MUSIBAH kembali menimpa harian Sriwijaya Post, Palembang. Setelah tempo hari bikin geger karena beritanya kena sensor Humas Pemda Provinsi Sumatera Selatan, kini giliran pemimpin redaksinya, Soleh Thamrin, dibawa ke meja hijau. Di Pengadilan Negeri Palembang, Thamrin diadili dengan tuduhan memuat berita yang isinya menghina penguasa dan mencemarkan nama baik bekas Camat Ilir Barat I Palembang. Berita yang bikin gara-gara itu berjudul "Dipecat 8 Camat Korupsi", dan dimuat pada terbitan 4 April 1991. Isi berita tiga kolom itu, "Gubernur Sum-Sel mencopot delapan camat dari jabatannya karena melakukan pungutan liar (pungli) uang pembangunan desa." Koran bertiras 35 ribu eksemplar itu juga menulis camat-camat yang dituduh korupsi (tanpa menyebut nama), termasuk kecamatan Ilir Barat I yang kini menjadi masalah. Jaksa Muchtar Arifin pekan lalu membawa perkara ini ke pengadilan. Ia mengutarakan, berita itu berasal dari wartawan Sriwijaya Post Abadi Tumenggung. Dasarnya, informasi lisan seorang pejabat Pemda Sumatera Selatan. Yang disesalkan jaksa, berita itu langsung dimuat, kendati belum dikonfirmasikan. "Padahal, kedelapan camat itu cuma dimutasikan. Pemindahannya juga tak ada kaitannya dengan korupsi," ujar jaksa. "Mereka tidak dipecat." Adalah bekas camat Marchan Mukti yang merasa tersinggung. Kepada TEMPO ia mengutarakan, sebulan sebelum berita itu turun, ia sudah diangkat menjadi Kepala Pemeriksa bidang Keuangan Perlengkapan dan Perawatan di Pemda Kota Madya Palembang. Dan sebelum dimutasikan, ia sudah diperiksa Badan Pengawasan Fungsional Kodya Palembang, dan dinyatakan bersih. "Kalau saya korupsi, mana mungkin diangkat menjadi Kepala Bidang Pemeriksa Keuangan?" ujar Marchan, yang sudah 13 tahun bertugas sebagai camat di berbagai kecamatan wilayah Palembang itu. Karena berita itu, ia merasa dipermalukan di depan anak-istrinya. Di kantornya yang baru, orang juga ramai menggunjingkannya. Sanak famili dan relasi pun berdatangan ke rumahnya, menanyakan ihwal ia dipecat. "Akhirnya saya tak tahan, dan nekat melaporkan berita bohong itu ke polisi." Soleh tentu saja kaget kasusnya sampai ke polisi. Sebelumnya, Sriwijaya Post sudah mengaku bersalah, bahkan memuat berita ralat empat kali. "Sesuai dengan kode etik, kami sudah menberikan hak jawab, bahkan sampai empat kali. Jadi, kurang apa?" kata Soleh. Ia berpendapat, perkara ini termasuk delik pers, yang bisa diselesaikan melalui Dewan Kehormatan PWI. Marchan memang sengaja memilih tuntutan pidana ke pengadilan. "Saya tidak tahu kode etik jurnalistik. Yang saya tahu di KUHP ada pasalnya untuk menuntut orang yang mencemarkan nama baik," ujarnya dengan nada tinggi. Niat itu, katanya, direstui gubernur. "Sebagai bawahan, saya harus lapor dulu ke atasan, dan beliau merestui." Apakah perkara ini berkaitan dengan kasus sensor tempo hari, saat pihak Pemda menjadi bulan-bulanan media massa nasional akibat ulahnya menyensor Sriwijaya Post. Banyak pengamat menyatakan begitu. Alasannya, kenapa perkara yang sudah setahun lebih itu tiba-tiba muncul kembali setelah kasus penyensoran Sriwijaya Post. Kasus yang dikenal dengan "sensor gaya Palembang" itu terjadi saat kampanye Pemilu akhir Mei lalu. Tiga orang staf Humas Pemda Sumatera Selatan, di bawah pimpinan Leonardus Efendi, suatu malam mendatangi kantor koran Sriwijaya Post. Tujuannya, memeriksa berita-berita kampanye yang akan diterbitkan besok. Setiap halaman yang sudah selesai diperiksa ia paraf. Keesokan harinya, muncul reaksi keras dari berbagai kalangan. Hampir semuanya menyesalkan tindakan pelanggaran kebebasan pers tersebut. Soleh Thamrin, sebagai orang yang paling bertanggung jawab di harian itu, langsung mengirim surat penyesalan ke Gubernur Sumatera Selatan, dengan tembusan ke sejumlah instansi, termasuk ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Penerangan. Gubernur Ramli Hasan akhirnya minta maaf. Kendati di Palembang muncul bisik-bisik yang mengait-ngaitkan penyensoran tempo hari dengan diseretnya Soleh ke pengadilan, sejauh ini belum terlihat bukti adanya hubungan itu. Tapi sebuah sumber TEMPO menyebutkan, memang ada permintaan untuk melanjutkan penyidikan perkara setahun lalu itu. Menghadapi kasus yang menimpa anggotanya, Ketua PWI Cabang Sumatera Selatan Asdit Abdullah tak banyak berkomentar. "Lepas ada-tidaknya kaitan dengan sensor tempo hari, setiap wartawan harus memegang kode etik. Masyarakat sekarang sudah kritis," katanya. Seorang wartawan senior mencoba melihat kasus ini dari kaca mata profesionalisme jurnalistik. Dari segi itu, katanya, berita sepihak -- tanpa konfirmasi -- memang salah. Apalagi isinya jelas-jelas menyangkut nama baik seseorang. "Wartawan profesional tak akan berbuat seceroboh itu. Kasus ini sebaiknya dijadikan pelajaran bagi wartawan," katanya. Hasan Syukur dan Aina Rumiyati Azis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini