POTENSI pembayar pajak rupanya cukup besar. Dalam tempo kurang dari satu setengah tahun, sejak tiga UU perpajakan baru diperkenalkan Januari 1984, jumlah wajib pajak bertambah dengan 51%: dari 543 ribu jadi 820 ribu. Mereka ini merupakan pembayar Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan, orang pribadi, majikan, serta pembayar Pajak Kekayaan (PKk). Kenaikan wajib pajak sebesar itu merupakan catatan terakhir per 29 Maret 1985, yang diumumkan Dirjen Pajak Salamun A.T., pekan lalu. Angka itu tampaknya maslh akan menggelembung mengingat batas waktu pengampunan pajak baru ditutup 30 Juni mendatang. Secara terbuka, Dirjen Salamun mengungkapkan, bertambahnya wajib paJak pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) memang berada di atas perkiraan instansinya. Pertambahan cukup mencolok terjadi di kelompok pembayar PKk, yang naik lebih dari 150%: dari 57 ribu lebih jadi hampir 146 ribu orang. Perpanjangan pengampunan, yang semula akan ditutup 31 Desember 1984, rupanya cukup membawa hasil. Apalagi setelah dihitung-hitung, denda atas kekayaan belum bersih yang nilainya sampai Rp 14 juta itu, ternyata, ringan adanya. Banyak orang kemudian terdorong berusaha memutihkan kekayaannya dengan mmta pengampunan. Jumlah pembayar PPh perusahaan juga naik cukup tinggi: 66%, hingga wajib pajaknya kini tercatat 111 ribu lebih badan usaha. Dirjen Pajak Salamun menduga, pertambahan itu berasal dari perusahaan-perusahaan kecil. "Kalau yang besar-besar 'kan sudah lama jadi wajib pajak karena gampang dilihat," katanya. Bagi Frans Seda, ketua umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), kenaikan jumlah pembayar PPh perusahaan sebesar itu cukup bagus secara kualitatif. Apalagi mengingat sekarang banyak sektor industri modern jatuh bangkrut, atau secara bertahap memecati buruhnya, karena terdesak kelesuan pemasaran. Bagaimanapun, "Tanggapan dari masyarakat itu ada, kesadaran juga ada, asal pemerintah mampu menempanya terus," katanya. Mungkin karena didorong kesadaran pula, dalam waktu kurang dari satu setengah tahun itu, semakin banyak majlkan dengan senang hati memotong gaji karyawannya. Jumlah karyawan pembayar PPh, yang mempunyai penghasilan di atas Rp 960 ribu setahun itu, kini tercatat 900 ribu orang. Dengan demikian, sampai Maret lalu, pembayar PPh dan PKk itu sesungguhnya berjumlah 1.720.000 wajib pajak. Bisakah sasaran PPh 1985-1986 sebesar Rp 3 trilyun tercapai? Menurut Frans Seda, bekas menteri keuangan itu, meningkatnya jumlah wajib pajak bukan berarti akan secara langsung bisa menaikkan pemasukan uang ke kas negara. Yang seharusnya kini dilihat, besarnya wajib pajak yang kini bisa dihimpunkan sesungguhnya merupakan potensi pembayar pajak besar kelak. "Baru di akhir Repelita IV (tahun 1989) nanti agaknya pemerintah bisa merasakan hasil jerih payahnya kini," katanya. Kampanye mendasar tampaknya perlu dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat. Prof. Rochmat Soemitro, guru besar ekonomi di Universitas Padjadjaran, menganjurkan agar kampanye dilakukan pula lewat jalur pendidikan formal, instansi pemerintah, swasta, bahkan sampai perpustakaan desa. Jangan sesudah batas pengampunan berakhir, denyutnya sudah tidak ada lagi. "Kampanye mesti terus berlangsung, sampai kapan pun," katanya. Prof. Rochmat, yang dikenal banyak menekuni soal pajak, menganggap kenaikan wajib pajak sebesar 51% itu sesungguhnya belum apaapa. Menurut dia, mereka yang mendaftar secara dadakan itu sebagian besar datang karena ketakutan dan bingung, bukan karena kesadaran. Mungkin mereka takut kena pidana setahun (kalau alpa), atau pidana tiga tahun (jika sengaja menghindar). Ancaman pidana semacam itu, yang berulang kali disebut petugas pajak dalam penjelasannya, disukai atau tidak, rupanya merupakan salah satu alat untuk "menyadarkan" masyarakat. Tapi Dr. Iwan Jaya Azis memperingatkan agar pemerintah berhati-hati menghadapi pelonjakan jumlah wajib pajak itu. Menurut ketua program pascasarjana UI ini, "Makin meratanya wajib pajak ini akan menyebabkan masyarakat lebih kritis menilai proyek-proyek pemerintah karena mereka merasa mulai turut membiayainya." Kata Iwan, Indonesia, yang berpenduduk 160 juta, idealnya punya wajib pajak 25 juta. Tapi dalam situasi seperti kini, "10% dari jumlah penduduk itu sudah baik," ujarnya. Kritik dan saran masyarakat terhadap cara-cara pemungutan pajak rupanya mendapat perhatian pemerintah. Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), misalnya, akan dibikin lebih sederhana. Bentuk SPT nantinya akan disesuaikan dengan bidang usaha wajib pajak bersangkutan. Dengan demikian, SPT untuk koperasi, boleh jadi, akan berbeda dengan bentuk untuk bank. Secara berangsur penyederhanaan itu akan dilakukan mulai tahun depan. Tindakan itu tampaknya perlu dilakukan mengingat banyak wajib pajak, apalagi orang yang baru pertama kali berurusan dengan pajak, agak sulit memahami instruksi dan cara mengisi SPT - termasuk mengisi formulir pengampunan. Anjuran Dirjen Pajak Salamun agar wajib pajak minta bantuan konsulen dalam mengisi formulir rupanya hanya dimanfaatkan pembayar pajak menengah. Mereka yang umumnya merupakan wajib pajak kecil biasanya masih lebih suka memanfaatkan jasa baik petugas pajak. Tentu saja untuk pembayar pajak semacam Grup National Gobel, yang tahun lalu menyetor Rp 21 milyar (sebelumnya Rp 18 milyar), urusan ditangani langsung kantor Ditjen Pajak bersama akuntannya. Jarang perusahaan, yang belum memasyarakat, mau mengungkapkan pajaknya seperti dilakukan kelompok Gobel itu. Jika langkah itu juga diikuti sejumlah perusahaan terkemuka, mungkin, para wajib pajak tersembunyi dengan sukarela akan keluar dari sarangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini