Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mewah gagah di samping mikrolet

Sejak tahun 1978, mobil mewah diharamkan berseliweran di indonesia. kini keran impor mobil dibuka lagi, dan belum apa- apa sudah ada yang menanyakan bmw 850i di sini. lalu, siapa importirnya?

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Mewah gagah di samping mikrolet
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MEWAH di republik ini rasanya masih dianggap kurang pantas. Atau tidak pada tempatnya. Tapi, manakala hak asasi manusia gencar dikumandangkan di seantero jagat, Pemerintah agaknya tak mau terus-menerus bersikap kaku. Perkara mobil, misalnya. Selang beberapa tahun setelah peristiwa Malari (1974), mobil di atas kelas Mercedes Benz 280 haram berseliweran di jalan. Kini, tidak lagi. Dengan Paket Deregulasi Juni 1993, masyarakat boleh saja punya mobil mewah. ''Asal tetap ingat, masyarakat kita masih sedang membangun,'' imbau Menteri Koordinator Bidang Industri dan Perdagangan, Hartarto, pekan lalu. Imbauan ini tentu ditujukan kepada kaum berduit. Namun, seperti biasa, yang diimbau seakan-akan tidak menyimak. Tak mengherankan bila selama sepuluh tahun terakhir ini, Baby Benz warna ''kelabu bulu monyet'' atau Volvo 960 ala bapak menteri sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari panorama Jakarta sehari-hari. Bahkan, memiliki sedan seharga Rp 200300 juta seperti itu pun dirasa belum cukup eksklusif. Buktinya, Setiawan Djody, pengusaha muda yang juga musisi rock, sampai perlu membeli Vector W8. Mobil sport keluaran tahun 1991 ini tidak hanya ''wah'' harganya lebih kurang Rp 1 miliar, belum siap jalan tapi juga eksklusif. Di dunia ini hanya beberapa gelintir orang punya kuda besi yang bentuknya mirip dengan F-117-A Stealth, pesawat tempur AS masa kini, itu. Selain Setiawan Djody dan beberapa syekh Arab, petenis kelas dunia Andre Agassi juga memiliki Vector W8. Tapi di Indonesia kendati cukup banyak orang ultrakaya agaknya hanya Setiawan Djody yang bisa tenang meluncur dengan Vector. Bukan apa-apa. Mana ada orang yang cukup nekat ''terbang'' dengan kecepatan 360 kilometer per jam di tengah kerumunan metro mini dan mikrolet? Namun, peminat mobil mewah yang satu kelas di bawah Vector bukan tidak ada. Beberapa warga Indonesia adalah pemilik Lamborghini Miura, Jaguar XJ6, atau Ferrari Testarossa semuanya mereka beli dan mereka pakai di luar negeri. Mengapa? Ini tak lain karena mobil-mobil itu tidak boleh masuk ke sini. Kini, dengan Paket Deregulasi Juni 1993, sudah tak ada lagi hambatan. Asal jangan lupa, bea masuknya 300 persen. Mau tahu harganya? Antara US$ 50 ribu dan US$ 200 ribu. Dalam kata lain, kalau mau ''JJS'' istilah anak muda untuk jalan-jalan sore sambil jual tampang dengan Jaguar XJ6, perlu tersedia dana paling tidak Rp 400 juta, alias empat kali lipat harga asli. Ini belum termasuk ongkos menyeberangkannya dari negeri asal dan bea balik nama untuk STNK. Yang lebih laku kemungkinan besar adalah mobil built-up, baik yang tergolong mewah, seperti BMW dan Mercedes, maupun sedan kelas menengah yang telah diproduksi di dalam negeri. Masalahnya, seperti diakui Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo, ''Dalam soal produksi mobil, masih banyak masyarakat kita yang menganggap bikinan luar negeri jauh lebih bagus.'' Apalagi, di negeri-negeri seberang, harga mobil mewah dan kelas menengah bisa dibilang ''murah''. Di AS, misalnya, Mercedes Benz 300E yang baru cuma dihargai Rp 80 juta, atau sekitar Rp 200 juta lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar mobil Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat. Pemerintah memang mencoba menangkal arus mobil mewah dengan bea masuk dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Untuk mobil yang merek dan tipenya sudah ada di sini, dikenakan bea masuk 200 persen dari harga asli. Sedangkan PPnBM yang berlaku adalah 35 persen. Artinya, jika di AS harga BMW 525i keluaran tahun 1993 hanya US$ 40 ribu, sampai di Pelabuhan Tanjungpriok saja harganya sudah pasti lebih dari Rp 270 juta. Harga rakitan dalam negeri untuk model yang sama kira-kira hanya setengahnya. Itu pula sebabnya Soebronto Laras berani berkata, ''Saya nggak khawatir kita bakal kebanjiran mobil impor. Paling-paling yang bawa mobil impor itu diplomat atau mahasiswa yang belajar di luar negeri.'' Direktur PT Indomobil yang memproduksi Volvo, Nissan, Mazda, dan Suzuki ini tidak mau asal bicara. Ia menunjuk pengalaman impor truk sebagai pembanding. ''Tiga tahun lalu, impor truk dibebaskan. Kenyataannya (sekarang) tidak laku,'' ujarnya. Produsen mobil di negara asalnya pun tidak terlalu optimistis melihat kemungkinan ekspor langsung yang dibuka Deregulasi Paket Juni 1993 ini. Sumber TEMPO di Toyota Motor Corporation, Tokyo, beranggapan akan sulit membayangkan harga ekspor mobil jadi dari Jepang ke Indonesia. Alasannya? ''Kondisi mobil tetap perlu disesuaikan dengan iklim tropis.'' Tapi, penyesuaian kondisi ini rasanya tidak pernah diperhitungkan oleh para peminat mobil built-up di sini: yang penting, buatan luar negeri. Salah kaprah pun mulai terjadi sejak isu deregulasi bertiup. Akibatnya, pedagang mobil seperti Erick Tandayu sempat pusing kepala. Manajer penjualan BMW House ini pesimistis dagangannya bakal laris. Padahal, sebelumnya setelah kebijaksanaan uang ketat sekalipun hampir dua hari sekali satu unit BMW 318 atau 520 (biasa disebut seri 3 dan 5) laku terjual dengan harga minimal Rp 120 juta sebuah. Kini, ''Sudah sebulan tak ada pesanan,'' keluhnya. Erick bukan tak mengetahui akan adanya deregulasi yang memungkinkan impor mobil mewah sehingga calon pembeli BMW di sini menahan diri. Padahal, mereka menanti-nanti seri 7 dan 8. ''Baru semalam deregulasi diumumkan, paginya sudah ada yang menanyakan apakah BMW 850 sudah bisa dibeli sekarang.'' Itulah pengalaman Erick. Padahal, sedan yang di negeri asalnya pun tergolong mewah itu tidak bakal dijual di BMW House. Kabarnya, seperti yang terdengar oleh Erick, Pemerintah sudah menunjuk importir khusus untuk mendatangkannya ke sini. Entah siapa. Ivan Haris, Seiichi Okawa, Diah Purnomowati, Nunik Iswardhani, dan Gabriela Sugrahetty Dian K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus