Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Giliran Rakyat Menyubsidi BBM

KOMISI Energi Dewan Perwakilan Rakyat memberondong Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan sederet pertanyaan tajam. Dalam rapat kerja di Jakarta, Senin dua pekan lalu, itu, sejumlah anggota Dewan menyoal harga bahan bakar minyak.

16 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Energi Dewan Perwakilan Rakyat memberondong Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan sederet pertanyaan tajam. Dalam rapat kerja di Jakarta, Senin dua pekan lalu, itu, sejumlah anggota Dewan menyoal harga bahan bakar minyak.

Mereka menilai harga bensin masih terlalu mahal meski pemerintah telah menurunkannya dua kali pada awal 2015. "Ada selisih yang besar antara harga perolehan dan penjualan Premium. Pemerintah harus menjelaskan buat apa saja dananya," kata Ketua Komisi Energi Kardaya Warnika dalam rapat siang itu.

Anggota Komisi dari Fraksi Gerindra, Ramson Siagian, malah menuding pemerintah mengambil untung terlalu banyak dari harga jual eceran bensin saat ini. Berdasarkan hitungannya, pemerintah mengantongi keuntungan Rp 1.400 per liter dari penjualan Premium.

Pertengahan Januari lalu, pemerintah menurunkan harga bensin untuk kedua kali. Premium dijual Rp 6.600 per liter. Khusus wilayah Jawa, Madura, dan Bali sedikit lebih mahal, yakni Rp 6.700. Sedangkan solar dibanderol Rp 6.400. Tak seperti solar, Premium kini tak lagi menikmati subsidi.

Menurut seorang pejabat yang terlibat dalam perumusan formula harga BBM, rapat penentuan harga eceran baru berlangsung alot. Pembahasan dilakukan sejak akhir 2014, dari perombakan formula harga sampai penentuan margin. "Negosiasi lama, Pertamina tidak mau rugi," ujar pejabat itu bercerita.

Sebaliknya, Tim Reformasi Tata Kelola Migas berkeberatan terhadap harga baru yang berlaku saat ini. Ketua Tim Reformasi Faisal Basri terang-terangan meminta dilakukan audit terhadap harga bahan bakar minyak. Menurut dia, harga Premium-yang beroktan 88-lebih mahal ketimbang bensin di Amerika Serikat, yang beroktan 92.

Di Negeri Abang Sam, bensin beroktan 92 dijual Rp 5.284 per liter. "Di sini hitungan untuk bensin RON 88 tanpa pajak dan lainnya mencapai Rp 5.826 per liter," ucapnya kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Menurut Faisal, biang keladinya adalah impor bensin RON 88. Bahan bakar jenis ini sebenarnya sudah tidak dijajakan lagi di pasar. Harganya pun tidak tertera di bursa minyak Singapura atau Mean of Platts Singapore (MOPS). Hal Inilah yang dinilai Faisal tidak transparan. Makanya Tim sempat merekomendasikan Pertamina untuk menyetop impor bensin beroktan rendah itu.

Tidak transparannya harga impor BBM RON 88 dibenarkan seorang pejabat di sektor migas yang turut hadir dalam pembahasan harga BBM. Ia menyebutkan formula harga Premium saat masih disubsidi pemerintah adalah 98,42 persen dikali harga MOPS bensin RON 92 plus alpha. Alpha mencakup ongkos distribusi, termasuk margin Pertamina dan stasiun pengisian bahan bakar umum. Formula ini menjadi acuan penentuan besaran subsidi BBM.

Ia menjelaskan, formula itu cuma di atas kertas. Pada prakteknya, Pertamina bisa mendapat potongan harga US$ 25-50 sen per barel, tergantung fluktuasi harga minyak. "Persoalannya, kita tidak pernah tahu berapa harga riil yang dibeli Pertamina."

****

KINI formula baru sama dengan MOPS. Tanpa faktor pengali, tidak ada alpha yang membebani pemerintah. Harga jual Premium adalah harga MOPS 92 plus biaya seperti pajak, margin Pertamina, dan margin SPBU. Semua dibebankan kepada masyarakat. "Sudah harga beli tidak transparan, sekarang ditambah, semua ditanggung rakyat. Kalau dulu itu ditanggung negara," pejabat itu menambahkan.

Tapi keberatan tersebut tidak digubris. Pertamina, kata pejabat itu, malah meminta pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengambil untung di bisnis penjualan BBM saat ini. Mereka beralasan sudah enam tahun terakhir perseroan merugi triliunan rupiah akibat menjual bensin bersubsidi.

Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang tidak menampik. Namun, ia menjelaskan, rumusan baru harga BBM itu bukan hasil hitungan Pertamina sendiri. "Ada peran Kementerian Energi dan Kementerian Keuangan." Dia menambahkan, penentuan harga BBM memang merupakan area pemerintah. "Lalu kita cari kompromi dengan penjelasan dan data yang bisa diterima semua pihak."

Menurut Bambang, sejak mendapat penugasan dari pemerintah untuk menyalurkan BBM bersubsidi, Pertamina baru dua kali untung. Keuntungan diperoleh pada 2007 dan 2008 masing-masing Rp 5,94 triliun dan Rp 6,37 triliun. Tahun-tahun selanjutnya, alpha yang diberikan kepada Pertamina terus ditekan oleh DPR. Perusahaan minyak pelat merah itu pun mengklaim merugi.

Karena itu, penurunan harga minyak dunia dan penghapusan subsidi Premium dimanfaatkan betul oleh perusahaan pelat merah tersebut untuk memperbaiki neraca yang timpang. "Sebagai perusahaan, kami memang harus untung. Apalagi kami ditargetkan dividen oleh pemerintah," kata Bambang. Pertamina memutuskan mengambil margin lima persen.

Keuntungan bertambah dua kali lipat dalam bisnis Pertamax. Harga bensin RON 92 yang saat ini Rp 8.000 per liter itu bisa menghasilkan laba hingga 10 persen. Sebenarnya Pertamina bisa saja menurunkan harga Pertamax. Tapi tampaknya perseroan masih ingin mengantongi untung lebih banyak lagi dari bisnis hilir. Alasannya, menurut Bambang, Pertamina masih merugi pada bisnis penjualan solar. "Hitungannya kami masih rugi Rp 300 per liter."

Menteri Energi Sudirman meyakinkan bahwa pemerintah bisa mengevaluasi harga bensin sebulan sekali, sesuai dengan Peraturan Menteri Energi Nomor 39 Tahun 2014. Persoalannya, ia tidak ingin harga bensin terlalu fluktuatif karena bisa berdampak pada harga bahan kebutuhan pokok di pasar. "Kami dalam posisi cenderung tidak mengubah-ubah harga dulu," katanya.

Kalaupun ada margin tambahan yang diperoleh Pertamina dari harga bensin saat ini, Sudirman berharap itu digunakan untuk investasi pembangunan cadangan penyangga atau depo penyimpanan. Namun semestinya harga BBM nirsubsidi itu juga tak terlalu membebani rakyat.

Gustidha Budiartie, Ali Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus