangan lama, yang mengandalkan agen perjalanan untuk mendapatkan penumpang," katanya.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo