Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih
menganggap pasal hak cuti melahirkan hingga enam bulan dalam Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) berpeluang menyingkirkan tenaga kerja perempuan yang sudah menikah. Perusahaan menurut Jumisah, akan lebih memilih mempekerjakan perempuan lajang saja. “Justru itu adalah upaya-upaya untuk menyingkirkan hubungan (kerja) secara sistematis,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumisih menyebut saat ini ada jutaan perempuan yang bekerja di sektor informal. “Mereka yang sistem hubungan kerjanya kontrak, borongan, harian lepas. Gitu, ya. Mereka selama ini belum terlindungi secara formal,” ucap Jumisih saat dihubungi Tempo, Rabu 5 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jumisih pekerja di sektor informal didominasi perempuan. Sebelum UU KIA ini terbit hingga saat ini, pekerja informal sama sekali tak punya perlindungan hukum. “Tapi faktanya pekerja informal enggak ada perlindungan hukumnya, itu bertahun-tahun seperti itu, itu enggak diselesaikan pemerintah. Dan sekarang membuat aturan baru,” kata Jumisah.
Bahkan begitu Undang Undang Cipta Kerja disahkan, menurutnya, kepastian hubungan kerja makin tak pasti. Boro-boro bicara soal kesejahteraan. Jumisah menyebut bentuk kesejahteraan pun semestinya dilihat secara komprehensif. “Bisa dilihat dari sisi upah, dari sisi keberlanjutan hubungan kerja, jam kerja, dari sisi jaminan sosial, dan seterusnya.” ungkap Jumisih.
Ketidakpastian hubungan kerja yang ada saat ini menurutnya berpengaruh terhadap buruh perempuan. “Kalau kondisi saat ini di lapangan, buruh perempuan mengambil cuti melahirkan itu kondisinya aja sudah susah, gitu,” terangnya.
Jumisih kemudian memberikan contoh praktik yang ada di lapangan, saat buruh perempuan mengajukan cuti melahirkan malah disodori surat pengunduran diri oleh perusahaan. Perempuan pekerja itu nantinya bisa kembali melamar pekerjaan dan masuk lagi sebagai pekerja baru dengan masa kerja baru. "Nah itu kan artinya pekerja perempuan kehilangan masa kerjanya. Itu juga masalah, ya,” tutur Jumisih.
MOCHAMMAD FIRLY FAJRIAN