SEPULUH tahun lewat sudah, setelah Devaluasi November 1978 yang populer itu, kini muncul Deregulasi November 1988. Lain waktu, lain kiatnya, tentu. Kali ini, empat sektor besar yang menunjang ekonomi nasional terkena deregulasi: pertanian, industri, tata niaga perdagangan, dan yang mencolok, sektor perhubungan laut alias pelayaran. Tidak kurang dari enam hal utama dirombak, mulai dari perizinan usaha, persyaratan usaha, permohonan ijin, pola trayek, perubahan trayek, sampai pada asas cabotage (pelayaran antarpelabuhan di dalam negeri). Untuk izin usaha, yang semula dibagi dalam lima kategori (pelayaran samudra, nusantara, lokal, khusus, dan pelayaran rakyat), kini terbagi dua saja: pelayaran dalam/luar negeri dan pelayaran rakyat. Tak kurang pentingnya adalah perizinan. Yang dulu sangat menghambat gerak pelayaran, sekarang dibabat habis. Dulu untuk mendapatkan izin operasi diperlukan waktu berbulan-bulan, sekarang tidak lagi. Pasar pun bebas, dibuka di secara luas. Sejak ditutup tahun 1976 silam, baru sekarang terbuka peluang bagi siapa pun untuk membuka usaha pelayaran. Modalnya, cukup satu kapal -- sebelumnya, minimal dua kapal. Kalau dana masih belum cukup buat beli satu kapal, patungan dengan mitra asing yang dulu dipantangkan, sekarang boleh-boleh saja. Bahkan, bagi perusahaan perjalanan yang ingin mengoperasikan kapal wisata tak perlu izin usaha pelayaran, cukup izin operasi. "Setiap permohonan izin yang menyangkut usaha pelayaran paling lambat akan diselesaikan dalam waktu 14 hari," begitu janji Menko Ekuin Radius Prawiro. Maklum, rekomendasi yang biasanya dikejar dari beberapa instansi di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut sekarang pun ditiadakan. Dengan dibukanya katup pasar bebas, tampaknya persaingan akan menajam. Sebab, akan muncul banyak perusahaan baru, apalagi dengan adanya pembebasan pola trayek. Wah, ini menonjol sekali. Sebelumnya daerah operasi ditentukan oleh pemerintah secara tahunan, yang terbagi atas trayek barat, timur, timur barat, dan barat timur, plus trayek lokal yang dibagi sesuai dengan kantor wilayah. Sekarang bebas merdeka, mau berlayar dari mana sampai ke mana saja. Dan kebebasan ini masih ditambah satu ekstra yang tak kalah menariknya, yakni kemudahan dalam mencarter kapal asing. Katakanlah, sebuah perusahaan mendapat order angkutan 1.000 ton, tapi kapasitas angkut kapal yang dimilikinya hanya 500 ton. Nah, sisanya boleh pakai kapal asing. Ketentuan ini sebelumnya sudah ada, tapi menurut Menko, perizinan mencarter akan diproses lebih cepat lagi. Jadi, Jangan salahkan siapa-siapa kalau karena paket Deregulasi November ini kemacetan lalu lintas, yang biasa terjadi di darat, tiba-tiba berpindah ke laut. Bukankah seperti kata pepatah: ada gula ada semut. Tanpa pembatasan trayek, kapal-kapal tentu saja akan menyerbu ke pelabuhan-pelabuhan yang gemah ripah. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan sepi, seperti di daerah Indonesla Timur, akan semakin kerontang. Untuk mengimbanginya, di sektor inilah perusahaan pelayaran pemerintah akan mendapat beban tambahan. Sebab, deregulasi November menegaskan, daerah-daerah yang tidak dilayari armada swasta harus didatangi oleh kapal-kapal pemerintah. "Yaa .... namanya juga sudah jadi kebijaksanaan, tapi kami siap melaksanakannya," kata Roosman Anwar, Dirut Pelni, yang tak mau berkomentar panjang. Dugaan akan semakin besarnya kesenjangan antara pelabuhan ramai dan pelabuhan sepi dibenarkan oleh banyak pengusaha pelayaran. Mochamad Djambari Dirut PT Pelayaran Lokal Bimasjaya, misalnya. Katanya, hal ini bisa membuat persaingan tarif jadi semakin sengit. Tapi pengusaha dari Banjarmasin ini masih yakin dengan ikatan relasi yang sudah dibinanya. "Kami sudah mempunyai langganan khusus. Dan rasanya, mereka tidak akan begitu saja meninggalkan kami." Dalam keyakinannya, Djambari merasa pasti bahwa lima kapalnya yang selama ini melayari rute Surabaya-Banjarmasin takkan pernah sepi muatan. Memang, perang tarif dan perang lobi tampaknya tak terhindarkan. Bagi pengusaha pelayaran, situasi sekarang mendorong terciptanya buyers market. Kini tiba giliran, pemilik baranglah yang lebih menentukan. Lantas maksud pemerintah? Jawaban yang diperoleh dari Menko Radius masih seperti dulu, "Untuk melancarkan arus barang." Alasannya, perkembangan produksi bidang industri yang setiap tahunnya naik 7,5%, dan sektor pertanian yang naik 5% per tahun. "Jadi, kebutuhan akan angkutan laut semakin meningkat. Dan ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh perusahaan pelayaran," ujar Menko. Volume barang yang perlu diangkut memang naik. Tapi bagaimana dengan penambahan kapal? Kepada Menko Radius dan Menteri Perhubungan Azwar Anas, seorang pengusaha tegas berucap, "Paket ini belum tuntas Pak." Maksudnya? Paket ini, katanya, tidak menyinggung tata cara pembelian kapal. Padahal, setelah adanya peraturan scrapping (1984) bagi kapal-kapal di atas 25 tahun, soal inilah yang selalu menjadi ganjalan. Bagaimana tidak? Pemerintah menetapkan kapal yang berbobot mati 10 ribu ton ke bawah dilarang impor, alias harus membeli produksi lokal. Tapi galangan kapal dalam negri sampai kini baru mampu membuat kapal berukuran 1.000-3.000 ton. Itu pun prosesnya tersendat-sendat. Benarkah? "Itu akan kami teliti kebenarannya," jawab Menteri Perhubungan Azwar Anas. Hanya diakuinya, meneliti itu makan waktu lama. "Jadi, untuk sementara kami mengambil prioritas memudahkan, apa yang bisa segera dimudahkan," katanya. "Selain itu, kalau memang kekurangan kapal, 'kan pemerintah sudah membolehkan carter kapal asing," ujar Radius. Yang penting, menurut Menko, Kebijaksanaan November 1988 ini tak jauh berbeda dengan Inpres 4/1985. "Inpres 4 menghilangkan banyak tanda tangan di pelabuhan, sedangkan kebijaksanaan kali ini juga akan banyak menghilangkan paraf dan tanda tangan." Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Sidartha Pratidina, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini