Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace membuat petisi ihwal penolakan ekspor pasir laut. Adapun keran ekspor komoditas ini kembali dibuka oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pak Jokowi, segera cabut izin ekspor pasir laut! Jangan tertipu Akal-akalan oligarki untuk mengeruk cuan tanpa perhitungan," dikutip Tempo dari laman petisi Greenpeace pada Kamis, 1 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda bisa turut menandatangani petisi tersebut melalui tautan https://act.seasia.greenpeace.org/stop-ekspor-pasir. Petisi ini berjudul "Akal-akalan Oligarki dengan Izinkan Ekspor Pasir Laut Lagi".
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan akan menyebarkan petisi penolakan tambang pasir ini. Ihwal ajakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk ikut bergabung bersama tim kajian ekspor pasir laut, Greenpeace pun telah menolaknya.
"Kami fokus menolak dan mendesak pencabutan PP tersebut," ujar Afdillah kepada Tempo, Kamis, 30 Mei 2023.
Setelah 20 tahun dilarang, kini Jokowi meneken regulasi izin ekspor pasir laut pada 15 Mei 2023. Beleid tersebut menganulir peraturan sebelumnya, yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor SKB.07/MEN/2/2002, dan Nomor 01/MENLH/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Jika merujuk ke klaim pemerintah, tuturnya, PP Nomor 26 Tahun 2023 diterbitkan untuk pemulihan lingkungan dan keberlanjutan. Padahal, pada Pasal 9 dan Pasal 15 dalam beleid tersebut mengatur tentang ekspor pasir laut.
"Mengeruk dasar laut untuk diambil pasirnya saja sudah merusak, apalagi kalau dilakukannya demi cuan!" kata Afdillah.
Selanjutnya: KKP menilai tak ada potensi kerusakan ekosistem laut
Ditambah lagi, menurutnya, aktivitas ini akan membuat pulau-pulau kecil di sekitar wilayah yang ditambang makin cepat tenggelam karena perubahan kontur dasar laut. Dia menjelaskan habitat bawah laut yang terganggu juga akan membuat ikan tidak bisa bertahan hidup. Sehingga akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Afdillah menilai aktivitas ekstraktif telah menjadi salah satu jalan pintas favorit pemerintah Indonesia tanpa mempertimbangkan secara matang aspek ekologis dan hak asasi manusia. "Lagi dan lagi, pemerintah membuktikan bahwa mereka tidak mampu mengelola sumber daya secara cerdas. Karpet merah kembali digelar untuk oligarki," ujarnya.
Sementara itu, KKP menilai tak ada potensi kerusakan ekosistem laut dalam kebijakan ekspor pasir laut ini. Dia berdalih, pasir laut yang bisa dikeruk untuk reklamasi dalam negeri maupun ekspor hanya berupa pasir laut hasil sedimentasi.
Ketika ditanya ihwal kriteria pasir laut hasil sedimentasi agar tidak menjadi celah bagi pelaku usaha untuk melanggar, Trenggono menyebut akan ada tim kajian untuk mengaturnya. Hal serupa disebutkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Padahal sejak 20 tahun lalu Indonesia sudah melarang ekspor pasir laut melalui lewat Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Slasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir.
Namun menurut Trenggono, kerusakan itu karena tidak pengerukan pasir laut dilakukan dengan alat-alat yang tidak ramah lingkungan. Karena itu, tuturnya, pemerintah kini mengaturnya dan menetapkan agar pasir laut yang boleh dikeruk hanya yang berasal dari sedimentasi.
Menurut perkiraannya, terdapat 23 miliar kubik sedimentasi yang ada setiap tahunnya di Indonesia. Ditambah, ia menilai kebutuhan untuk reklamasi di dalam negeri sangat besar. "Jika pasir hasil sedimentasi di laut tidak dikeruk, pulau-pulau di Tanah Air justru bisa habis diambil sembarangan untuk memenuhi reklamasi itu," kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.