Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Deregulasi dengan sebuah kompromi

Tanpa penciutan merek, paket deregulasi juni 1993 tidak menawarkan terobosan apa-apa. harga mobil akan tetap tinggi. daya tariknya justru pada izin impor mobil mewah yang menaikkan gengsi orang-orang berduit.

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Deregulasi dengan sebuah kompromi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DEREGULASI otomotif sudah digelar, tapi masyarakat menyambutnya dengan hambar. Setelah ditunggu dua tahun sehingga menyebabkan pasar mobil terombang-ambing, yang diperoleh bukanlah terobosan. Sekadar koreksi seperti yang dilakukan Paket Deregulasi Mei 1993 juga tidak. Paket Deregulasi 10 Juni ini mirip sebuah kompromi yang kalau dihitung-hitung lagi jiwanya tetap memihak kalangan industriwan. Penciutan merek, yang menurut para pakar merupakan kunci keberhasilan deregulasi otomotif, ternyata tidak disentuh sama sekali. Bahkan sedan merek Kia, Korea Selatan lewat kerja sama dengan Indauda Putra Nasional yang dimotori oleh Frits Eman dan Tommy Soeharto dua pekan sebelumnya diizinkan dirakit di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa industri otomotif kita, yang selama ini digayuti oleh puluhan merek kendaraan, oleh Pemerintah tetap saja dibiarkan kedodoran. Memang, Paket 10 Juni 1993 ini dituangkan dalam lima SK Menteri Keuangan menentukan beberapa pemangkasan biaya pajak. Dan itu tak menolong banyak. Apalagi yendaka nilai yen menguat terhadap dolar masih berlanjut. Akibatnya, harga komponen impor mobil semakin membubung. ''Ini merupakan puncak penantian dari para konsumen yang sangat mengecewakan,'' kata seorang pedagang mobil di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat. Orang ini kesal karena Paket Juni itu baru efektif berlaku awal tahun depan. Berarti, selama enam bulan di muka tidak akan ada penurunan harga mobil. Bukan mustahil, yang terjadi justru kenaikan harga. Dan kenaikan itu agaknya tidak kecil. Yendaka diperkirakan akan mengerek harga mobil buatan Jepang hingga 35%. Lantas, apa arti deregulasi Paket Juni 1993 ini? Dalam jangka pendek, tak ada keuntungan apa pun bagi konsumen. Dalam jangka panjang? ''Ketetapan ini bisa mengefisienkan industri mobil di Indonesia,'' kata Soebronto Laras, Dirut PT Indomobil yang merakit Suzuki, Mazda, Hino, Volvo, dan Nissan. Efisiensi yang dimaksud Soebronto berupa pemangkasan bea masuk dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM) bagi mobil yang telah menggunakan banyak komponen buatan lokal. Sedan dengan komponen lokal di atas 60% kelak akan memperoleh pembebasan bea masuk secara penuh alias nol persen. Aturan main serupa diterapkan juga atas kendaraan-kendaraan jenis lain, seperti station wagon, pick up, minibus, jip, truk, dan bus. Selain para perakit mobil akan memanfaatkan keringanan bea masuk itu, perakit komponen mobil (produsen aki, transmisi, ban, karoseri, kaca, dan lain-lain) juga akan memperoleh insentif serupa. Selain memberikan keringanan bea masuk, Pemerintah juga memberikan iming-iming berupa pemotongan PPn BM. Sepeda motor yang ber-CC 200 hingga 250, misalnya, semula dianggap barang mewah hingga dipajaki 20%. Kini, pajak itu dinolkan. Begitupun sedan dan station wagon di bawah 1.600 cc (Toyota Starlet, Corolla, dan Suzuki Forsa). Jika komponen lokal kategori ini lebih dari 60%, PPn BM-nya akan diturunkan dari 35% menjadi 20%. Namun, diskon-diskon bea masuk itu tak banyak artinya, karena belum ada sedan rakitan Indonesia dengan kandungan lokal se besar 60%. Jadi, kalau banyak pengamat memastikan tidak akan ada penurunan harga mobil, ramalan itu tepat sekali. Dan para konsumen yang kecele akan penasaran. Atau marah-marah. Masalahnya kini, apa benar kendaraan rakitan Indonesia masih banyak tergantung komponen impor. Selain kategori I seperti Kijang, Suzuki, dan Daihatsu Zebra, sedan 1.600 cc ke atas sangat mengandalkan komponen impor. Dari devisa sebesar US$ 1 miliar lebih yang dimanfaatkan industri otomotif tiap tahun, sebagian besar tersedot ke sana. Lihatlah PT Imora Motor agen sedan Honda yang berambisi menaikkan komponen lokalnya. Perusahaan ini telah memiliki pabrik pengasah blok mesin, tapi diperkirakan baru memakai komponen lokal di bawah 40%. Berarti, ketika Paket Juni 1993 ini diberlakukan, paling-paling sedan Honda hanya memperoleh bea masuk 40%. Yang bisa memanfaatkan pembebasan bea masuk secara penuh tampaknya cuma kendaraan niaga kategori I seperti Kijang, Suzuki Carry, dan Daihatsu. Kategori ini telah memiliki kandungan lokal di atas 40%, dan mulai tahun depan diperkirakan akan bebas dari bea. Di sisi lain, Paket Juni 1993 yang bikin kesal itu justru menawarkan daya tarik tersendiri bagi orang-orang berduit. Mengapa? Setelah bertahun-tahun menunggu, mereka kini bisa membeli mobil impor, sebab Pemerintah membuka keran impor bagi mobil-mobil terakit. Yang mengganjal cuma satu, yakni keran impor itu tidak dibuka sembarangan. Untuk jenis mobil yang telah dirakit di dalam negeri, Pemerintah menetapkan bea masuk 200%. Sedangkan jenis mobil yang benar-benar ''asing'' (Ferarry, Porche, atau Jaguar) dikenai bea masuk tambahan 100%, sehingga total bea yang harus dibayar adalah 300%. Melihat beleid seperti itu, tak pelak lagi keran impor dibuka hanya untuk mengalihkan proteksi bagi industri dalam negeri, dari sistem nontarif menjadi tariff barrier. Wajarlah bila ekonom Anwar Nasution menganggap deregulasi kali ini ''cuma bohong-bohongan''. Maksudnya, industri mobil yang telah mendapat perlindungan sepanjang PJPT I tetap akan terus diproteksi. Dengan demikian, tidak tercipta mekanisme pasar yang secara bertahap diharapkan bisa meningkatkan efisiensi industri otomotif di sini. Sementara itu, ada pedagang mobil sedan yang khawatir kalau- kalau omsetnya akan menurun banyak. Bukankah pertumbuhan konsumen sedan tidak sepesat peminat kelas Kijang atau Starlet? Seorang produsen malah mengungkapkan, pembeli sedan kelas 2.000 cc ke atas dari tahun ke tahun orangnya yang itu-itu juga. Mereka membeli baru, karena, ''Yang diutamakan adalah kemewahan dan gengsi,'' katanya. Bicara gengsi, tentu bea masuk 300% bukan masalah. Beberapa agen penjual sedan mengatakan, sudah banyak langganannya yang bertanya tentang kemungkinan membeli mobil yang ''seri''-nya belum dirakit di Indonesia. Sesudah membolak-balik Paket Juni 1993, timbul pertanyaan apakah kelak paket ini akan membebaskan industri otomotif dari ekonomi biaya tinggi. Agaknya tidak. Memang, pemakaian komponen lokal terus digalakkan, tapi siapa yang berhak menilai persentase komponen lokal dalam satu unit mobil? Apa tidak mungkin penilaian itu kelak hanya akan menyebabkan harga mobil tetap tinggi? Celah-celah semacam itu jelas ada. Dirjen Bea Cukai Soehardjo mengakui bahwa soal pengembangan industri otomotif ini merupakan masalah lama yang tak kunjung terselesaikan. Contohnya hal penciutan merek yang terkatung-katung. Agaknya karena itu pula Pemerintah mengambil jurus lain. Penciutan merek tidak dilakukan secara langsung, tapi diharapkan bisa berproses secara alamiah. Tujuannya, agar pengusaha yang efisienlah yang akan tetap bertahan. ''Sektor industri otomotif ini sudah terlalu lama menikmati fasilitas. Seharusnya sekarang mereka sudah bisa berproduksi dengan efisien,'' kata Soehardjo. Soebronto Laras juga melihat adanya manfaat seleksi alamiah itu. Diharapkan, proses itu bisa menghadapkan perakit pada dua alternatif. Pilihan pertama adalah tetap menjadi produsen, dengan catatan harus menambah investasi bagi pembuatan komponen lokal. Pilihan terakhir adalah beralih profesi. ''Kalau tak mampu menjadi produsen, sebaiknya jadi pedagang saja,'' katanya. Soebronto membantah jika industri otomotif disebut sebagai sektor yang tidak efisien sehingga harga mobil rakitan lokal jadi mahal sekali. Katanya, dari harga mobil, bagian perakit hanya 40%. Sebagian besar sisanya masuk ke kas Pemerintah. ''Kami mau memberikan harga yang murah, tapi kan Pemerintah juga punya kepentingan untuk memasukkan pendapatan ke kas negara,'' ujar Soebronto membela kaumnya. Di pihak lain, pengamat ekonomi seperti Rizal Ramli telak- telak menilai bahwa industri otomotif cuma bisa memboroskan devisa. Katanya, sektor ini setiap tahun mengimpor sampai US$ 1,4 miliar, sementara nilai ekspornya berkisar pada angka US$ 100 juta. ''Itu tak beda jauh dengan nilai ekspor barang kosmetik,'' cemooh Rizal. Kalau mau efisien, kata Rizal, seharusnya Pemerintah menciutkan merek. Pilih dua atau tiga merek yang banyak menggunakan komponen lokal, kemudian gabungkan dalam sebuah konsorsium. Lalu, berikan berbagai kemudahan untuk memperbesar local content. Harus diakui, merek mobil yang bersileweran di negeri ini (ada yang mengatakan jumlahnya 16, yang lain mengatakan 25 merek), sudah ''terlampau banyak''. Di Jepang, hanya ada enam merek mobil. Di Amerika dan Korea masing-masing empat dan tiga merek. Persoalannya, maukah para agen tunggal bergabung dalam sebuah konsorsium. Di sinilah hambatannya. Selain investasi mereka sudah telanjur besar, pihak pemegang merek baik Jepang maupun Eropa belum tentu mau bergabung. Lalu, bagaimana caranya agar bisa meluruskan salah langkah ini? Tunggulah hasil kerja dari apa yang disebut seleksi alamiah itu, yang, maaf, belum tentu akan pernah terlaksana. Budi Kusumah, Bina Bektiati, Sugrahetty, dan Putu Wirata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus