Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Modal Cekak Bank Kabupaten

Bank Indonesia minta BPR meningkatkan modal dan profesionalisme. Konsentrasi bankir bisa buyar.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSAMA 25 koleganya, Reni Kusumawati Tantra tampak bersemangat mengikuti pelatihan pengelola Bank Perkreditan Rakyat (BPR) se-Jawa Timur di Kota Batu, Malang. Pekan lalu itu, anggota direksi BPR Citra Halim Danatama, Pasuruan, ini tak cuma digembleng soal manajemen akuntansi, perkreditan, penilaian potensi pasar, atau pemasaran. Mereka juga aktif berdiskusi dan membedah kasus yang pernah dihadapi.

Kadang mereka berdebat sengit, lain kali bertukar canda. "Senang banget," kata Reni, "Saya jadi bisa mengukur kemampuan yang saya miliki." Peserta lain, Komisaris BPR Surya Abadi Bersaudara di Kabupaten Malang, David Bian, tak kalah memuji pelatihan itu. "Kami terbiasa praktek, sekarang mendapat landasan teorinya," katanya.

Bukan cuma metode dan materi bermutu yang membuat Reni, David, dan kawan-kawan tak sudi ketinggalan mengikuti pelatihan yang baru pertama kali diadakan itu. Setelah di Batu, acara serupa rencananya akan digelar di Bali, Jabotabek, dan Jawa Barat. Ada alasan lebih penting: pelatihan ini merupakan jalan memperoleh sertifikat sebagai pengelola BPR.

Senyampang terbitnya kebijakan baru Bank Indonesia, sertifikat memang bakal jadi "jimat" mustahak bagi para pengelola BPR. Fungsinya mungkin tak kalah penting dari surat izin mengemudi bagi pengendara kendaraan bermotor. Soalnya, kendati masih bertahap, Bank Sentral telah mewajibkan direksi BPR memiliki sertifikat lulus pelatihan. "Program itu terkait uji kelayakan dan kepatutan pengelola BPR," ujar Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.

Sekurang-kurangnya, pada akhir 2006, satu orang direksi wajib memiliki sertifikat lulus pelatihan. Pada akhir 2008, seluruh jajaran direksi wajib memiliki sertifikat, tanpa kecuali. Yang tidak memenuhi persyaratan itu dilarang menjadi direktur dan harus mengundurkan diri. Khusus untuk BPR baru yang mengajukan permohonan pendirian, calon direkturnya bahkan harus sudah punya sertifikat.

Kebijakan baru Bank Sentral untuk menguatkan otot BPR itu tak melulu urusan sertifikat. BI juga meminta BPR meningkatkan modal hingga seratus persen. Ini sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan tekad meningkatkan daya saing serta memperkuat kelembagaan bank yang banyak beroperasi di wilayah pedesaan itu.

Persisnya, BPR yang beroperasi di Jakarta harus meningkatkan modal dari Rp 2 miliar menjadi Rp 5 miliar. Untuk wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi, modal yang diwajibkan tetap Rp 2 miliar. Sedangkan BPR lain di wilayah Jawa dan Bali mesti menyetor modal Rp 2 miliar dari sebelumnya Rp 1 miliar. Untuk daerah di luar Jawa-Bali, modal minimumnya tetap Rp 1 miliar.

Sri Mulyati Tri Subari, Deputi Direktur Pengawasan BPR di Bank Sentral, menegaskan penambahan modal itu dipenuhi bertahap. Pada 2006, peningkatan modal harus 40 persen. Kemudian berturut-turut 70 persen pada 2008 dan akhirnya 100 persen pada 2010. Untuk mencapai target itu, kata Sri, "Bila perlu, kami mendorong mereka melakukan merger, akuisisi, atau konsolidasi dengan BPR lain."

Imbangannya juga ada. Bersama persyaratan menambah modal, Bank Sentral juga mempermudah izin BPR membuka kantor cabang. Kini, untuk membuka cabang, BPR tak perlu menyetor modal baru. Mereka cukup meningkatkan rasio kecukupan modal (CAR) dari 8 persen menjadi 15 persen.

Pada saat ini di Indonesia ada 2.148 BPR. Tapi, biasalah, tak semuanya dalam kondisi baik. Menurut data Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), dari jumlah itu hanya 60 persen yang masuk kategori sehat. Yang cukup sehat 23 persen, sedangkan sisanya tergolong sakit, bahkan sekarat. Terhadap yang tidak sehat, sikap BI cukup tegas.

Sri Mulyati menuturkan, beberapa waktu lalu, Bank Sentral telah mencabut izin usaha dua BPR karena modalnya minus. Satu di antaranya berlokasi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dua pekan lalu, BI kembali menutup sebuah BPR, yakni BPR Badan Keuangan dan Kredit Randublatung di Kabupaten Blora, Jawa Timur. Urusannya memang serius: pengelolanya melakukan korupsi dan menggelapkan aset.

Kendati beberapa BPR sekarat dan gulung tikar, Ketua Umum Perbarindo Soni Harsono optimistis prospek usaha BPR masih terbuka lebar. Ia menyebut ada 40 juta sektor usaha informal yang membutuhkan kredit mikro senilai Rp 50 juta ke bawah. Ini adalah pasar yang sangat besar bagi BPR. Selama ini, BPR juga memiliki prestasi lebih bagus ketimbang bank umum dari segi penyaluran kredit dan tingkat kredit seret.

Rasio kredit yang dikucurkan atau loan to deposit ratio BPR mencapai 120,7 persen. Bandingkan dengan bank umum, yang masih di bawah 40 persen. Tingkat kredit seret BPR pun cuma 16 persen, jauh lebih rendah ketimbang kredit bermasalah para nasabah besar dan konglomerat di bank umum, yang mencapai 30 persen.

Angka-angka itu menunjukkan cukup mangkusnya peran BPR dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. "Kepercayaan masyarakat terhadap BPR masih tinggi di tengah segudang keraguan terhadap perbankan pada umumnya," kata Gatot Sutanto, Ketua Perbarindo Jawa Timur, yang ditemui TEMPO di sela acara pelatihan di Batu.

Tentulah semua terpulang pada kemampuan dan keterampilan para pengelola BPR jua. Tak aneh jika mereka tak menunjukkan sikap gentar terhadap persyaratan BI untuk mengantongi sertifikat. "Materi yang diberikan selama pelatihan tak sulit diserap," kata David. Ia optimistis lulus dan mendapat sertifikat. Reni tak kalah yakin. Materi yang diperoleh selama pelatihan, menurut dia, sama saja dengan praktek yang dihadapi sehari-hari. "Insya Allah, saya akan lulus," katanya.

Yang membuat agak miris para bankir kelas kabupaten itu justru kewajiban menambah modal. David terus terang meminta BI meninjau ulang kebijakan ini. Gatot Sutanto malah menganggap rencana Bank Sentral terkesan mendadak. "Saya terkejut karena sama sekali tak tahu akan ada regulasi baru," ujarnya.

Menurut Gatot, dari 345 BPR yang beroperasi di Jawa Timur saat ini, baru sekitar 20 bank yang memiliki modal hingga Rp 2 miliar. Hampir separuh bank masih bermodal sekitar Rp 1 miliar. Selebihnya masih mengandalkan modal Rp 500 juta. Gatot memastikan kebijakan menambah modal itu akan menyulitkan BPR di Jawa Timur. "Teman saya umumnya keberatan jika modal minimum dinaikkan menjadi Rp 2 miliar," katanya.

Kenaikan CAR dari 8 persen menjadi 15 persen pun dianggapnya terlalu drastis. "Maksimal 10 persen saya kira sudah cukup," ia berharap. Kebijakan BI yang terasa mendadak itu, menurut Gatot, bisa membuat buyar konsentrasi pengelola BPR yang modalnya pas-pasan. Mereka terjebak dalam dilema: fokus pada pengembangan usaha atau berusaha memenuhi kewajiban menambah modal.

Hal senada diutarakan Sawaluddin, Direktur BPR Tapeuna Dana di Depok, Jawa Barat. Banknya sendiri tak bermasalah dengan kebijakan itu lantaran tergolong sehat dengan modal Rp 1,8 miliar dan CAR 26,29 persen. Hanya, sampai sekarang, belum ada anggota direksinya yang mengantongi sertifikat lantaran belum ada pelatihan di wilayah Depok.

Tapi BPR lain di Depok, menurut Sawaluddin, menganggap kebijakan BI itu agak memaksa. Bila tak mampu menambah modal, pemilik BPR pun biasanya enggan bergabung dengan BPR lain atau mencari investor. "Paling pilihannya dijual," ujarnya dengan nada getir.

Nugroho Dewanto, Taufik Kamil, Abdi Purmono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus