Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIDANG sengketa impor gula kristal putih hanya berlangsung seperempat jam di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Pada Selasa dua pekan lalu itu, ketua majelis hakim Haryati menghabiskan waktu hanya untuk membacakan eksepsi tim hukum Kementerian Perdagangan sebagai tergugat.
Gugatan datang dari sepuluh petani tebu asal Kudus dan Pati, Jawa Tengah. Mereka memperkarakan kebijakan impor 328 ribu ton gula kristal. Penggugat yang berasal dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) itu menilai impor menyebabkan harga gula anjlok. Lelang gula petani ditawar pedagang di kisaran Rp 8.250-8.551 per kilogram di beberapa pabrik gula. Angka itu jauh di bawah patokan ongkos produksi ketetapan pemerintah sebesar Rp 8.791.
Tentu pemerintah tak menyerah begitu saja menghadapi gugatan petani. Simon Tumanggor, kuasa hukum Kementerian Perdagangan, dalam eksepsinya mengatakan pengadilan tidak berwenang memeriksa kebijakan impor. Alasannya, izin impor diterbitkan karena keadaan mendesak dan untuk kepentingan publik. "Gugatan kabur, tidak jelas, dan sangat sumir," kata Haryati membacakan isi salinan eksepsi.
Haryati lalu menutup persidangan yang dihadiri delapan orang itu. Dia juga meminta tergugat menghadirkan pelaksana impor, Perum Bulog, pada sidang lanjutan 12 Agustus mendatang.
Muhammad Nur Khabsyin, salah satu penggugat, mengatakan gugatan itu merupakan upaya perlawanan kepada pemerintah yang kebijakannya merugikan petani kecil. Impor gula pasir pada April lalu itu merupakan prahara yang bertubi-tubi menerpa petani. Badai awal adalah ketika gula lokal kalah diserang rembesan gula rafinasi industri, yang lebih murah Rp 100-200 per kilogram. "Membuat harga terus merosot," ujarnya.
Menurut Khabsyin, tanda-tanda terjadi rembesan dapat dilacak dari stok gula di Dewan Gula Indonesia. Dalam keadaan normal, stok akhir tahun akan berkurang sebesar angka konsumsi gula, yaitu 220 ribu ton per bulan. Merujuk pada data Dewan Gula, stok gula mencapai 1,24 juta ton pada akhir Desember 2013. Dengan konsumsi 220 ribu ton per bulan, seharusnya stok gula kristal habis pada bulan keenam atau Mei lalu.
Anehnya, sejak awal tahun, serapan gula kristal justru melamban. Khabsyin mengatakan, berdasarkan catatan Dewan Gula, serapannya hanya 125-160 ribu ton setiap bulan. "Bahkan Mei hanya 31 ribu ton. Ini aneh," katanya.
Apakah konsumsi gula masyarakat turun? Tentu tidak. Rendahnya serapan akibat masyarakat beralih pada gula lain yang tidak terdeteksi sebagai stok Dewan Gula. Gula siluman itu adalah gula rafinasi untuk kalangan industri yang rembes ke pasar umum.
Gula rafinasi sebagian besar didatangkan lewat impor. Impor gula diperlukan karena produksi nasional oleh 62 pabrik gula hanya 2,5 juta ton padahal konsumsi nasional mencapai 5 juta ton. Selisih 2,5 juta ton didapatkan lewat impor dari Thailand. Mayoritas gula impor digunakan untuk kebutuhan industri.
Mantan Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia Suryo Alam mengatakan istilah gula rafinasi hanya ada di Indonesia. Gula rafinasi dan gula kristal putih sama saja. Bedanya, gula kristal putih dijual di pasar umum ditujukan untuk konsumsi masyarakat. Sedangkan gula rafinasi hanya boleh dijual kepada industri makanan, minuman, dan farmasi serta dilarang dijual ke pasar umum. Masalahnya, tidak ada pengawasan ketat untuk mencegah rembesan gula rafinasi.
Rembesan gula rafinasi itu terang-benderang ibarat penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Menurut Direktur Utama Pabrik Gula Gendhis Multi Manis, Lie Kamajaya, rembesan bisa dihitung dari selisih impor gula rafinasi dengan kebutuhan industri. Misalnya realisasi impor gula rafinasi 3,5 juta ton pada 2013 padahal kebutuhan gula industri hanya berkisar 2,5 juta ton. Artinya, "Hampir 1 juta ton yang rembes," ucapnya.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan menemukan gula rafinasi di pasar tradisional bukan perkara sulit. "Saya menyaksikan sendiri ketika inspeksi mendadak di Pasar Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat," katanya Rabu dua pekan lalu. Suryo menyebutkan gula rafinasi lebih mempesona karena harganya lebih murah, lebih kering, dan warnanya cerah ketimbang gula lokal, yang basah dan kecokelatan.
Tahun ini pemerintah menerbitkan izin impor gula rafinasi sebanyak 3,2 juta ton. Sebanyak 2,1 juta ton sudah terealisasi pada semester pertama. Kamajaya mencurigai anjloknya harga gula belakangan akibat rembesan gula rafinasi yang berasal dari volume 2,1 juta ton tersebut.
BELUM reda mengatasi gempuran gula rafinasi, petani tebu dan industri gula dihebohkan oleh langkah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerbitkan izin impor gula kristal putih kepada Bulog pada April lalu. Alasannya stok gula dinilai menyusut.
Bagi Khabsyin, kebijakan impor gula kristal merupakan prahara lanjutan bagi petani tebu. Wakil Sekretaris Jenderal APTRI itu menilai pemerintah menutup mata bahwa masyarakat lebih banyak menyerap gula ilegal ketimbang gula lokal di pasar.
Akibat menutup mata, pemerintah melalui Bulog menganggap stok gula nasional menipis sehingga perlu impor untuk cadangan. Padahal stok masih melimpah akibat tak terserap.
Yang membuat protes membesar karena izin impor terbit pada saat royalan, yaitu masa persiapan pabrik-pabrik gula di Jawa menjelang musim giling, yang jatuh pada 15 Mei. Bahkan pabrik gula di Sumatera Utara dan Lampung sudah lebih dulu memasuki musim giling pada Februari dan April.
Izin impor sebesar 328 ribu ton gula kristal putih diberikan kepada Bulog untuk jangka waktu 1 April-15 Mei. Sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 Tahun 2004, gula kristal putih dapat diimpor di luar masa satu bulan sebelum musim giling dimulai dan dua bulan setelah musim giling berakhir. "Pelanggaran aturan inilah yang kami perkarakan di PTUN," tutur Khabsyin.
Dalam dokumen izin impor, permintaan impor berasal dari Bulog. Seorang anggota asosiasi gula mengatakan Lutfi sebenarnya kurang yakin terhadap data kekurangan gula yang disodorkan Bulog dan Kementerian Koordinator Perekonomian, tapi ia tak bisa menolak desakan itu. "Ada tekanan politik."
Sebulan setelah izin impor diteken, Lutfi mulai mendapat informasi bahwa stok gula melimpah. Adapun impor tetap dijalankan kendati Bulog hanya mendatangkan 21.600 ton gula lewat Pelabuhan Belawan, Medan, dan Tanjung Priok, Jakarta, pada Mei lalu.
Khabsyin menilai realisasi kecil menunjukkan bahwa penghitungan impor gula pemerintah tidak akurat. Alasan menipisnya stok dianggap hanya akal-akalan. Jika penghitungan kekosongan stok oleh Bulog dan pemerintah akurat, realisasi impor gula yang sedikit itu tentu berdampak buruk, yaitu melambungnya harga gula. Kenyataannya tidak. Sebaliknya, harga gula justru terus anjlok. "Jadi mengimpor atas asumsi apa?" ujar petani pemilik 20 hektare lahan tebu itu.
Seorang importir gula mengatakan tak kaget dengan ketidakakuratan data pemerintah. Alasannya, impor gula lebih dilatarbelakangi kepentingan rente ketimbang mengamankan stok nasional. Impor gula kristal itu dibeli dengan harga Rp 8.000 per kilogram dari Thailand. Dengan harga Rp 8.200 di tingkat distributor di Indonesia, importir tetap meraup keuntungan.
Sebagian besar impor gula di Indonesia dikendalikan segelintir pedagang gula. Pedagang besar ini menguasai hampir 70 persen impor. Mereka dikenal dengan julukan samurai gula, yang disebut-sebut punya beking para pejabat tinggi.
Setiap impor gula dari Thailand dapat dipastikan di bawah kendali para samurai ini. Izin impor gula rafinasi, misalnya, selalu dikantongi perusahaan samurai gula. Beberapa di antara mereka bersekutu di bawah Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia.
Kekuatan para samurai ini bukan sekadar dana, melainkan juga penguasaan pasar dunia. Eksportir gula di Thailand diduga kuat terafiliasi dengan samurai gula. Jadi, siapa pun importirnya di Indonesia, ujung-ujungnya akan bertransaksi dengan salah satu dari samurai gula. Begitu juga impor oleh Bulog diduga kuat masih dalam cengkeraman pedagang besar ini.
Jejak samurai gula menapak dalam kebijakan negara yang diteken pejabat tinggi. Kejanggalan impor 328 ribu ton diduga kuat beraroma kepentingan rente samurai gula.
Alih-alih menelisik ke lapangan, para pejabat yang terkait dengan soal ini malah ramai-ramai membantah. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengakui ada desakan untuk impor gula kristal. "Karena perintah Menko Perekonomian. Saya tidak mau dipojokkan oleh permasalahan kekurangan," katanya. Belakangan, Lutfi menyadari informasi menipisnya stok gula tidak akurat. Namun ia enggan menyalahkan instansi lain. "Tidak ada yang mempengaruhi saya."
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati Kementerian Perekonomian Diah Maulida membantah jika disebut mendesakkan impor gula. "Kami tidak menentukan atau memutuskan kebijakan," ujarnya.
Kepala Bulog Sutarto Alimoeso membantah anggapan bahwa kecilnya realisasi impor akibat hitungan yang tidak akurat. Jangka waktu yang pendek membuat Bulog kesulitan membeli gula dalam volume besar. Apalagi pasar gula di Thailand ditengarai dikuasai segelintir pedagang kelas dunia. Sutarto balik menuding kelangkaan dan merembesnya gula rafinasi diduga dimainkan kalangan tertentu. "Yang punya pabrik gula rafinasi dan pedagang gula cenderung sama," katanya.
Riyanto B. Yosokumoro, Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia, juga menolak jika pabrik rafinasi dituding sebagai pelaku perembesan. Ihwal tuduhan anggota Asosiasi bagian dari samurai gula, Johan Setiawan, Wakil Ketua Asosiasi, membantah ada hubungan antara Asosiasi dan samurai gula. Johan adalah Direktur Utama Sentra Usahatama Jaya, produsen gula rafinasi besar yang disebut-sebut salah satu samurai gula. "Silakan ditanyakan kepada Ketua Umum," ucapnya.
Akbar Tri Kurniawan, Angga Sukma, Bernadette Christina, Ayu Prima Sandi, Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Stok Gula Nasional (TON) | |||||||||||
Akhir 2013 | 1.240.157Januari | 1.080.090 | Februari | 935.167 | Maret | 786.528 | April | 660.803 | Mei | 629.220 | |
Konsumsi gula nasional: 5 juta ton
Produksi pabrik lokal: 2,5 juta ton
Impor gula: 3,5 juta ton (2013)
Para Pemain Impor Gula
Nomor | Perusahaan | Pemilik1 | Jawamanis Rafinasi | Martua Sitorus | 2 | Duta Sugar International | Martua Sitorus | 3 | Sentra Usahatama Jaya | Kurnadi dan Yayat (almarhum) | 4 | Permata Dunia Sukses Utama | Edy Kusuma | 5 | Makasar Tene | Edy Kusuma | 6 | Dharmapala Usaha Sukses | Olam Group | 7 | Angel Product | Tomy Winata | 8 | Sugar Labinta | Ali Sanjaya | 9 | Adi Karya Gemilang | Sungai Budi Group | |
Sumber: Dgi, Aptri |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo