KETUA Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung terus berkejaran dengan waktu. Maklum, jika tak ada aral melintang, pada Februari mendatang lembaganya bakal "tutup klinik". Sementara itu, hingga kini, masih tersisa soal 447 debitor dengan total utang Rp 25 triliun. Dan salah satu hal yang paling memusingkan adalah melego aset-aset bobrok yang masih terpendam di dalamnya.
Texmaco adalah salah satunya. Setidaknya telah dua kali BPPN berupaya melego aset ini, lewat Program Penjualan Aset Strategis (PPAS) I dan II. Toh, usaha itu buntu terus karena tak satu pun investor yang datang melirik.
Sampai tiba-tiba, di tengah situasi mati angin begitu, muncul sebuah "perusahaan antah-berantah" bernama PT Dian Cerah Sentosa (DCS). Tak seperti investor lain, yang memilih tak ribut-ribut saat mengajukan penawaran, Presiden Direktur DCS Ali Hanapiah Madjid malah menggelar konferensi pers di Hotel Hyatt, Jakarta, Jumat dua pekan lalu, dan mengumumkan niatnya memborong 95 persen saham Texmaco.
Tak kepalang tanggung, Sahlan Widjaja, juru bicara DCS, bahkan mengatakan perusahaannya telah menyiapkan dana segar US$ 1,7 miliar (Rp 14 triliun lebih) untuk keperluan itu. Kata dia, selain untuk mengambil oper utang, duit itu akan dipakai sebagai modal kerja. Menurut Sahlan, perusahaannya tertarik membeli Texmaco karena aset perusahaan itu terhitung strategis.
Tawaran yang luar biasa ini meng- gegerkan para petinggi BPPN. Ada yang menanggapinya dengan positif, tapi yang lainnya menganggapnya sekadar "ketoprak humor".
Syafruddin sendiri mengaku tak berkeberatan jika DCS benar-benar berniat membeli seluruh aset Texmaco. "Asal harganya cocok, mengapa tidak?" katanya.
Tapi seorang pejabat BPPN di Divisi Aset Manajemen Kredit meragukan keseriusan DCS. Ia berkata, "Siapa pengusaha Indonesia yang punya duit sebanyak itu?" Karena itu, ia menduga rilis DCS cuma sekadar manuver dari pemilik lama Texmaco untuk mendongkrak nilai jual Texmaco.
Petinggi BPPN yang lain pun cuma tertawa geli ketika ditanyai ihwal sesumbar DCS itu. "Kalau aset Texmaco dihargai 6 sen saja, sudah bagus," katanya. Tawaran DCS, kalau bukan abab kosong, memang "edan". Jika dipotong untuk keperluan modal kerja senilai US$ 500 juta, porsi anggaran DCS untuk memborong aset kredit Texmaco adalah sekitar US$ 1,2 miliar (Rp 10,2 triliun). Jadi, jika dihitung nilai aset kredit yang akan mereka ambil alih, sekitar Rp 27,5 triliun (95 persen dari total aset kredit Texmaco senilai Rp 29,04 triliun), harga yang disorongkan DCS itu setara dengan 37 sen—sebuah tawaran yang sangat wow.
Toh, semua curiga di atas ditepis pihak DCS. Kepada Yandi M.R. dari Tempo News Room, Sahlan berkata, "Dijamin Texmaco tak akan dijual ke perusahaan lain." Ia juga keras membantah bahwa pemilik lama Texmaco berada di balik punggungnya. Bakti, juru bicara Texmaco, juga mengaku tak tahu-menahu ihwal niat DCS membeli Texmaco. "Seingat saya, belum ada penawaran DCS kepada Texmaco," katanya.
Hanya, entah apa yang disembunyikan, Sahlan tak mau mengungkap komposisi pemegang saham DCS. Ia cuma bilang perusahaannya milik orang Indonesia. "Pengusaha Palembang," katanya disambut gelak tawa para pengurus lain. Sahlan juga berdalih nama DCS tak pernah terdengar di jagat bisnis negeri ini karena bisnis investasinya terkembang di luar negeri. Di Amerika atau di Eropa? Bukan, tapi di berbagai negeri liliput sebangsa Mauritius, Maldives, Vanuatu, dan Marshall Island.
Keberadaan DCS memang tak jelas. Sejumlah analis, termasuk pejabat BPPN yang lama menggeluti aset Texmaco, cuma garuk-garuk kepala mendengar nama perusahaan ini. Akta pendiriannya juga tak tercatat di kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Satu-satunya petunjuk cuma dari situs www.visit-lampung.co.id. Di direktori perusahaan yang beroperasi di Lampung ini, tercatat nama PT Dian Cerah Sentosa sebagai perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan bahan kimia, yang hingga tahun ini belum ada realisasi investasinya.
Karena itulah ekonom Arif Arryman mengingatkan, DCS mesti diwaspadai pemerintah. Penyebabnya, negara seperti Mauritius dan Marshall Island, yang diklaim DCS menjadi basis operasi mereka, dikenal luas sebagai surga pencucian uang. Kata Arif, "Sudah biasa, untuk rekayasa finansial begini, yang dipakai memang paper company."
Ketua BPPN Syafruddin sendiri telah mewanti-wanti, "Kalau mau beli Texmaco, boleh. Yang penting bukan duit hasil money laundering."
Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini