NADA putus asa terdengar dari Rauf Purnama ketika ditanyai kondisi pabrik pupuknya. Sejak PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) tidak beroperasi, Agustus tahun lalu, tak banyak yang bisa dilakukan direktur utama ini. Ia memang datang ke kantor, tapi ya... cuma begitu-begitulah. ?Untung, saya masih disibukkan sebagai Ketua Persatuan Insinyur Indonesia,? kata Rauf kepada TEMPO.
Untuk bertahan ?hidup? dan membayar gaji karyawan, AAF mengandalkan keuntungan 2002, yang mencapai US$ 22 juta. Tapi dana itu, hmmm..., diperkirakan hanya bertahan hingga akhir tahun ini. ?Pemegang saham menyatakan, kalau tak ada kepastian pasokan gas dari pemerintah Indonesia, pabrik ditutup akhir tahun ini juga,? ujar Rauf, yang memimpin sekitar 1.500 karyawan.
Pabrik AAF berhenti beroperasi bukan lantaran kehabisan modal. Pabrik yang sahamnya dimiliki pemerintah Indonesia 60 persen, pemerintah Malaysia, Thailand, dan Filipina masing-masing 13 persen, serta Singapura 1 persen ini semaput karena tiadanya pasokan bahan baku utama, ya, gas alam itu tadi. Lapangan gas Arun di Lhok Seumawe, Aceh, yang biasanya memasok gas ke AAF dan Pupuk Iskandar Muda, mengalami penurunan alamiah.
Cadangannya yang 17 triliun kaki kubik makin tipis sejak pemanfaatan perdana, 1978. Kemampuan memasok gas alam cair (LNG) 224 kargo per tahun kini tinggal 116 kargo. Dua kilangnya malah sudah menganggur. Problemnya, kemampuan itu hanya cukup untuk kontrak penjualan LNG ke Korea Selatan dan Jepang. Masalah keamanan juga membuat pengembangan lapangan gas baru macet. Praktis, tiada gas lagi tersisa untuk pabrik pupuk.
AAF tak sengsara sendiri. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), yang punya dua pabrik?PIM 2 baru selesai dibangun akhir tahun lalu dan rusak?mengalami nasib yang sama. Bebannya memang tidak seberat AAF. Sejak Maret lalu, pabrik PIM 1 dengan produksi urea 627 ribu ton masih mendapat pasokan gas 68 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Padahal kebutuhan ketiga pabrik pupuk di provinsi paling barat ini 175 mmscfd atau setara dengan 19 kargo LNG.
?Kami sangat kesulitan,? kata Direktur Utama PIM Hidayat Nyak Man, ?Pabrik PIM 2 yang baru selesai sudah rusak. Padahal ada kewajiban membayar utang ke pemerintah US$ 7,5 juta per semester.? Karena itu, ia mengultimatum, jika sampai 1 Januari tahun depan kepastian pasokan gas tidak ada bagi dua pabriknya, lebih baik pabrik?meminjam istilah pelawak Asmuni?diistirohatkan.
Memang ironis, ada dua pabrik pupuk mati di lumbung gas. Ironi inilah yang dicoba diingatkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi kepada koleganya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro serta Kepala BP Migas Rachmat Soedibyo. Lewat surat nomor 443/MPP/VI/2004, Rini minta agar perpanjangan kontrak penjualan LNG ke Jepang melalui lapangan Arun 2 ditinjau kembali.
Indonesia memang telah memperpanjang kontrak penjualan LNG ke Jepang. Kontraknya diteken Pertamina dengan pembeli Tohocu dan Tepco pada 2000. Volumenya mencapai 0,98 juta metrik ton per tahun, selama lima tahun, mulai 1 Januari 2005. Pendapatan Indonesia diperkirakan US$ 200 juta per tahun. Dalam salinan surat yang diterima TEMPO itu, Rini mengingatkan pengoperasian industri pupuk di Aceh punya peran sangat strategis dalam mendukung pemulihan ekonomi Aceh. Untuk itu, dia meminta semua pabrik yang ada tetap dapat dioperasikan.
?Mengingat makin mendesaknya waktu, kami harapkan agar keputusan tentang jaminan pasokan gas bumi ke industri pupuk di Aceh dapat segera diterbitkan,? tulis Rini dalam butir terakhir suratnya. Menteri Rini membenarkan adanya surat ini. Pupuk, katanya, termasuk produk yang paling dibutuhkan bangsa yang mayoritas penduduknya petani. Apalagi investasi di pabrik pupuk tidak kecil.
Proyek PIM 2 menelan dana US$ 360 juta. ?Ke depan, kita perlu betul-betul menjaga kebutuhan pupuk secara jangka panjang,? kata Rini. Ia yakin renegosiasi dengan pembeli LNG bisa dilakukan. Atas dasar komoditas pupuk dan kondisi internal Aceh, ia yakin pembeli bisa memahami permintaan itu. ?Cost-nya harus dihitung,? katanya, ?Kalau tetap ekspor LNG, pabrik pupuk mati. Atau membeli LNG dari luar, tapi dengan harga lebih mahal.?
Sayang, Menteri Purnomo enggan menjelaskan jawabannya atas surat Rini. Ia hanya mengatakan sudah memberikan jawaban melalui surat kepada Presiden Megawati Soekarnoputri. ?Surat itu juga saya tembuskan ke Rini,? katanya. Menurut sumber TEMPO, Rabu pekan lalu ada rapat di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, membahas problem pasokan gas di Aceh.
Dipimpin oleh Deputi Menko Perekonomian, Dipo Alam, disiapkan tiga cara untuk menyelesaikan problem tersebut. Pertama, meninjau kembali kontrak penjualan LNG ke buyer?seperti diminta Rini. Kedua, pengalihan kontrak atau swap LNG Arun ke Bontang, Kalimantan Timur. Ketiga, membeli kargo LNG dari negara lain. ?Sampai akhir tahun ini, ketiga pabrik pupuk sedikitnya membutuhkan pasokan gas setara dengan 6 kargo LNG,? kata sumber tadi.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) sendiri lebih suka cara swap ketimbang membatalkan kontrak. Sebab, pembatalan kontrak bisa membawa dampak macam-macam. Misalnya, Pertamina bisa dinyatakan default sehingga harus membayar ganti rugi atau diajukan ke badan arbitrase internasional. Dampak lainnya, hancurlah citra Indonesia sebagai penjual LNG terbesar di dunia.
?Solusi yang kami siapkan adalah swap kontrak LNG Arun ke Bontang dan pengembangan lapangan Blok A oleh Conocophillips,? kata Deputi Kepala BP Migas Bidang Pemasaran dan Keuangan, Eddy Purwito. Sayangnya, cara swap LNG Arun ke Bontang juga tidak mudah. Sebab, saat ini kewajiban Bontang ke pembelinya juga tidak sedikit: 340 kargo per tahun.
Kemampuan operasional Bontang menerima swap Arun juga perlu disiapkan. Belum tentu pula pengembang Bontang seperti Total, Unocal, dan VICO bersedia. Lantas pengembangan lapangan Blok A yang tak jauh dari Arun pun menjadi alternatif jangka panjang. Apalagi cadangan gas alamnya cukup besar: 690 miliar kaki kubik. Namun pengembangan lapangan Blok A juga tak segampang menangguk pasir.
Pemerintah harus rela mengurangi pendapatannya lantaran Conocophillips, kontraktor bagi hasilnya, meminta pola bagi hasil khusus. Pengembang asal Amerika itu meminta split Blok A diubah menjadi fifty-fifty. Padahal semula split-nya 65 persen bagian pemerintah dan 35 persen bagian kontraktor. Menurut Conoco, kadar karbon dioksida dan asam sulfat di gas alam Blok A tinggi sekali sehingga bersifat korosi.
Akibatnya, peralatan standar tidak cukup. Diperlukan peralatan antikarat yang harganya lebih mahal. Kata putus dari pemerintah belum terdengar hingga kini. ?Kita harus menyelesaikan masalah karena ini menyangkut masa depan industri LNG Indonesia,? kata Rachmat Soedibyo. Pengamat migas Ramses Hutapea membenarkan pilihan swap ketimbang melanggar kontrak.
Sebab, untuk lapangan yang dimulai dari nol seperti Arun, pembeli pertamanya biasanya mendapat hak prioritas perpanjangan kontrak. Namun solusi swap juga tidak bisa diandalkan. Sebab, cadangan gas Bontang juga harus disiapkan untuk para pembelinya. ?Ini masalah rumit,? kata Ramses, ?Satu-satunya cara ialah mencari sumber gas baru seperti di North Sumatra Offshore atau Blok A.?
Tak gampang memang memecahkan masalah pasokan gas di Aceh. Jalan keluarnya harus segera diputuskan dan bersifat permanen. Sebab, dua pabrik yang menampung tenaga kerja lebih dari 3.000 orang itu betul-betul ?mati? pada awal tahun depan. Pemerintah bakal menanggung cost lebih besar lagi: problem sosial baru di Aceh.
M. Syakur Usaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini