Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gaduh Serudukan Pajak Sapi

Memicu lonjakan harga, PPN ternak hanya berumur lima hari. Komunikasi tak nyambung antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian.

1 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dody Gunawan terheran-heran melihat kenaikan harga daging sapi di pasar-pasar tradisional di Jawa Barat sepanjang Januari lalu. Harga sampai Rp 140 ribu lebih per kilogram, melesat jauh dibanding biasanya di level Rp 105-110 ribu. Kepala Bidang Statistik Badan Pusat Statistik Jawa Barat itu yakin lonjakan harga daging ini bakal mengerek inflasi Januari. Di sejumlah daerah lain, terutama Jakarta dan sekitarnya, situasinya tak jauh berbeda.

Tren inflasi pada triwulan pertama setiap tahun, kata Dody, memang bukan hal mengejutkan. Tapi kenaikan inflasi akibat lonjakan harga daging jarang terjadi pada awal tahun. "Baru kali ini," ujar Dody kepada Tempo, Senin pekan lalu. Kenaikan harga daging sapi umumnya terjadi saat Ramadan hingga Lebaran.

Menurut Dody, kenaikan harga tak wajar itu akibat kebijakan Menteri Keuangan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk ternak sapi impor dan lokal. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.010/2015 itu, semua ternak dikenai pungutan, kecuali sapi indukan. Pemerintah beralasan, peraturan yang diberlakukan sejak 18 Januari itu bertujuan memproteksi peternak lokal.

Tapi, belum sempat terasa perlindungan yang dimaksudkan, kebijakan yang seolah-olah menyeruduk tiba-tiba ini malah memicu kegaduhan. Pedagang pasar dan pengusaha penggemukan sapi melayangkan protes ke pemerintah. Presiden Joko Widodo pun turut geram melihat harga daging sapi dan daging ayam lebih mahal dibanding saat Lebaran.

Di banyak pasar di berbagai daerah, terjadi kelangkaan daging. Harga daging ayam yang sebelumnya Rp 26-30 ribu per kilogram ikut-ikutan naik hingga Rp 38-40 ribu. "Begitu pungutan itu disosialisasi, harga-harga langsung naik," kata Asnawi, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Daging Indonesia, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Rumah-rumah jagal pun menunda memotong sapi. "Sebagian pengecer memilih tidak berdagang karena takut barangnya tidak laku."

Karena memantik kontroversi, aturan itu hanya berumur pendek. Senin (18 Januari) diberlakukan, ditarik pada Jumat pekan yang sama.

"Kami minta Kementerian Keuangan agar pengenaan PPN itu ditangguhkan dulu. Saya minta dicabut," kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution setelah memimpin rapat koordinasi membahas masalah itu di kantornya, Jumat dua pekan lalu. Turut hadir dalam rapat itu perwakilan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), juga asosiasi feedlotter atau penggemukan sapi.

Asnawi, yang berprofesi sebagai jagal dan pedagang daging sapi di Pasar Cipete, Jakarta Selatan, menilai pencabutan PPN oleh pemerintah sebagai keputusan tepat. Menurut dia, tanpa PPN pun harga beli sapi sudah tinggi. Apalagi bagi masyarakat, yang daya belinya saat ini sedang menurun.

Ia mengakui, setelah pencabutan pajak itu, harga tak langsung ikut turun secara otomatis. Para pedagang baru menurunkannya secara berangsur mulai 25 Januari, dan baru kembali ke level Rp 110-120 ribu per kilogram tiga hari kemudian pada Kamis pekan lalu.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Pangan Strategis Juan Permata Adoe melihat ada salah komunikasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian. Menurut dia, ide awal di balik kebijakan itu sebenarnya adalah Menteri Pertanian meminta kepada Menteri Keuangan agar menghapus bea masuk impor sapi indukan. "Entah di mana salahnya, kok aturan yang diterbitkan justru pengenaan PPN 10 persen untuk semua ternak potong, impor dan lokal," kata Juan. "Tentu saja dunia usaha terkejut."

Kadin menyatakan peraturan tersebut juga merugikan pedagang, misalnya penjual bakso. Pengusaha produk turunan daging bisa terkena dua kali dampak pemungutan pajak. Pertama dari pembebanan PPN sapi, kedua dari PPN barang dagangannya. "Pajaknya jadi dobel," kata Juan.

Menurut Darmin Nasution, pemerintah khawatir PPN ternak punya dampak berlebihan terhadap harga kebutuhan pangan. Sebab, pengusaha pasti akan membebankan pajak kepada konsumen. Ia menegaskan daging sapi masuk kategori bahan pangan strategis, yakni barang yang bebas pajak.

Sebelum Peraturan Menteri Keuangan itu muncul, pemerintah telah menetapkan semua hewan ternak bebas PPN karena termasuk barang strategis. Ketentuan itu ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Hanya, peraturan pemerintah tersebut menyatakan kriteria khusus hewan ternak yang bebas PPN akan diatur lebih lanjut lewat peraturan Menteri Keuangan.

Celah untuk mengatur kriteria inilah yang "digoyang" oleh Kementerian Keuangan. Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara, Astera Primanto Bhakti, "kriteria khusus bagi hewan ternak" di PP Nomor 81 itu memang memberi kewenangan besar kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan yang akan menentukan ternak seperti apa yang bisa dikategorikan strategis.

Pengaturan melalui kebijakan setingkat peraturan menteri, menurut Astera, bisa lebih fleksibel. "Kalau ada dinamika di lapangan yang memerlukan perubahan, bisa lebih mudah dibanding jika harus mengubah peraturan pemerintah," katanya Kamis dua pekan lalu.

Itu dibuktikan dengan dibatalkannya PMK Nomor 267 tersebut segera setelah dihujani kritik. "Ternak kita kembalikan seperti rezim sebelumnya," kata Astera setelah mengikuti rapat koordinasi di kantor Darmin. Astera membantah jika lembaganya disebut melakukan trial and error dalam penyusunan peraturan.

Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, menilai pemerintah "mencari peluang" karena berkepentingan mengejar target penerimaan. Dengan pungutan PPN ini, Dirjen Pajak bisa mendapatkan tambahan sedikitnya Rp 1,2-1,5 triliun. "Angka itu diperoleh dari asumsi impor 600 ribu ekor setahun," kata Teguh, Selasa pekan lalu. Angka itu belum menghitung potensi sapi lokal.

Teguh mengatakan pemerintah pernah memungut PPN ternak. Tapi, atas tekanan pelaku usaha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya membebaskan PPN atas barang impor bersifat strategis-termasuk bibit ternak-dengan menerbitkan PP Nomor 7 Tahun 2007. "Saat itu kami minta PPN dinolkan," katanya. Penetapan barang strategis itu selanjutnya dikuatkan dalam revisi Undang-Undang PPN.

Kementerian Keuangan mengakui setiap pungutan pasti akan meningkatkan penerimaan. Tapi, kata Astera, semangat terbitnya PMK Nomor 267 ini bukan berorientasi pada penerimaan. "Kami mendukung semangat sektor pertanian mengembangkan peternak lokal," ujarnya. Menurut dia, peraturan tersebut disusun setelah mendengar masukan dari kementerian teknis.

Namun Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyangkal telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan soal ini. "Tidak usah saling lempar," ujarnya.

Agus Supriyanto, Ahmad Fikri (Bandung)


Demi Stabilitas Harga

PEMERINTAH akhirnya membuka pintu impor sapi selain dari Australia dan Selandia Baru. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi IX, yang diluncurkan Rabu pekan lalu, pemerintah akan mengatur ulang zona impor agar terjadi persaingan dan harga lebih murah.

Salah satu negara asal yang sudah antre adalah India. Negara itu berlimpah lembu, tapi masih terbelit masalah penyakit gigi dan kuku. Tapi, kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, India perlu masuk peta pemasok. "Demi stabilitas harga dan karena kebutuhan daging sapi yang meningkat dari tahun ke tahun."

Kebutuhan daging nasional:

  • 2012544.896 ton
  • 2013559.550 ton
  • 2014594.360 ton
  • 2015632.880 ton
  • 2016674.000 ton (asumsi)

    Produksi nasional:

  • 2011410.698 ton
  • 2012425.495 ton
  • 2013425.778 ton
  • 2014435.086 ton
  • 2015416.090 ton
  • 2016439.530 ton (asumsi)

    Perbandingan konsumsi daging per kapita (2015):

  • Indonesia2,56 kilogram per kapita per tahun
  • Filipina7 kilogram per kapita per tahun
  • Malaysia15 kilogram per kapita per tahun
  • Singapura15 kilogram per kapita per tahun
  • Brasil40 kilogram per kapita per tahun
  • Jerman45 kilogram per kapita per tahun

    Harga Daging Sapi (Rp/Kg) : Per 24-25 Januari 2016

  • Jakarta: 110.000 naik (13,2%) 124.545
  • Denpasar: 80.000 dan 80.000 (tetap)
  • Mataram: 112.500 naik (6,7%) 120.000
  • Kupang: 90.000 dan 90.000 (tetap)
  • Makassar: 95.000 dan 95.000 (tetap)

    Populasi Sapi Potong (Nasional)

  • 2011 : 14.824.373 ekor
  • 2012 : 15.980.696 ekor
  • 2013 : 16.606.803 ekor
  • 2014 : 14.726.880 ekor
  • 2015 : 15.494.290 ekor (angka sementara)

    Populasi Khusus di Nusa Tenggara Timur

  • 2011: 778.633 ekor
  • 2012: 814.450 ekor
  • 2013: 817.708 ekor
  • 2014: 865.731 ekor
  • 2015: 902.326 ekor

    Impor Sapi (Ekor)

    2011

  • Sapi bakalan: 184.955

    2012

  • Sapi bakalan: 283.000

    2013

  • Sapi hidup: 409.137
  • Sapi bakalan: 262.254

    2014

  • Sapi hidup: 697.550

    2015

  • Sapi bakalan:
  • KW I: 97.618
  • KW II: 201.643
  • KW III: 50.000 (kuota)

    2016 - (Target)

  • Sapi bakalan: 600.000
  • KW I: 198.000

    Berdasarkan Data 2013

  • Asal daging impor: Australia, Amerika Serikat
  • Jumlah importir terdaftar: 31 importir produk hewan dan 8 importir hewan
  • Asal daging lokal: Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain
  • Jumlah pemasok: 109 perusahaan budi daya yang terdaftar

    Kebijakan Khusus Jokowi Kapal Angkut Sapi

  • Nama kapal: KM Camara Nusantara 1
  • Diresmikan: 11 Desember 2015 di hadapan Presiden Joko Widodo
  • Investasi: Rp 58,6 miliar
  • Kapasitas angkut: 500 ekor sapi
  • Panjang kapal: 69,78 meter (keseluruhan)
  • Kecepatan: 13 knot
  • Ruang: 4 lantai. Lantai 1-3 untuk kandang, lantai 4 buat kru dan penumpang maksimal 32 orang.
  • Rute: Nusa Tenggara Timur ke DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten
  • Biaya operasional: Rp 930 juta sekali pergi-pulang

    Target: Memangkas ongkos distribusi sapi dari NTT ke DKI Jakarta sebesar 85 persen dari Rp 1,8 juta per ekor menjadi Rp 320 ribu per ekor

    Perjalanan:

  • 11 Desember 2015 dari NTT ke Pelabuhan Tanjung Priok: 353 ekor sapi
  • 18 Desember 2015 dari NTT ke Pelabuhan Cirebon: 0 ekor sapi

    Berikutnya:

  • 2 Februari 2016 dari NTT ke Pelabuhan Tanjung Priok: target 400 ekor sapi
  • 16 Februari 2016 --
  • 1 Maret 2016 --

    Penulis: Gustidha Budiartie data diolah dari: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus