Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Enggan Berlayar Bersama Camara

Rantai distribusi panjang membuat sapi Nusa Tenggara sama mahalnya dengan sapi impor. Jaringan kuat pedagang lama memainkan peran.

1 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOSONGNYA kapal ternak Camara Nusantara 1 membuat Kementerian Pertanian kelabakan. Sepuluh instansi pemerintah dan badan usaha milik negara serta daerah dikumpulkan di Gedung C Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu pekan pertama Januari lalu.

Dipimpin Fini Murfiani, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, rapat yang berlangsung tiga jam itu hendak mencari jalan keluar. Bagaimana caranya agar kapal Camara bisa mengangkut lagi sapi dari Nusa Tenggara Timur. Sejak pengangkutan pertama pada 11 Desember 2015, kapal milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) itu kosong melompong. Tak ada peternak dan pedagang yang mau sapinya dibeli dengan harga patokan pemerintah sebesar Rp 35 ribu per kilogram bobot sapi hidup.

Jika terus-menerus tak memperoleh sapi, ini bisa gawat. Sebab, pengiriman sapi dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan komitmen Presiden Joko Widodo untuk menghadirkan harga daging murah di Jabodetabek, kawasan dengan konsumen tertinggi. Kebutuhan sapi di Ibu Kota dan sekitarnya ini mencapai 20-30 ribu ekor setiap bulan atau setara dengan 6-9 persen kebutuhan nasional.

Seorang peserta mengusulkan agar Kementerian Pertanian tidak mematok harga. Sebab, plafon Rp 35 ribu per kilogram yang diminta Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman adalah harga sapi sesampai di Jakarta. Padahal saat itu harga sapi di Jakarta mencapai Rp 41-42 ribu. Pemerintah diminta menyerahkan harga sapi ke mekanisme pasar. Hasil rapat: pemerintah mengalah, tak lagi membanderol harga.

Marina Ratna Dwi Kusumajati, Direktur Utama Perusahaan Daerah Dharma Jaya—perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—menegaskan komitmennya membeli sapi dari NTT. Syaratnya, pemerintah memberikan waktu kepada perusahaan untuk bergerilya mencari sapi di sentra-sentra ternak di NTT. "Kami meminta jadwal keberangkatan kapal," katanya Kamis pekan lalu.

Belakangan, pemerintah menetapkan pengiriman perdana tahun ini dilakukan pada 2 Februari 2015. Pengiriman selanjutnya pada 16 Februari dan 1 Maret mendatang. Kapal Camara akan mengangkut sapi dari Pelabuhan Tenau, Kupang; Pelabuhan Waingapu, Sumba Timur; Pelabuhan Lembar, Mataram; serta Pelabuhan Bima, Nusa Tenggara Barat. Pelayaran akan berakhir di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat.

* * * *

Harga rata-rata daging sapi mencapai Rp 101-108 ribu per kilogram sepanjang 2015. Pada November tahun lalu, Jokowi berjanji menurunkan harga hingga Rp 70-75 ribu per kilogram, agar tak jauh dari harga di Malaysia yang Rp 60 ribu per kilogram.

Hitungan Menteri Amran, agar harga daging Jabodetabek Rp 75 ribu, harga sapi maksimal Rp 30 ribu per kilogram bobot hidup. "Harga ini hasil kesepakatan pelaku usaha yang ditandatangani semua pihak pada 18 November 2015 di Kupang, bukan harga patokan pemerintah," kata Amran kepada Tempo melalui surat elektronik, Kamis pekan lalu.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, Amran mengundang enam gubernur, yaitu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi, serta perwakilan dari Provinsi Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Mereka bertemu di Kementerian Pertanian pada Jumat, 13 November 2015.

Ia minta lima daerah itu berkomitmen mengirimkan sapinya ke Jakarta. Peran pemerintah pusat adalah menyubsidi ongkos angkutan melalui kapal ternak KM Camara Nusantara 1. Dalam kalkulasi Amran, ongkos angkut dengan kapal berkapasitas 500 ekor ini hanya Rp 1.160 per kilogram.

Ahok menugasi Marina menindaklanjuti kerja sama tersebut. Sapi dari Pulau Timor, NTT, dipilih sebagai ruminansia pertama yang akan diangkut dari Pelabuhan Tenau menuju Tanjung Priok.

Seorang pengusaha daging mengatakan Dharma Jaya kecewa terhadap Kementerian Pertanian. Mereka mempertanyakan mengapa pembahasan soal harga daging langsung melibatkan Hendrik Hartono dan Daniel Go. Hendrik adalah Direktur Utama PT Hade Dinamis Sejahtera dan berdomisili di Jakarta. Dia mewarisi bisnis orang tuanya berdagang sapi dari NTT ke luar pulau. Di kalangan peternak dan pedagang sapi, bersama Daniel, Hendrik dikenal sebagai penguasa bisnis sapi di Pulau Timor.

Pulau Timor adalah sentra sapi NTT untuk jenis sapi Bali, sedangkan sapi Ongole lebih banyak di Pulau Sumba. Daniel berperan sebagai operator yang mengkoordinasi jaringan peternak dan pedagang. Jaringan Daniel menguasai kuota penjualan sapi ke luar pulau, yang diterbitkan Dinas Peternakan.

Hendrik lebih banyak mengirim ke Kalimantan, yang harga sapinya lebih mahal ketimbang Jabodetabek. Saban bulan, dia dan jaringannya bisa memasok sekitar 2.000 ekor. Jumlah ini hampir 50 persen dari total kuota pengiriman sapi NTT ke luar pulau, sebesar 4.300 ekor per bulan atau 52-55 ribu ekor sapi setiap tahun.

Dengan melibatkan Hendrik secara langsung, pengusaha lain akan sulit bernegosiasi dengan jaringan peternak dan pedagang kecil di NTT. Pertemuan pejabat Kementerian Pertanian dengan Hendrik ini menghasilkan harga patokan Rp 30 ribu per kilogram bobot sapi hidup di NTT. Harga patokan inilah yang dianggap tak masuk akal dan ditengarai hanya bertujuan membuat para peternak enggan menjual sapinya.

Tapi Hendrik menolak disebut ikut membahas soal harga. "Saya tidak ikut rapat dalam penentuan harga," katanya melalui pesan pendek. Sedangkan Daniel mengatakan Hendrik adalah mitra bisnisnya. "Saya lebih senang kirim sapi ke dia (Hendrik)," ujarnya.

Marina mengakui keberatan terhadap harga tersebut. Namun ia enggan menerangkan proses tawar-menawar harga dengan Kementerian Pertanian. Ia menegaskan bahwa Dharma Jaya sanggup membeli dengan harga Rp 35 ribu per kilogram bobot sapi hidup di Jakarta, bukan di NTT. "Dharma Jaya mau membeli harga di NTT jika saya diberikan waktu untuk menyurvei harga NTT lebih transparan, bukan mendadak."

* * * *

Tawar-menawar harga antara Kementerian Pertanian dan Dharma Jaya masih menggantung hingga tenggat pengangkutan, 7 Desember 2015. Di kalangan pedagang dan peternak sapi di NTT mulai tersiar kabar penolakan terhadap harga patokan pemerintah, karena dinilai terlalu rendah.

Dua hari menjelang keberangkatan kapal, para pelaku usaha, di antaranya Daniel, PT Bumi Tirta, CV Berkat Iman Sejati, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) NTT, serta CV Gratia Jaya, bersepakat mengirim 400 ekor. Kesepakatan diteken di kantor Dinas Peternakan NTT, Kupang.

Menurut seorang pedagang sapi, kendati ada komitmen untuk menjual sapinya, beberapa pedagang dan peternak itu berharap ada revisi harga. Tapi soal revisi harga itu tak pernah terwujud. Mereka pun hendak mengulang boikot, seperti pada pengangkutan sebelumnya.

