Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata membuat repot Lembaga Penjamin Simpanan, pemilik PT Bank Mutiara. Berencana melego saham bank yang dulu bernama Century itu, lembaga ini terpaksa dua kali menunda jadwal penjualan.
Sebelumnya, tenggat pernyataan minat diundurkan. Belakangan, giliran tenggat uji tuntas (due diligence). Penyampaian dokumen penawaran akhir tertunda ke 21 Agustus 2014. "Calon investor punya banyak pertanyaan, di antaranya soal kasus hukum," kata Direktur Utama PT Danareksa Sekuritas Marciano Herman kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Danareksa ditunjuk sebagai penasihat keuangan penjualan Mutiara.
Ada enam investor yang ikut proses uji tuntas untuk membedah Mutiara. Dua investor lokal, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk dan Artha Graha Network, sedangkan empat lainnya investor asing, masing-masing dari Jepang, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura. Sesuai dengan Undang-Undang LPS, lembaga itu harus menjual Bank Mutiara pada tahun keenam setelah penyelamatan. Batas tahun keenam jatuh pada 20 November 2014. Artinya, LPS harus menjual ke salah satu investor ini.
Sekretaris Perusahaan LPS Samsu Adi Nugroho mengatakan para investor hanya mau menawar jika ada klarifikasi dari LPS atas sejumlah hal, di antaranya kasus hukum. "Saya mau menawar asalkan ada penjelasan soal ini, misalnya kasus-kasus hukum bagaimana," katanya.
Kasus dugaan korupsi dalam penyelamatan Bank Century saat ini memang terus bergulir di komisi antikorupsi. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya telah divonis 10 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan korupsi terkait dengan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Total kerugian dihitung komisi mencapai Rp 7 triliun.
Ruwetnya kasus hukum yang membelit Bank Mutiara memang menjadi salah satu sebab mengapa investor selama ini ragu ikut menawar. Meski dulu juga ada momok soal harga karena Undang-Undang LPS menetapkan, hingga tahun kelima minimal penjualan harus sebesar dana penyelamatan senilai Rp 6,7 triliun. Tahun ini ketentuan soal minimal harga hilang. LPS harus melepas bank itu, berapa pun harganya.
Hilangnya syarat harga minimal membuat penjualan pada tahun terakhir terasa lebih ringan meskipun, jika terjual di bawah dana bailout, para penentang tentu tak akan berhenti berkoar soal kerugian negara. Tersiar kabar skenario orang-orang kuat negeri untuk menuntaskan persoalan pelik kerugian negara. Investor lokal diminta untuk membeli.
Seorang pejabat sebuah bank badan usaha milik negara mengatakan awalnya ada konsorsium BUMN yang akan menawar. Maksudnya agar tidak dibeli asing. "Hanya prosesnya mandek tanpa ada sebab yang jelas. Lalu muncul perintah khusus agar Bank BRI mengambil Mutiara karena sebelumnya diberi izin membeli satelit," katanya.
Direktur Utama BRI Sofyan Basir menyangkal keras soal itu. "Tidak mungkin Presiden ngurusin pembelian bank sekecil itu," ujarnya Rabu pekan lalu. Menurut dia, isu itu digelontorkan antek-antek asing yang marah lantaran slot satelitnya hilang.
Sofyan mengatakan tidak ada yang diterima BRI dalam proses tender Mutiara. Dukungan dari Pemerintah tak didapat BRI setelah berjanji bakal ikut menawar Bank Mutiara. Pemerintah, menurut dia, sadar betul pembelian satelit itu bermanfaat besar untuk Tanah Air. Adapun keikutsertaan BRI menawar bekas Bank Century tersebut dilakukan lantaran punya prospek bagus secara bisnis.
"Ini kan kita beli mobil bekas tabrakan, yang nabrakin sudah dihukum, sudah diperbaiki asuransi. Misalnya harga mobil Rp 3 miliar, setelah tabrakan Rp 2 miliar, mau dilelang, kalau mau dibeli Rp 500 juta oke banget, kenapa mesti kasih ke asing? Itu saja," kata Sofyan. Dia menambahkan, BRI mengalokasikan dana Rp 3-4 triliun untuk keperluan akuisisi lembaga keuangan bank dan nonbank.
