Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo merasa kementeriannya serba salah menyikapi kehadiran transportasi berbasis aplikasi daring, baik taksi atau ojek online. Sebab, pengemudi ojek online menginginkan pemerintah terlibat mengatur kebijakan ihwal transportasi online.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun di sisi lain, pengemudi taksi online malah memprotes peraturan menteri mengenai taksi online. "Tapi memang kementerian perhubungan itu serba susah ya," kata Sugihardjo kepada Tempo di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sugihardjo, pemerintah memang tak membuat aturan spesifik mengenai ojek online. Alasannya karena tidak ada undang-undang yang mengamanahkan kementerian perhubungan menerbitkan kebijakan ojek online. Berbeda dengan transportasi roda empat yang termasuk kategori angkutan konvensional.
Sugihardjo menyampaikan, transportasi online berstatus Angkutan Sewa Khusus (ASK). Artinya, posisi transportasi online adalah sebagai komplemen, bukan kompetitor.
"Tapi kalau berkembangnya tidak terkendali dan akhirnya mematikan, itu sudah menjadi kompetitor. Pada gilirannya masyarakat juga yang dirugikan," ujar Sugihardjo.
Sugihardjo menyatakan perlu ada keseimbangan dalam bisnis transportasi online. Hal itu agar tidak ada pihak yang dirugikan, baik masyarakat, pengemudi, dan operator transportasi online. Karenanya, pemerintah mengimbau agar pihak terkait saling berdiskusi.
"Kalau memang tarifnya terlalu murah, konsumen diuntungkan tapi penyedia jasanya yang dikorbankan, atau sebaliknya. Ini harus dicari keseimbangannya," ujar Sugihardjo.
Ribuan pengemudi ojek online dari Go-Jek dan Grab melakukan demonstrasi di depan Istana Presiden, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Maret 2018. Ketua Forum Komunitas Driver Online Indonesia, M. Rahman T., mengatakan ada dua hal yang menjadi tuntutan dari pengemudi ojek berbasis aplikasi se-Indonesia, yakni payung hukum dan penyesuaian tarif.
"Pertama, ojek online harus punya payung hukum agar (pengemudi) mendapat ketenangan. Kedua, kami juga minta rasionalisasi tarif menjadi Rp 4.000 per kilometer," katanya saat melakukan orasi di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa, 27 Maret.
Dia menuturkan tarif yang diterapkan oleh aplikator (penyedia jasa aplikasi ojek online) saat ini sangat minim, hanya Rp 2 ribu per kilometer. Angka itu belum termasuk potongan 20 persen yang harus disetorkan pengemudi ojek online ke perusahaan. Dengan demikian, tarif bersih (nett) yang dikantongi pengemudi hanya Rp 1.600 per kilometer.
LANI DIANA | BISNIS