Seorang pedagang bercerita, karena harga tak berubah, begitu kapal Camara datang, beberapa pemilik sapi yang sudah menunggu di karantina hewan di Pelabuhan Tenau memilih pulang. Jumlah sapi yang bakal diangkut pun terancam menyusut.

Tak mau malu dua kali, segala cara dilakukan. Aparat militer diturunkan untuk menjemput sapi di pedagang dan peternak. Langkah ini dipilih karena Kementerian Pertanian tidak bisa mengundurkan jadwal keberangkatan kapal. Presiden Jokowi sudah menunggu kedatangan Kapal Camara di Jakarta.

Ihwal penggunaan aparat militer itu dibenarkan oleh Beni Subagyo dari Puskud NTT. Tapi ia menyebutkan tentara tak sampai ikut melobi peternak dan pedagang. "Tentara hanya untuk pengamanan," ujarnya.

Apa pun sebutannya, cara itu manjur. Meski tak sebesar komitmen 400 ekor, jumlah sapi yang diangkut mencapai 353 ekor. Fini Murfiani, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, membantah telah menggunakan aparat militer dalam program ini. "Tidak ada TNI dalam tim kami," katanya.

Untuk menjamin ada pembeli di Jakarta, Fini melobi Perum Bulog sebagai pengganti Dharma Jaya, yang berkukuh ingin terima beres di Jakarta. Wahyu, Direktur Pengadaan Bulog, membenarkan adanya lobi Fini. "Saya ditelepon saat sapi sudah siap angkut," katanya. Akhirnya Bulog NTT membeli sapi tersebut.

Senin, 7 Desember dinihari, Camara mulai berlayar. Saat kapal tiba empat hari kemudian pada sore hari, Presiden Jokowi menyambut kedatangannya.

Namun, selepas seremoni itu, sapi-sapi Bulog tersebut tak langsung digiring ke rumah-rumah potong hewan. Bulog menjualnya dulu ke PT Berdikari dengan harga Rp 37 ribu per kilogram. Oleh Berdikari, sapi ini dijual kembali kepada pedagang Rp 39.500 per kilogram bobot sapi hidup.

Seorang pedagang daging beku di Jakarta Selatan mengatakan masih panjangnya rantai distribusi membuat harga daging sapi NTT tetap mahal sesampai di Jakarta. Meski sudah disubsidi ongkos pengangkutan, di tingkat konsumen akhir, harganya tak jauh berbeda dengan sapi impor Australia yang membanjiri Jabodetabek.

Mengenai harga jual kepada Berdikari yang ada selisih Rp 2.000 per kilogram, Wahyu menerangkan bahwa Bulog juga mengeluarkan ongkos pengangkutan dari Tanjung Priok ke Cibitung. "Kami juga menanggung biaya pakan selama tiga hari," ujarnya.

Adapun Librato El Arif, Direktur Utama PT Berdikari, menjelaskan, beberapa sapi dari Bulog dijual lagi karena bobotnya di bawah standar rumah potong hewan milik perusahaan pelat merah ini, yaitu 275 kilogram. "Sapi yang bobotnya kecil tidak dipotong, tapi dijual. Umumnya dibeli masyarakat yang ingin menggemukkan untuk hari raya Idul Adha."

Yuari Trantono, peneliti sistem logistik ternak dari Balai Penelitian Ternak Bogor, mengatakan kapal Camara yang disubsidi menurunkan ongkos pengangkutan dari Rp 1,6-1,8 juta menjadi Rp 1,1-1,2 juta. Tapi pemerintah tidak perlu buru-buru mengintervensi harga pasar. "Biarkan pola dan jaringan pasar sapi NTT-Jakarta terbentuk. Setelah itu bisa evaluasi subsidi yang diberikan," katanya.

Akbar Tri Kurniawan, Gustidha Budiartie (Jakarta), Yohanes Seo (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus