Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hujan Kritik Pendanaan Transisi Energi

Sejumlah warga sipil menganggap pendanaan transisi energi melalui JETP mengandung kontradiksi. Sosialisasi pun minim.

16 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) menganggap skema pendanaan transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) minim sosialisasi dan partisipasi publik.

  • Target bauran energi terbarukan dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44 persen pada 2030. Namun hanya ada dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang masuk daftar pensiun dini.

  • Singkatnya waktu penyerapan aspirasi publik diakui oleh Wakil Sekretariat JETP Paul Butarbutar.

JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) menganggap skema pendanaan transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) minim sosialisasi dan partisipasi publik. Materi dalam dokumen rancangan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (comprehensive investment and policy plan/CIPP) JETP juga dinilai kontradiktif.

Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan target bauran energi terbarukan dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44 persen pada 2030. Namun hanya ada dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang masuk daftar pensiun dini dalam skema ini, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, menurut Bhima, sebagian PLTU yang masuk daftar pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk skema ETM (energy transition mechanism atau mekanisme transisi energi). Karena itu, dia menilai tidak ada niat serius untuk benar-benar menutup PLTU batu bara. “JETP menjadi tidak jelas. Awalnya mau pensiun PLTU batu bara, justru tidak dilakukan dengan serius,” tuturnya dalam konferensi pers kemarin.

Pekerja memeriksa instalasi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Melalui program JETP, Indonesia mendapat komitmen bantuan US$ 20 miliar atau sekitar Rp 314 triliun untuk mempercepat transisi energi. Komitmen pendanaan ini disepakati saat Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November tahun lalu. Setelah menerima tawaran program JETP, pemerintah membentuk Sekretariat JETP yang bertugas menyusun CIPP. Tim penyusun diberi waktu enam bulan.

Sejak 1 November lalu, Sekretariat JETP membuka dokumen CIPP ke publik. Tujuannya untuk menjaring masukan dari masyarakat lewat formulir di laman resmi JETP. Namun masukan dari masyarakat diminta diserahkan sebelum 14 November.

Singkatnya waktu untuk masyarakat memberikan tanggapan terhadap dokumen tersebut dikritik masyarakat sipil. “Masyarakat hanya punya waktu sebentar untuk mempelajari draf konsultasinya,” ujar financial campaigner dari 360.org, Suriadi Darmoko.

Darmoko menilai waktu untuk masyarakat memberikan masukan terlampau singkat. Pasalnya, masyarakat hanya diberi waktu dua minggu untuk mempelajari lebih dari 300 lembar dokumen.

Pada publikasi pertama, dokumen yang bisa diunduh hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Dokumen bahasa Indonesia muncul pada 9 November, lima hari sebelum partisipasi ditutup. Menurut Darmoko, tidak semua orang Indonesia memahami bahasa Inggris dengan baik. Sementara itu, skema JETP juga tidak begitu dikenal masyarakat.

Tujuh organisasi sipil (CSO) di Indonesia membuat catatan berisi kritik dan rekomendasi atas draf rencana investasi dan kebijakan komprehensif (CIPP). Dokumen perjanjian pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) ini dibuka untuk publik pada 1 November 2023 untuk menerima masukan dari masyarakat.



Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban juga mengkritik waktu sosialisasi yang singkat. “Padahal ini menyentuh langsung masyarakat di berbagai wilayah yang direncanakan berdiri proyek,” katanya.

Elly sempat hadir dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Sekretariat JETP pada 13-14 November saat penutupan masukan publik atas draf CIPP. "Banyak yang belum tahu, apa ini JETP dan model pendanaannya," katanya.

Menurut dia, dokumen ini perlu disosialisasi ke semua lapisan, termasuk buruh. Pasalnya, dokumen CIPP juga memuat tenaga kerja. Setelah membaca dokumen CIPP, menurut Elly, ke depan perlu dibuat peta jalan penyerapan tenaga kerja saat PLTU pensiun dini. “Karena mereka yang terancam kehilangan pekerjaan ini sudah tidak menginginkan upskilling karena banyak yang sudah tidak muda lagi. Itu juga perlu diantisipasi,” ujarnya.

Selain itu, survei yang dilakukan Celios mengungkapkan sebanyak 76 persen masyarakat tidak mengetahui adanya JETP. Survei yang dilakukan pada Juli lalu itu melibatkan 1.245 responden. “Hasil survei menunjukkan pemahaman masyarakat mengenai JETP masih sangat rendah,” tutur Bhima Yudhistira. Survei menunjukkan informasi ihwal JETP lebih dipahami oleh masyarakat di Bali dibanding daerah lain. 

Selain soal minimnya sosialisasi dan partisipasi publik, Bhima menilai skema rencana investasi untuk transisi energi tersebut kurang berkeadilan. Ia menyoroti pendanaan dari negara maju (international partners group/IPG) yang lebih besar porsi utangnya dibanding hibah. “Berkeadilan yang dimaksudkan dalam draf adalah negara maju membantu negara berkembang, dan itu ada di Paris Agreement,” katanya.

Dari total komitmen pendanaan US$ 20 miliar, hibah hanya US$ 300 juta atau sekitar 1,4 persen. Adapun sisanya merupakan pinjaman atau utang.

Menurut Bhima, utang ini dikhawatirkan menjadi masalah besar bagi PLN dan dana publik (APBN). Selain itu, perlu payung hukum untuk memperkuat skema pendanaan JETP. Salah satunya dengan diatur dalam undang-undang.

Singkatnya waktu penyerapan aspirasi publik diakui oleh Wakil Sekretariat JETP Paul Butarbutar. “Betul, waktunya terlalu singkat, tapi bukan berarti CSO tidak bisa memberikan masukan setelah tanggal 14,” katanya kepada Tempo, kemarin.

Batas tanggal 14 November, menurut Paul, adalah untuk CIPP versi yang akan diluncurkan pada 21 November mendatang. Menurut dia, jika ada masukan lagi, dapat diberikan untuk dokumen CIPP berikutnya.

Adapun soal masukan lain, Paul akan menelaahnya. “Saat ini masih proses membaca, sambil melihat mana yang bisa diakomodasi, mana yang tidak,” katanya. Ia mengatakan finalisasi naskah CIPP akan dilakukan pada minggu ini.

ILONA ESTERINA | DEFARA DANYA PRAMITHA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus