Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Strategi Bertahan Roti Rumahan

Sejumlah usaha roti rumahan berusaha bangkit setelah terpukul akibat pandemi. Bersaing dengan produk baru dan usaha pabrikan.

24 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja pabrik Mekarsari 99 mengemas roti manis dengan kemasan sederhana di sentra pabrik roti rumahan Babakan Rahayu, Kelurahan Kopo, Bandung, Jawa Barat, 17 Juli 2024. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemberitaan soal roti yang diduga mengandung bahan pengawet kosmetik membuat sejumlah perusahaan roti berbenah.

  • Beberapa usaha roti rumahan masih belum pulih dari dampak pandemi.

  • PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, produsen roti merek Sari Roti, membukukan angka penjualan Rp 1,92 triliun pada semester I 2024 atau naik 5,5 persen secara tahunan.

PEMBERITAAN soal roti yang diduga mengandung bahan pengawet kosmetik atau sodium dehydroacetate marak dalam beberapa hari terakhir. Pemberitaan tersebut membuat toko Roti Ganep di Solo, Jawa Tengah, berbenah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marketing Manager Roti Ganep Emi Yoeniawati mengatakan kabar tentang roti yang diduga memakai bahan pengawet kosmetik itu tidak berpengaruh terhadap penjualan produknya. Namun Roti Ganep menyikapinya dengan mendorong peningkatan kualitas produk olahannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga saat ini, kata Emi, Roti Ganep konsisten menjaga kualitas produk dengan menggunakan bahan-bahan baku pilihan, tanpa bahan pengawet, dan tanpa bahan kimia berbahaya. "Meskipun ada yang membeli, misalnya roti tawar, kemudian mempertanyakan, 'Baru dua hari kok sudah begini (berjamur)?' Ya, karena kami memilih tanpa bahan pengawet," ujarnya saat ditemui di toko Roti Ganep pada Selasa, 23 Juli 2024.

Emi memastikan semua produk roti dan makanan yang diproduksi Roti Ganep memiliki tanggal kedaluwarsa dan paling lama hanya tiga hari.

Emi menyatakan Roti Ganep konsisten menggarap pasar lokal atau yang terdekat serta segmen pelanggan yang paham produk sehat. Karena itu, untuk mempertahankan ataupun mengembangkan pasar tersebut, pihaknya menggandeng berbagai komunitas yang paham produk sehat.

Dia tak menampik ada pesaing yang cukup agresif menggarap pasar yang lebih luas atau nasional. Namun Roti Ganep memilih menggarap pasar lokal atau yang terdekat. Dia menyebutkan keunggulan produk Roti Ganep yang tidak menggunakan bahan pengawet menjadi pembeda dari sejumlah produsen lain. "Pembeda inilah yang harus kami kuatkan untuk menggarap dan mengembangkan pasar," ucapnya.

Roti Ganep merupakan produsen roti yang berdiri sejak 1881. Perusahaan yang genap berusia 143 tahun tersebut telah melewati enam generasi pengelola. Kini Roti Ganep memiliki tiga gerai di Solo.

Industri Makanan Mulai Pulih

Sementara Solo memiliki Roti Ganep, Bogor dan Jakarta punya Tan Ek Tjoan. Berdiri sejak 1920, Tan Ek Tjoan menjadi roti legendaris asal Bogor yang tersebar di berbagai wilayah, khususnya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Meski makin banyak kompetitor penjual roti, pemilik Tan Ek Tjoan, Lydia Cynthia Elia, mengatakan tidak pernah merasa takut kehilangan pelanggan atau konsumen. Sebab, Tan Ek Tjoan sudah memiliki konsumen sendiri.

Industri Makanan Mulai Pulih

Untuk menjaga kualitas, Lydia mengatakan, proses produksi tetap dilakukan di rumah atau homemade. Semua bahan bakunya berasal dari Indonesia dan tidak ada yang diimpor. Roti Tan Ek Tjoan tidak menggunakan bahan pengawet dan hanya bisa bertahan selama tiga hari. Tapi justru hal itulah yang menyebabkan mitra dan konsumen mereka bertambah.

Meski pernah terpukul pada masa pandemi, Badan Pusat Statistik mencatat, industri makanan dan minuman berkontribusi 6,55 persen terhadap produk domestik bruto nasional pada 2023. Nilainya meningkat dari 6,32 persen pada 2022. Investasi di sektor industri makanan dan minuman juga terus tumbuh dengan perkembangan realisasi investasi sebesar Rp 85,10 triliun pada 2023.

Industri Makanan Mulai Pulih

Namun beberapa usaha roti rumahan masih belum pulih dari dampak pandemi. Contohnya industri roti rumahan asal Bandung, Jawa Barat, yang dikelola Sutarno: Putri Sawargi. Bersama dua pekerja, mereka kini hanya membuat roti kopyor berisi parutan kelapa yang dibanderol Rp 3.000 per bungkus. Padahal, sebelum masa pandemi, varian roti yang diproduksi beragam, seperti roti isi kacang hijau, cokelat, keju, dan selai aneka buah.

Bisnis milik Nano—panggilan Sutarno—dan pembuat roti rumahan lain di Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, juga terimbas kemunculan roti-roti baru di pasar. Aneka roti baru masuk ke semua toko grosir sekitar. "Kemasannya bagus dan harganya murah, cuma saya kaget melihat kedaluwarsanya lama sekali," katanya, Rabu, 17 Juli 2024.

Produk roti anyar itu, tutur Nano, dibungkus dengan cara divakum agar kemasannya hampa udara. Dia mengaku pernah menjajal cara serupa. Namun roti buatannya yang diolah secara manual menggunakan tangan itu paling lama hanya bertahan sepekan, lalu berjamur. Sedangkan tanpa divakum dan menggunakan bahan pengawet yang lazim dipakai, yaitu kalsium propionat, rotinya hanya berumur lima hari.

Nano mencatat jumlah permintaan pasar kini 1.900 bungkus per hari. Namun, karena satu dari dua pekerjanya masih baru, mereka hanya bisa membuat roti kopyor 1.140 bungkus. Sebanyak 600 bungkus di antaranya dikirim rutin ke seorang pembeli di Jalan Pasir Koja, Bandung. Ada juga pembeli lain yang datang langsung, di antaranya pedagang di pasar atau warga untuk dikonsumsi sendiri, seperti untuk acara pengajian.

Dengan kondisi saat ini, Nano mengaku usahanya bisa mendapat laba bersih Rp 4-5 juta per bulan dengan sebaran produk di sekitar Bandung. Adapun dulu keuntungannya bisa mencapai Rp 10-11 juta tiap bulan. Sambil menjaga pemasaran rotinya lewat akun media sosial, Nano sedang mengumpulkan modal untuk membeli alat kemasan yang lebih bagus serta mesin pencetak roti agar proses produksinya cepat dan hasilnya bertambah.

Beraneka roti dan makanan ditawarkan di Toko Roti Ganeps Solo, Jawa Tengah, 23 Juli 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE

Di tengah upaya bangkitnya bisnis roti rumahan, merek roti dari pabrik besar tumbuh pesat. PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, produsen roti merek Sari Roti, misalnya, membukukan angka penjualan Rp 1,92 triliun pada semester I 2024 atau naik 5,5 persen secara tahunan. Penjualan terbesar berasal dari produk roti tawar yang meraup Rp 1,28 triliun. Adapun produk kedua dengan penjualan tertinggi adalah roti manis senilai Rp 800 miliar.

Emiten berkode ROTI tersebut juga membukukan laba Rp 145 miliar pada semester I 2024 atau melejit 22 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Untuk memenuhi permintaan produk roti dan kue yang terus bertumbuh, Nippon Indosari Corpindo tengah menyelesaikan pembangunan pabrik ke-15 di Pekanbaru, Riau, yang ditargetkan beroperasi pada akhir 2024.

Secara umum, industri makanan dan minuman lesu akibat pandemi Covid-19. Pandemi pada 2020 lalu menjadi pukulan bagi sektor ini. Meski masih positif, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPPMI) mengungkapkan pertumbuhan sektor industri ini jauh dari kondisi normal. Penyebabnya adalah penurunan daya beli kelas menengah ke bawah dan kecenderungan masyarakat kelas atas untuk menahan belanja.

Adapun Kementerian Perindustrian berupaya mendorong sektor makanan dan minuman agar memiliki daya saing melalui penerapan teknologi digital serta inovasi, baik produksi, distribusi, maupun pemasaran produk. Pemerintah pun menggulirkan insentif restrukturisasi mesin dan peralatan produksi bagi industri ini guna meningkatkan kontribusi terhadap devisa negara.

Kementerian Perindustrian menyiapkan anggaran sebesar Rp 20 miliar tahun ini untuk melaksanakan program restrukturisasi mesin atau peralatan di industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman terpilih sebagai prioritas karena perannya yang penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Septhia Ryanthie di Solo, Anwar Siswadi di Bandung, dan M.A. Murtadho di Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus