INDUSTRI tekstil tampaknya sedang bergairah dan ingin berganti baju. Kebetulan, ekspor tekstil sedang melaju terdorong angin devaluasi September 1986, sehingga ada pabrik yang ingin melakukan restrukturisasi dengan membeli mesin baru, tapi ada pula yang sekadar ingin mengimpor mesin bekas. Pemerintah rupanya tak keberatan. Restrukturisasi, atau modernisasi, jelas menambah kapasitas produksi sekaligus menaikkan kualitas. Kendati daftar skala prioritas (DSP) tak memberi peluang investasi tekstil di Jawa, Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita ternyata cukup luwes. Buktinya, BKPM menyetujui restrukturisasi untuk 16 PMA dan 16 PMDN, yang melibat investasi US$ 91,3 juta. Masuknya modal sebesar itu, tentu saja, cukup menggembirakan. Kendati Gubernur BI Arifin Siregar setuju dengan usaha restrukturisasi itu, ia menyatakan BI belum bersedia memberikan kredit investasi murah, apalagi dengan bunga 5% seperti yang diusulkan seorang pengusaha. Usul Handoko, Direktur Dan Liris dan Batik Keris, agar BI memberikan kredit bersubsidi kepada industri tekstil berdasarkan prestasi, juga ditangkis Arifin dengan halus. Industri lain, seperti pariwisata, menurut Gubernur BI, bisa ikut-ikutan meminta fasilitas kredit murah seperti itu. Tingginya suku bunga kredit bank dewasa ini menyulitkan industri tekstil untuk membeli mesin-mesin baru. Dalam diskusi yang disponsori Sarinah Jaya dan harian Suara Karya, pekan lalu, dengan tidak segan-segan para pengusaha tekstil itu meminta kelonggaran untuk mengimpor mesin-mesin bekas saja. Alasannya, selain murah -- konon, dewasa ini banyak tawaran mesin tekstil bekas dari Taiwan dengan harga seperti besi kiloan -- juga karena mereka ingin cepat. Maklum, sesudah devaluasi, eskpor tekstil kini sedang berkibar kencang. Kalau mereka membeli mesin baru, harus menunggu sampai dua tahun hingga, mungkin angin devaluasi tidak terasa lagi. Usul ini tampaknya tidak bisa diterima pemerintah dengan tangan terbuka. Menteri Perindustrian Hartarto tidak berkeberatan pabrik-pabrik tekstil mengimpor mesin bekas, tetapi tidak semua akan diizinkan. Kemungkinan yang bakal diizinkan, seperti ditegaskan Direktur Tekstil Departemen Perindustrian, A.R. Soerianata Djoemena, kepada TEMPO, hanya pabrik tekstil yang terlalu tua, sehingga keuangannya tak memungkinkan membeli mesin baru. "Pemohon akan disaring suatu tim di Departemen Perindustrian. Bila lolos, belum tentu juga lolos di tempat lain," kata Djoemena. Ketua BKPM pun kurang setuju restrukturisasi dilakukan dengan memakai mesin bekas. "Saya khawatir, nanti malah counter-productive," ujar Ginanjar. Ia tak yakin bahwa mesin bekas yang diimpor itu, kendati sudah direkondisikan, bisa meringankan pengusaha. Jaminannya sulit, sehingga bank pun mungkin akan enggan memberikan kredit. "Saya enggan kalau pemerintah harus campur tangan, misalnya, karena mesin yang sudah direkondisikan itu tak bisa diklaim," katanya dengan tegas. Seperti diketahui, sebagian besar industri tekstil Indonesia, khususnya pabrik-pabrik pemintalan, pertenunan, dan perajutan, masih beroperasi dengan mesin-mesin yang sudah berumur lebih dari 15 tahun industri tekstil, yang dikembangkan sampai dasawarsa lalu, umumnya, bertujuan menghasilkan sandang kebutuhan lokal. Baru setelah ternyata produksi tekstil berlimpah, ekspor dilirik. Pasar luar negeri terbukti lebih sulit, sehingga perlu bantuan pemerintah dalam berbagai bentuk fasilitas ekspor sampai dengan devaluasi. Kelemahan tekstil produk Indonesia terutama karena masih mesin-mesin tua itu. Baru sejak awal dasawarsa ini industri tekstil merasa perlu baju baru yang disebut restrukturisasi itu. "Yang penting bagi pengusaha sebenarnya hanyalah mendapatkan nilai tambah. Apakah untuk itu pemerintah harus terus melakukan devaluasi?" kata Ian Daskian, Ketua Kantor Pemasaran Bersama GKBI dan Dirut PT Primatexco. TERNYATA, diam-diam, pemerintah tengah melakukan penelitian untuk menyusun kebijaksanaan penopang restrukturisasi yang sangat didambakan para pengusaha tekstil. Menurut Hartarto, suatu riset tengah dilakukan satu tim Departemen Perindustrian bekerja sama dengan Bank Dunia. Diharapkan selesai akhir April mendatang, sehingga bisa dibahas bersama para pengusaha. Restrukturisasi yang diperlukan sekarang ini ternyata bukan sekadar penggantian mesin-mesin. Menurut beberapa sumber, restrukturisasi yang diperlukan itu meliputi masalah perangkat keras (mesin) sampai dengan perangkat lunak (manajemen, pendidikan dan desain). Dalam hal permesinan, bukan hanya menyangkut penggantian mesin-mesin tua, tetapi juga meliputi pengembangan industri tekstil baru. Sejauh ini, produksi tekstil Indonesia yang mantap baru sampai ke kain belacu. Produksi pakaian jadi untuk ekspor juga sudah bagus, tetapi bahan bakunya masih banyak yang harus diimpor. Ada garis melompong (missing link) di tengah, yakni di bagian pemrosesan, misalnya industri pencelupan. Jelas, restrukturisasi itu membutuhkan investasi besar dan devisa yang banyak. Sejauh ini, industri tekstil telah menyerap investasi sekitar Rp 6 triliun. Bila restrukturisasi itu akan dilakukan, konon, dibutuhkan biaya tak kurang dari Rp 6 triliun lagi, atau hampir sama dengan perkiraan penerimaan pemerintah dari pajak migas di tahun anggaran 1987-88. Bagaimana segi pembiayaannya, itu akan dibahas Mei mendatang. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini