HADIRNYA Pelabuhan Udara Internasional Cengkareng (JIAC) rupanya menambah kerepotan Merpati Nusantara Airlines (MNA). Jika akan mengangkut penumpang, mulai I April lalu, 14 pesawatnya terpaksa bolak-balik dari pangkalan mereka di Kemayoran menuju Halim Perdanakusuma dan Cengkareng. Penerbangan 10 menit menuju kedua tempat pemberangkatan itu diduga akan menghabiskan ongkos Rp 14,4 juta setahun untuk membeli bahan bakar tambahan. Tapi bukan bertambahnya biaya itu yang membikin pusing direktur utama MNA Soeratman. Para penumpangnya, yang baru tiba dari Purwokerto, Cirebon, dan Cilacap, mengeluh sulit mendapatkan taksi di Halim. Padahal, ketika penerbangan jarak pendek masih diselenggarakan di Kemayoran, mobil President Taxi sampai sodok-sodokan memperebutkan penumpang. Untuk mengatasikeluhan itu, "Kami mungkin akan membeli beberapa bis kecil untuk mengangkut penumpang," ujar Soeratman. Biaya lagi. Susah bagi MNA memang. Kurangnya pemberitahuan pemindahan tempat berlabuh dari Kemayoran ke Halim itu menyebabkan pesawatnya yang dari Purwokerto, pada 10 April lalu, tak berisi penumpang. Agennya di Kota Keripik itu menduga, para calon penumpang masih menyangka tempat berlabuh pesawat trayek pendek dipindah pula ke JIAC. Hanya penerbangan Jakarta-Cirebon (dua kali sehari), dan Jakarta-Cilacap (sekali sehari), yang masing-masing masih bisa terisi 50%-60% dan 70%-80% penumpang. Untuk menjangkau ke tiga kota berkembang itu, MNA menggunakan pesawat dengan bobot kurang dari 10 ton, yang semuanya digerakkan dengan baling-baling. Ke Purwokerto dengan Twin Otter (20 penumpang), ke Cirebon dengan Casa NC 212 (26 penumpang), dan ke Cilacap dengan Skyvan (20 penumpang). Sampai April 1986, perusahaan ini masih diperbolehkan melakukan cek besar pesawat di Kemayoran. Sebuah pangkalan (base), yang diduga menelan Rp 30 milyar, akan dibangunnya di Surabaya. BAGAIMANA Garuda? Selama lima hari setelah pemakaian JIAC, mulai I April, penumpang jurusan Bandung anjlok tajam. Suka atau tidak suka, selama periode darurat itu, dua penerbangannya ke Bandung terpaksa digabungkan jadi satu penerbangan. Penumpang jadi gusar. Kata R.A.J. Lumenta, direktur utama Garuda, pada hari hari itu mereka bisa menunggu lebih lama dibandingkan jika naik taksi atau bis. Sekarang? "Normal sekali sih belum, tapi sudah membaik," katanya. Pukul rata, pesawat F-28 Garuda (dengan 85 tempat duduk) yang menghubungkan Jakarta-Bandung dua kali sehari itu hanya terisi 40% - turun dari 60% sebelumnya. Ke mana para pelanggannya pindah? Sebagian, yang rupanya cukup segan pergi ke Cengkareng, tampaknya menggunakan kereta api Parahyangan. Pada hari-hari pertama JIAC diliputi kekacauan, volume penumpang kereta terbatas itu melonjak hampir 25%. Menggunakan kereta api, yang stasiunnya gampang dijangkau dengan biaya murah itu, kini jadi pilihan menarik - apalagi jarak sepanjang hampir 200 km tadi bisa dijangkau dalam tempo tiga jam. Melihat kesempatan baik itu, pihak PJKA kini menyediakan pula fasilitas penitipan mobil (Rp 1.000 per mobil sehari semalam), bagi penumpang yang ingin pulang balik menggunakan jasa angkutan ini. Pada hari ramai - seperti Sabtu, Minggu, dan Senin Parahyangan memasang tujuh rangkaian gerbong - dua di antaranya gerbong AC. Biaya juga cukup murah, Rp 4.500 (gerbong biasa) dan Rp 6.000 (gerbong AC) per penumpang dewasa. Tapi perusahaan Taxi 4848 ternyata belum merasakan perpindahan penumpang pesawat. Jumlah penumpang yang diangkut perusahaan itu masih 300 dari Jakarta, dan 300 dari Bandung. Irawan Sarpingi, direktur utama Taxi 4848, sendiri tak berharap banyak akan menampung lonjakan karena jumlah penumpang yang menggunakan pesawat ditaksirnya hanya 150-an. "Kereta api dan bis antarkota merupakan saingan yang harus diperhitungkan pula," katanya mengingatkan. Yang jelas, angkutan darat di Jawa kini tampaknya kian menarik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini