Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Insentif bagi Eksportir Konversi Devisa ke Rupiah Kian Penting

Dalam menghadapi fluktuasi rupiah yang terjadi belakangan ini, devisa hasil ekspor (DHE) dinilai menjadi kunci jangka pendek yang bisa diandalkan.

12 September 2018 | 11.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam menghadapi fluktuasi kurs rupiah, Kepala Penelitian Makroekonomi dan Finansial, Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Febrio N. Kacaribu, menilai devisa hasil ekspor (DHE) menjadi kunci jangka pendek. Hal itu juga dinilai efektif untuk mengantisipasi arus capital outflow yang cukup tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain, Febrio menyarankan agar pemerintah memberikan insentif yang lebih menarik bagi eksportir yang menukarkan DHE-nya ke dalam mata uang rupiah. Saat ini, menurut dia, eksportir belum terlalu antusias dan hal tersebut terlihat dari konversi devisa ke mata uang rupiah masih di kisaran 15 persen dari total. "Harusnya bentuknya cukup menarik," ucapnya, Senin, 10 September 2018.

Febrio mencontohkan, pada tahun 2015, pemerintah sebenarnya telah merayu para eksportir untuk membawa balik devisanya dengan menurunkan pajak devisa hasil ekspor yang semula 20 persen. Bagi eksportir yang menyimpan DHE selama 1 bulan di bank nasional, tarif pajaknya akan diturunkan sebanyak 10 persen.

Sedangkan jika eksportir menyimpan DHE selama tiga bulan dikenakan tarif 7,5 bulan, disimpan enam bulan sebanyak 2,5 bulan. Bahkan, apabila disimpan enam bulan ke atas tarifnya bisa 0 persen.

Insentif itu, kata Febrio, bakal diperbesar lagi jika devisa dalam bentuk dolar itu dikonversikan ke rupiah, besaran tarif yang akan diterima eksportir bisa 7,5 persen untuk simpanan satu bulan dan bebas pajak atau 0 persen untuk enam bulan ke atas. Tetapi, lagi-lagi itu pun tak mempan atau kurang optimal.

Faktanya, insentif tersebut masih belum menarik bagi para eksportir. Pada kuartal kedua tahun 2018, Bank Indonesia mencatat DHE yang masuk ke dalam negeri sebesar US$ 34,75 miliar. Sementara nilai transaksi ekspor mencapai US$ 43,7 miliar.

Sebelumnya Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan pada kuartal I tahun 2018 sebesar US$ 35,12 miliar. Dengan demikian, DHE yang masuk hingga semester I tahun 2018 mencapai US$ 69,87 miliar.

Sementara itu, jumlah DHE yang dikonversi ke rupiah mencapai US$ 4,41 miliar atau 13,7 persen pada kuartal II tahun 2018. Angka ini meningkat bila dibandingkan kuartal I tahun 2017 sebesar US$ 4,21 miliar atau 12,9 persen dari total DHE.

Adapun DHE yang tidak dikonversi ke dalam rupiah sebesar US$ 27,7 miliar atau 86,3 persen pada kuartal II di 2018 berada di bank dalam negeri. Sisanya US$2,7 miliar disimpan di bank luar negeri. Data tersebut juga mengungkapkan DHE pada tahun 2016 dan 2017 yang dikonversi ke dalam rupiah memang tidak pernah besar, rata-ratanya hanya di kisaran 14-15 persen.

Lebih lanjut, Febrio mengatakan pemerintah sebenarnya memiliki contoh yang dilakukan negara lain dalam mengelola DHE yakni negara serumpun, Malaysia. "Mereka memang ekstrim [aturan DHE] untuk capital control tidak lama kemudian mereka lebih kepada kepastian hukum dan atraktif. Solusi dalam jangka pendek ini memang benarlah DHE," katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. TEMPO/Subekti

 

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan pemerintah berupaya menyeimbangkan antara supply dengan demand dolar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengkaji kembali efektifitas aturan insentif pajak bagi DHE yang di simpan di dalam negeri. 

Sri Mulyani mengaku sudah memminta supaya Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Direktur Jenderal Pajak menjelaskan PMK ini dan melakukan evaluasi jika dirasa kurang efektif. "Tentu dalam situasi yang sekarang di dalam pemikiran untuk membawa devisa hasil ekspor, di dalam negeri di dalam konteks untuk menyeimbangkan supply and demandnya (dolar) menjadi penting," katanya.

Insentif seperti pun itu, kata Sri Mulyani, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana membuat insentif yang menyentuh hal-hal mendasar terhadap kebutuhan para eksportir. Sehingga dengan sukarela, para eksportir mau mengkonversikan devisa yang mereka miliki menjadi rupiah.

BISNIS

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus