Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tahun ini Pertamina menargetkan 100 SPBU di seluruh Indonesia menyediakan Pertamax Green 95.
Perluasan distribusi Pertamax Green 95 muncul di tengah rencana pemerintah membatasi pengguna Pertalite untuk menekan subsidi BBM yang membengkak.
Saat ini pangsa pasar atau market share Pertalite masih paling tinggi dibanding BBM jenis lain.
PERTAMINA Patra Niaga bersiap memperluas distribusi bahan bakar ramah lingkungan Pertamax Green 95. Bahan bakar campuran Pertamax dan bioetanol dari molases atau tetes tebu itu sudah dijual 65 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, dan Malang. Tahun ini Pertamina menargetkan 100 SPBU di seluruh Indonesia menyediakan Pertamax Green 95.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar perluasan distribusi Pertamax Green 95 muncul di tengah rencana pemerintah membatasi penggunaan Pertalite untuk menekan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang membengkak. Sejumlah SPBU Pertamina di Jakarta telah berhenti menjual Pertalite. Menurut pantauan Tempo, SPBU di Jalan S. Parman, Jakarta Barat, sudah tidak menjual Pertalite.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan penjualan Pertalite masih tetap sesuai dengan penugasan yang diberikan pemerintah. "Pertamax Green 95 hanya menambah varian BBM yang ada, tidak mengurangi penyaluran Pertalite," ujar Irto kepada Tempo, kemarin, 28 Mei 2024. Pertamina mengikuti kuota Pertalite yang sudah ditentukan pemerintah.
Dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) pada Senin, 27 Mei lalu, kabar penggantian Pertalite dengan Pertamax Green 95 menjadi sorotan. Anggota DPR Komisi VII, Mulyanto, mengungkapkan bahwa Pertalite mulai hilang di sejumlah SPBU. Dia menduga hilangnya Pertalite berkaitan dengan rencana perluasan distribusi Pertamax Green 95.
Adapun pemerintah sedang merumuskan kebijakan pembatasan Pertalite. Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak menjadi dasar hukum pembatasan Pertalite. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih mengkaji dan menyusun naskah revisi aturan tersebut. Namun pemerintah memastikan pembatasan Pertalite akan dilakukan secara bertahap.
Penggunaan Pertalite selama lima tahun terakhir terus meningkat. Pada 2019, realisasi penyaluran Pertalite sebesar 22,49 juta kiloliter. Lalu naik menjadi 27,5 juta kiloliter pada 2020 dan 29,9 juta kiloliter pada 2021. Penyaluran Pertalite menurun tipis pada 2022 menjadi 29,49 juta kiloliter, tapi kembali melonjak pada 2023 sebesar 30,03 juta kiloliter.
Tahun ini BPH Migas menetapkan kuota penyaluran Pertalite sebesar 31,7 juta kiloliter. Hingga saat ini, realisasi penyalurannya sebesar 9,996 juta kiloliter atau 31,63 persen.
Pembatasan Pertalite dilakukan karena beberapa hal. Salah satunya untuk menekan subsidi BBM yang membengkak. Kementerian Keuangan mencatat realisasi subsidi jenis BBM tertentu dalam beberapa tahun terakhir terus melampaui anggaran yang ditetapkan.
Pada 2022, pemerintah menganggarkan subsidi jenis BBM tertentu sebesar Rp 15,2 triliun. Namun realisasinya menembus Rp 21,4 triliun atau 140,8 persen. Hal yang sama terjadi pada 2023. Realisasinya mencapai Rp 26,9 triliun atau 115,9 persen dari anggaran yang ditetapkan, yaitu Rp 23,3 triliun. Adapun subsidi BBM dinikmati semua orang. Dengan membatasi pengguna Pertalite, pemerintah berharap subsidi BBM dapat tepat sasaran, yaitu disalurkan hanya kepada masyarakat kelompok miskin dan rentan.
Alasan lain pembatasan Pertalite adalah transisi ke penggunaan BBM ramah lingkungan. Karena itu, pemerintah mendorong masyarakat menggunakan Pertamax Green 95. Penggunaan bioetanol 5 persen diklaim dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara. Sebab, bahan bakar ini menghasilkan gas buang yang lebih ramah lingkungan.
Suasana pengisian bahan bakar di SPBU Kuningan, Jakarta, 12 Maret 2024. Tempo/Tony Hartawan
Kendati pembatasan Pertalite diharapkan dapat mendorong transisi ke BBM ramah lingkungan seperti Pertamax Green, penggunaan Pertalite diprediksi masih tinggi. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan saat ini pangsa pasar atau market share Pertalite masih paling tinggi dibanding BBM jenis lain.
ReforMiner Institute mencatat volume penjualan Pertalite per tahun sebesar 30-33 juta kiloliter. Adapun total penjualan semua jenis BBM di Indonesia sekitar 75 juta kiloliter. Artinya, penyaluran Pertalite sekitar 40 persen. Komaidi menilai pengusaha SPBU pun saat ini akan memilih menjual Pertalite dibanding Pertamax Green 95.
Meski keuntungan yang dihasilkan dari penjualan Pertamax Green 95 lebih besar dibanding Pertalite, menurut Komaidi, pengusaha akan cenderung memilih berbisnis produk yang punya pangsa pasar yang lebih besar. Terlebih, kata dia, jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran membeli BBM berkualitas, nonsubsidi, dan ramah lingkungan belum banyak. Sebagian besar masyarakat masih cenderung memilih bahan bakar yang harganya paling murah, seperti Pertalite.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra juga menilai perluasan distribusi Pertamax Green 95 tak akan berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan Pertalite. Pasalnya, saat ini Pertalite masih menjadi jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP). Dengan demikian, pemerintah masih memberikan subsidi untuk BBM jenis Pertalite melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022. "Distribusi dan kuota JBKP ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah yang seharusnya tidak akan mempengaruhi ketersediaan Pertalite," ujar Daymas kepada Tempo.
Kendati demikian, Daymas berpendapat penggunaan bioetanol seperti pada Pertamax Green 95 dapat membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dia mengimbuhkan, Pertamax Green 95 akan menjadi salah satu pilihan bahan bakar yang lebih rendah emisi untuk masyarakat. Selain itu, BBM ini berkualitas premium karena memiliki nilai oktan 95.
Energy Watch menilai pengembangan Pertamax Green 95 dengan campuran bioetanol merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan Indonesia akan BBM impor. Daymas menilai perluasan distribusi BBM jenis ini akan berdampak positif, seperti biosolar yang saat ini campurannya mencapai 35 persen menuju 40 persen.
Namun Energy Watch menekankan bahwa pengembangan Pertamax Green 95 memerlukan pengkajian komprehensif, khususnya mengenai dampak lingkungan. Terutama ihwal kebutuhan penggunaan lahan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan bioetanol.
Sebelumnya, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah mengkaji potensi dan strategi pengembangan bioetanol. Berdasarkan studi yang dilakukan pada 2021, sekitar 10,7 juta hektare lahan dibutuhkan untuk memenuhi target produksi bioetanol sebesar 20 persen dari total konsumsi bahan bakar nasional pada 2025. Maka, jika pengembangannya tidak dilakukan dengan benar, langkah ini dapat mendorong deforestasi hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Penggunaan tebu dan jagung sebagai bahan baku bioetanol juga dapat berakibat berkurangnya produksi pangan dan kenaikan harga pangan.
Tempo berupaya meminta tanggapan Ketua Umum DPP Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Rachmad Muhamadiyah serta Ketua Hiswana Migas DPC DKI Jakarta Syarief Hidayat soal penjualan Pertamax Green 95 dan pembatasan Pertalite. Namun, hingga berita diturunkan, keduanya tidak merespons pesan dari Tempo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Aisyah Amira Wakang berkontribusi dalam penulisan artikel ini