Bukan cuma BRI yang bersemangat. Seorang petinggi Artha Graha juga mengklaim siap membeli saham Mutiara dengan harga menjulang. Dia menyebutkan alokasi harga yang disiapkan sebesar Rp 8 triliun, melebihi total dana yang disuntikkan LPS, yakni bailout Rp 6,7 triliun dan tambahan modal Rp 1,25 triliun pada akhir 2013. "Kalau diambil swasta dengan harga segitu, selesai, tidak ada lagi kerugian negara," tuturnya.
Namun seorang bankir yang mengetahui proses penjualan saham Mutiara menyebutkan Bank BRI dan Artha Graha tidak sepenuhnya serius membeli Mutiara. Sebab, menjelang batas akhir memasukkan harga penawaran, dua bank itu tidak melakukannya. "Meski tidak menyebut mundur, mereka tidak memberikan harga penawaran," ujarnya. "Hanya tinggal dua investor asing."
BUKAN hanya soal hukum, proses penjualan saham juga terganggu kinerja keuangan Mutiara. Seorang bankir yang mengetahui proses due diligence mengatakan kinerja bank itu jeblok. "Nilai buku negatif," ujarnya.
Salah satu contohnya, dia menyatakan, suntikan modal tambahan Rp 1,25 triliun dari LPS pada tahun lalu, yang sepertiganya dipakai untuk membayar gaji karyawan. "Gaji pegawai sekitar Rp 400 miliar setahun," katanya. Tak ayal temuan ini mempengaruhi minat para investor. Malah tersiar kabar investor yang tersisa merevisi harga penawaran yang sempat dimasukkan di awal. Temuan ini, kabarnya, juga menjadi penyebab adanya investor yang tak memasukkan penawaran harga.
Kepala Departemen Pengawasan Bank 1 Otoritas Jasa Keuangan Mahmud menjelaskan, suntikan modal LPS pada akhir 2013 memang digunakan untuk kegiatan operasional bank, termasuk menggaji pegawai. "Ada untuk kredit, penempatan di surat berharga Bank Indonesia, penempatan di bank lain," ucapnya. Duit itu juga digunakan untuk membayar deposito jatuh tempo.
Meski begitu, Mahmud meyakinkan, Bank Mutiara masih punya duit cukup banyak. "Likuiditas masih baik, permodalan masih oke," katanya. Rasio kecukupan modal Bank Mutiara per Rabu pekan lalu berada di level 14 persen.
Meski begitu, ia enggan membuka peringkat kesehatan bank tersebut. "Bank ini istilahnya dalam penyehatan LPS," ucapnya. Ia pun mengklaim bank masih melakukan kegiatan normal perbankan untuk memutar duit. "Masih kasih kredit, masih ada yang menabung, menempatkan deposito."
Di atas kertas, kinerja Bank Mutiara terpantau terus menurun. Laba tahun berjalan merosot dari kisaran Rp 200 miliar pada 2010 menjadi rugi Rp 1,14 triliun pada 2013. Tapi, dalam membeli Bank Mutiara, investor bisa saja punya pertimbangan lain di luar kinerja. Bagi investor asing, misalnya, membeli Bank Mutiara bisa menjadi jalan masuk untuk memulai bisnis bank di dalam negeri tanpa pusing urusan perizinan. "Ini yang selalu kami sampaikan," kata Marciano Herman.
Marciano menjelaskan, pada tahap penawaran akhir ini, LPS meminta para investor memasukkan dua dokumen, yang pertama berisi persyaratan pembelian (term of condition) dan yang kedua berisi harga. Sebelum bicara harga, kata Marciano, ada proses penyamaan term of condition. "Jadi mereka menawar dengan platform yang sama," ujarnya.
Pada akhirnya, penentu kemenangan adalah harga. Selama harga yang ditawarkan masuk akal, kata dia, Bank Mutiara pasti akan dilepas. Toh, "LPS bukan lembaga investasi. Dia lembaga bailout." Sekretaris Perusahaan LPS Samsu Adi Nugroho tetap optimistis proses penjualan Mutiara akan berjalan lancar. "Kami berharap 15 September mendatang sudah diketahui calon pemilik baru Mutiara," ujarnya.
Martha Thertina, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo