Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pasal Hilang Timah Melayang

Dua kubu eksportir timah adu kuat mengintervensi peraturan Menteri Perdagangan. Ada upaya lobi ke Sekretaris Kabinet.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Pasal Hilang Timah Melayang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Rapat itu berlangsung di Hotel Novotel Pangkalpinang, Bangka. Digelar Kementerian Perdagangan, pertemuan yang diikuti 60-an peserta itu menghadirkan aneka kalangan. Ada eksportir timah, pihak Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia, hingga perwakilan Bea dan Cukai serta Surveyor Indonesia. Suasana rapat yang tadinya biasa saja mendadak gaduh tatkala sesi tanya-jawab dibuka.

Ketua Umum Asosiasi Industri Timah Indonesia Ismiryadi mendapat kesempatan pertama. Dengan lantang dia memprotes pengetatan aturan ekspor timah yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2014. Ismiryadi menilai aturan itu menyulitkan pengusaha lokal. "Kami dimatikan lewat peraturan ini," katanya kepada Tempo pada Selasa pekan lalu—mengulang pernyataannya di forum.

Peraturan tersebut menetapkan ekspor timah nonbatangan harus disertai izin baru sebagai eksportir terdaftar timah industri. Sebelumnya, hanya perlu sertifikat eksportir terdaftar timah batangan. Bedanya, eksportir industri dianggap industri hilir, sedangkan eksportir timah batangan industri hulu.

Imbas dari status industri hilir adalah perusahaan wajib membayar pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. Padahal, sebagai eksportir timah, pengusaha hanya perlu membayar royalti 3 persen. Menurut Ismiryadi, PPN akan membengkakkan ongkos produksi—dan menekan harga pasir timah yang ditambang masyarakat. "Kami berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

Aturan baru itu terbit setelah muncul banyak protes terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013, terutama pasal abu-abu yang mengatur ekspor timah nonbatangan. Intinya, ekspor timah batangan (ingot) wajib diperdagangkan di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia atau bursa timah lebih dulu. Timah nonbatangan boleh diekspor tanpa diperdagangkan di bursa timah.

Pengusaha kemudian memanfaatkan celah ini. Mereka mencetak timah dengan bentuk lain, tapi berkadar stannum (timah) setara dengan timah batangan, yaitu 99,9 persen. Sebagian pengusaha dalam Asosiasi Industri Timah Indonesia menerapkan hal ini. Apa kata pemerintah?

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengakui ada pasal abu-abu dalam aturan main itu. Dan dia merevisinya melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 pada 24 Juli lalu. Hasilnya? Tak sepenuhnya menghapuskan pasal-pasal sumir yang selama ini menjadi pangkal persoalan.

Kepala Seksi Penyidikan dan Penindak­an Bea dan Cukai Pangkalpinang Toto Sugiarto mengakui peraturan Menteri Perdagangan baru belum tegas memisahkan timah batangan dan nonbatangan. "Tetap menimbulkan masalah," Toto menegaskan kepada Tempo. Firdo Wijaya, Kepala Surveyor Indonesia Perwakilan Bangka Belitung, mengatakan peraturan Menteri Perdagangan baru belum menjawab persoalan kisruh ekspor timah. "Peraturan baru sudah menimbulkan berbagai macam persepsi," tuturnya.

Lutfi mengaku tak khawatir dengan kritik itu. Menurut dia, pengetatan ekspor timah nonbatangan bukan dengan mengatur setiap bentuk cetakan timah. Strategi pemerintah adalah menambahkan izin produksi.

Produksi timah nonbatangan akan disebut industri hilir. Artinya, untuk mencetak produk itu, pengusaha wajib punya izin usaha industri dari Kementerian Perindustrian atau pemerintah daerah.

Sebagai industri hilir, perusahaan akan dipungut pajak pertambahan nilai. "Terserah timah mau dibentuk apa saja. Kalau nonbatangan disebut produk industri dan dipungut PPN 10 persen," kata Lutfi. Pajak inilah yang diyakini bakal jadi momok bagi pengusaha.

Pendapat sebaliknya datang dari pengusaha Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI). Ketua Umum AETI Jabin Sufianto menegaskan, masih ada lubang dalam peraturan Menteri Perdagangan baru, yakni tak adanya syarat clear and clean izin usaha pertambangan (IUP) untuk mendapatkan bahan baku.

Syarat itu, menurut dia, mematikan pengusaha lancung yang mengeruk timah mentah dari izin usaha—yang bermasalah—yang diterbitkan pemerintah daerah. Jabin mencontohkan, di banyak tempat, izin bermasalah kerap berupa tumpang-tindih lahan. Misalnya antara swasta dan PT Timah Tbk atau antara swasta dan swasta.

Kepada Tempo, seorang eksportir menyatakan begini: penjualan timah nonbatangan ke Singapura banyak berasal dari IUP yang bermasalah. Menurut dia, tanpa syarat "bersih", peraturan Menteri Perdagangan masih membuka pintu bagi eksportir timah dari tambang ilegal.

Seorang pengusaha yang tahu proses penyusunan peraturan Menteri Perdagangan baru menuturkan, hilangnya pasal clear­ and clean bukannya tak terpikirkan oleh pemerintah. Syarat tersebut diusulkan saat penyusunan draf peraturan Menteri Perdagangan bersamaan dengan usul penambahan pos tarif timah nonbatangan, bukti pelunasan PPN, dan masa berlaku peraturan baru.

Direktur Standardisasi Kementerian Perdagangan mendapat tugas menggodok penambahan pos tarif timah nonbatangan. Maka dia pun menggelar rapat di Jakarta pada pertengahan Mei lalu. Pengusaha timah dan para perwakilan asosiasi hadir. Hasilnya, lima jenis timah bentuk lain dengan pos tarif 8007 (kode perdagangan ekspor-impor) dimasukkan. Hasil rumusan ini disodorkan ke Direktur Ekspor Kementerian Perdagangan untuk menyiapkan draf peraturan Menteri Perdagangan baru.

Sebulan kemudian, Direktur Ekspor Thamrin Latuconsina menyelenggarakan rapat lanjutan dengan mengundang peserta yang sama. Di forum inilah muncul usul pemberlakuan izin usaha industri produksi timah nonbatangan yang masuk pos tarif 8007. Pelaku industri juga diminta mengantongi sertifikat clear and clean serta bukti setoran PPN.

Thamrin kemudian mengirim nota dinas kepada Direktur Industri Material Dasar Logam Kementerian Perindustrian Budi Irmawan. Tujuannya untuk tahu lebih rinci soal izin industri. Ini jawaban Budi: "Timah bentuk lain wajib mengantongi izin usaha industri dan mendapatkan rekomendasi Kementerian Perindustrian."

Begitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 diterbitkan pada 24 Juli lalu, Jabin kaget mengetahui tiga pos tarif timah nonbatangan, syarat clear and clean, dan PPN tak ikut dicantumkan. Pemberlakuan peraturan Menteri Perdagangan juga mundur dari rencana 1 September ke 1 November 2014. "Ini tidak lazim. Seolah-olah melempar masalah ke pemerintah baru," dia menegaskan.

Menteri Muhammad Lutfi menampik ada unsur politik dalam pemberlakuan peraturan Menteri Perdagangan. Ia menilai peraturan baru lebih adil ketimbang yang direvisi. "Pengusahanya tidak ada yang memprotes."

l l l

SEJAK Komando Armada RI Kawasan Barat dan Badan Koordinasi Keamanan Laut menangkap ratusan kontainer timah ekspor di Batam pada Maret dan April lalu, perseteruan eksportir timah pro-bursa melawan kontra-bursa kian runcing. Gong permusuhan ditabuh sejak perdagangan timah batangan diwajibkan melalui bursa komoditas.

Dua kubu eksportir semakin terbelah ketika pemerintah merumuskan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44. Pihak yang kontra-bursa diwakili Asosiasi Industri Timah Indonesia pimpinan Ismiryadi. Yang pro-bursa ada di bawah bendera Asosiasi Eksportir Timah Indonesia, yang dikomandoi Jabin Sufianto.

Jabin menilai hilangnya beberapa draf usul dalam peraturan Menteri Perdagangan menguntungkan eksportir yang menolak masuk bursa. "Ada celah ekspor timah tanpa melalui bursa dengan persyaratan longgar," ujarnya. Masa berlaku peraturan Menteri Perdagangan dianggap seolah-olah mengirim sinyal kepada eksportir timah nonbatangan untuk mengekspor sebanyak-banyaknya sebelum peraturan Menteri Perdagangan berlaku efektif.

Jabin meyakini ekspor timah nonbatangan bakal menggelembung secara besar-besaran. Hal itu terjadi pada ekspor Mei lalu, yang mencapai 4.264 ton. Tujuan ekspor: Malaysia dan Thailand. Timah itu dilebur lagi di smelter Malaysia Smelting Corporation di Malaysia dan Thaisarco di Thailand. Dari kedua smelter itu, produk timah diperdagangkan di Bursa Timah London (LME).

Dari satu pengusaha timah, Tempo mendapat informasi ini: pemasok sebagian timah ke kedua smelter besar itu merupakan importir timah Indonesia. Importir yang berkantor di Singapura antara lain Arina Resources, Singapore Solder Tech, United Brothers Resources, Frisland Industries, Unibros, dan Lotus Singapore Ltd. Importir ini berkongsi dengan eksportir timah yang mayoritas kontra-bursa. Direktur Lotus, Sutomo Gunawan, membantah memasok timah ke smelter. "Kami langsung ke end user," ucapnya.

Agar kongsi dagang lestari, perlu kepastian aturan main. Seorang pengusaha di kubu bursa menuturkan kelompok kontra-bursa dikomandoi Ape Niagata Tjandra, komisaris perusahaan tambang timah PT AEGA Prima.

Saat bursa komoditas beroperasi, pengusaha yang berkubu dengan Ape terguncang. Pemilik Hotel Novotel Pangkalpinang, misalnya, menemui Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk melobi Menteri Perdagangan Gita Wirjawan agar ekspor timah tak wajib diperdagangkan di bursa. Adapun Ape dan Dipo ditengarai berkawan dekat sejak dulu.

Saat menemui Dipo, Ape mengajak Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangka Belitung Didit Srigusjaya, Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi, dan Bupati Bangka Tengah Erzaldi Rosman. Ape membenarkan upaya lobi ini. "Saya berbicara hanya agar pemerintah membuat aturan tepat," katanya kepada Tempo pada Kamis dua pekan lalu.

Versi Didit lain lagi. Pertemuan itu, menurut dia, tak terkait dengan revisi peraturan Menteri Perdagangan, tapi mendiskusikan bagaimana mendirikan suatu bursa baru. "Kami minta bantuan Dipo Alam," ujarnya. Dipo membantah. "Tidak benar. Silakan tanya ke Menteri Perdagangan," ujarnya lewat pesan pendek di telepon seluler.

Tudingan tersebut membikin Ismiryadi terperangah. Ia mengaku heran kelompoknya dituding mengintervensi peraturan Menteri Perdagangan. Padahal isinya merugikan pengusaha yang tak sudi bergabung dengan bursa. Dia pun balik menuding bahwa kubu pro-bursa justru yang paling memetik untung dari peraturan ini. Kata dia, "Mereka mau memonopoli ekspor timah."

Akbar Tri Kurniawan, Maria Yuniar (Jakarta), Servio Maranda (Pangkalpinang)


Bisnis Gurih Panglima Timah

KENDATI menjadi produsen timah terbesar di dunia, Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand dalam nilai ekspor timah batangan (ingot). Sulit dimungkiri, membanjirnya ingot di dua negeri jiran itu terjadi karena adanya ekspor ilegal timah dari Bangka-Belitung. Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menelisik permainan gelap yang merugikan negara puluhan triliun rupiah.

Praktek penambangan gelap sulit dihentikan karena masyarakat menikmati investasi pengusaha timah yang dijuluki Panglima. Mereka eksis karena mendapat beking dari aparat keamanan, politikus, juga pejabat tinggi.

Kejanggalan Data

NegaraPasir timahTimah olahan
Malaysia
20113,039,5
20123,737,8
20133,832,7
Thailand
20110,521
2012-22,9
2013-23
Indonesia
201189,753
201296,652,4
201394,353,1

Pemain Besar

Ape NIAGATA tjandra
Jaringan: AEGA Prima, Bangka Kuda Tin, Bangka Timah Utama Sejahtera.

Philip Surya alias Asiong
Jaringan: Serumpun Sebalai, Tirus Putra Mandiri, Ayi Jaya, ATD Makmur Mandiri, Varia Gemilang, Seirama Tin Investment, Keranji Jaya Utama.

Refined Bangka Tin
Jaringan bisnis milik Robert Bonosustaya dan menjadi salah satu eksportir terbesar di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia.

PT Bukit Timah
Eksportir terbesar di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia.

Hendry Lee, dengan perusahaan Tinindo Inter Nusa
Eksportir terbesar di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia.

Kerugian Negara

1.Volume ekspor timah ilegal 2004-2013
sekitar 301 ribu ton dengan penjualan sebesar US$ 4,368 miliar setara Rp 50,121 triliun.

2.Negara kehilangan royalti:
3% x US$ 4,368 miliar = US$ 130,752 juta. setara dengan Rp 1,5 triliun

3.Negara kehilangan PPh badan:
US$ 231,998 juta setara Rp 2,667 triliun.

Naskah: Akbar Tri Kurniawan, Maria Yuniar
Sumber: PDAT, Komisi Pemberantasan Korupsi, ICW dan BKDI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus