Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dody Gunawan terheran-heran melihat kenaikan harga daging sapi di pasar-pasar tradisional di Jawa Barat sepanjang Januari lalu. Harga sampai Rp 140 ribu lebih per kilogram, melesat jauh dibanding biasanya di level Rp 105-110 ribu. Kepala Bidang Statistik Badan Pusat Statistik Jawa Barat itu yakin lonjakan harga daging ini bakal mengerek inflasi Januari. Di sejumlah daerah lain, terutama Jakarta dan sekitarnya, situasinya tak jauh berbeda.
Tren inflasi pada triwulan pertama setiap tahun, kata Dody, memang bukan hal mengejutkan. Tapi kenaikan inflasi akibat lonjakan harga daging jarang terjadi pada awal tahun. "Baru kali ini," ujar Dody kepada Tempo, Senin pekan lalu. Kenaikan harga daging sapi umumnya terjadi saat Ramadan hingga Lebaran.
Menurut Dody, kenaikan harga tak wajar itu akibat kebijakan Menteri Keuangan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk ternak sapi impor dan lokal. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.010/2015 itu, semua ternak dikenai pungutan, kecuali sapi indukan. Pemerintah beralasan, peraturan yang diberlakukan sejak 18 Januari itu bertujuan memproteksi peternak lokal.
Tapi, belum sempat terasa perlindungan yang dimaksudkan, kebijakan yang seolah-olah menyeruduk tiba-tiba ini malah memicu kegaduhan. Pedagang pasar dan pengusaha penggemukan sapi melayangkan protes ke pemerintah. Presiden Joko Widodo pun turut geram melihat harga daging sapi dan daging ayam lebih mahal dibanding saat Lebaran.
Di banyak pasar di berbagai daerah, terjadi kelangkaan daging. Harga daging ayam yang sebelumnya Rp 26-30 ribu per kilogram ikut-ikutan naik hingga Rp 38-40 ribu. "Begitu pungutan itu disosialisasi, harga-harga langsung naik," kata Asnawi, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Daging Indonesia, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Rumah-rumah jagal pun menunda memotong sapi. "Sebagian pengecer memilih tidak berdagang karena takut barangnya tidak laku."
Karena memantik kontroversi, aturan itu hanya berumur pendek. Senin (18 Januari) diberlakukan, ditarik pada Jumat pekan yang sama.
"Kami minta Kementerian Keuangan agar pengenaan PPN itu ditangguhkan dulu. Saya minta dicabut," kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution setelah memimpin rapat koordinasi membahas masalah itu di kantornya, Jumat dua pekan lalu. Turut hadir dalam rapat itu perwakilan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), juga asosiasi feedlotter atau penggemukan sapi.
Asnawi, yang berprofesi sebagai jagal dan pedagang daging sapi di Pasar Cipete, Jakarta Selatan, menilai pencabutan PPN oleh pemerintah sebagai keputusan tepat. Menurut dia, tanpa PPN pun harga beli sapi sudah tinggi. Apalagi bagi masyarakat, yang daya belinya saat ini sedang menurun.
Ia mengakui, setelah pencabutan pajak itu, harga tak langsung ikut turun secara otomatis. Para pedagang baru menurunkannya secara berangsur mulai 25 Januari, dan baru kembali ke level Rp 110-120 ribu per kilogram tiga hari kemudian pada Kamis pekan lalu.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Pangan Strategis Juan Permata Adoe melihat ada salah komunikasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian. Menurut dia, ide awal di balik kebijakan itu sebenarnya adalah Menteri Pertanian meminta kepada Menteri Keuangan agar menghapus bea masuk impor sapi indukan. "Entah di mana salahnya, kok aturan yang diterbitkan justru pengenaan PPN 10 persen untuk semua ternak potong, impor dan lokal," kata Juan. "Tentu saja dunia usaha terkejut."
Kadin menyatakan peraturan tersebut juga merugikan pedagang, misalnya penjual bakso. Pengusaha produk turunan daging bisa terkena dua kali dampak pemungutan pajak. Pertama dari pembebanan PPN sapi, kedua dari PPN barang dagangannya. "Pajaknya jadi dobel," kata Juan.
Menurut Darmin Nasution, pemerintah khawatir PPN ternak punya dampak berlebihan terhadap harga kebutuhan pangan. Sebab, pengusaha pasti akan membebankan pajak kepada konsumen. Ia menegaskan daging sapi masuk kategori bahan pangan strategis, yakni barang yang bebas pajak.
Sebelum Peraturan Menteri Keuangan itu muncul, pemerintah telah menetapkan semua hewan ternak bebas PPN karena termasuk barang strategis. Ketentuan itu ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Hanya, peraturan pemerintah tersebut menyatakan kriteria khusus hewan ternak yang bebas PPN akan diatur lebih lanjut lewat peraturan Menteri Keuangan.
Celah untuk mengatur kriteria inilah yang "digoyang" oleh Kementerian Keuangan. Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara, Astera Primanto Bhakti, "kriteria khusus bagi hewan ternak" di PP Nomor 81 itu memang memberi kewenangan besar kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan yang akan menentukan ternak seperti apa yang bisa dikategorikan strategis.
Pengaturan melalui kebijakan setingkat peraturan menteri, menurut Astera, bisa lebih fleksibel. "Kalau ada dinamika di lapangan yang memerlukan perubahan, bisa lebih mudah dibanding jika harus mengubah peraturan pemerintah," katanya Kamis dua pekan lalu.
Itu dibuktikan dengan dibatalkannya PMK Nomor 267 tersebut segera setelah dihujani kritik. "Ternak kita kembalikan seperti rezim sebelumnya," kata Astera setelah mengikuti rapat koordinasi di kantor Darmin. Astera membantah jika lembaganya disebut melakukan trial and error dalam penyusunan peraturan.
Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, menilai pemerintah "mencari peluang" karena berkepentingan mengejar target penerimaan. Dengan pungutan PPN ini, Dirjen Pajak bisa mendapatkan tambahan sedikitnya Rp 1,2-1,5 triliun. "Angka itu diperoleh dari asumsi impor 600 ribu ekor setahun," kata Teguh, Selasa pekan lalu. Angka itu belum menghitung potensi sapi lokal.
Teguh mengatakan pemerintah pernah memungut PPN ternak. Tapi, atas tekanan pelaku usaha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya membebaskan PPN atas barang impor bersifat strategis-termasuk bibit ternak-dengan menerbitkan PP Nomor 7 Tahun 2007. "Saat itu kami minta PPN dinolkan," katanya. Penetapan barang strategis itu selanjutnya dikuatkan dalam revisi Undang-Undang PPN.
Kementerian Keuangan mengakui setiap pungutan pasti akan meningkatkan penerimaan. Tapi, kata Astera, semangat terbitnya PMK Nomor 267 ini bukan berorientasi pada penerimaan. "Kami mendukung semangat sektor pertanian mengembangkan peternak lokal," ujarnya. Menurut dia, peraturan tersebut disusun setelah mendengar masukan dari kementerian teknis.
Namun Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyangkal telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan soal ini. "Tidak usah saling lempar," ujarnya.
Agus Supriyanto, Ahmad Fikri (Bandung)
Demi Stabilitas Harga
PEMERINTAH akhirnya membuka pintu impor sapi selain dari Australia dan Selandia Baru. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi IX, yang diluncurkan Rabu pekan lalu, pemerintah akan mengatur ulang zona impor agar terjadi persaingan dan harga lebih murah.
Salah satu negara asal yang sudah antre adalah India. Negara itu berlimpah lembu, tapi masih terbelit masalah penyakit gigi dan kuku. Tapi, kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, India perlu masuk peta pemasok. "Demi stabilitas harga dan karena kebutuhan daging sapi yang meningkat dari tahun ke tahun."
Kebutuhan daging nasional:
Produksi nasional:
Perbandingan konsumsi daging per kapita (2015):
Harga Daging Sapi (Rp/Kg) : Per 24-25 Januari 2016
Populasi Sapi Potong (Nasional)
Populasi Khusus di Nusa Tenggara Timur
Impor Sapi (Ekor)
2011
2012
2013
2014
2015
2016 - (Target)
Berdasarkan Data 2013
Kebijakan Khusus Jokowi Kapal Angkut Sapi
Target: Memangkas ongkos distribusi sapi dari NTT ke DKI Jakarta sebesar 85 persen dari Rp 1,8 juta per ekor menjadi Rp 320 ribu per ekor
Perjalanan:
Berikutnya:
Penulis: Gustidha Budiartie data diolah dari: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo