Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sampai awal 2022 ini, belum ada kepastian soal pelunasan utang jatuh tempo Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya kepada negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, Rionald Silaban, telah menerima penawaran dari perusahaan untuk membayar utang tersebut dengan pengalihan aset berupa tanah di daerah Sidoarjo, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rionald membenarkan kalau tanah tersebut memang menjadi jaminan dalam perjanjian utang-piutang ini Akan tetapi, kata Rionald, pihaknya tidak serta merta langsung menerima tanah itu karena meminta pembayaran.
"Mana kala kemudian yang bersangkutan menyatakan tak bisa membayar dan menyerahkan jaminan, jaminan itu ada nilainya atau tidak?," kata Rionald dalam konferensi pers, Jumat, 28 Januari 2022.
Rionald menyebut penilaian sedang dilakukan atas nilai aset tanah tersebut. Tapi sejauh ini, belum ada kepastian apakah akhirnya pemerintah memilih untuk menyita aset itu saja ketimbang terus menagih pembayaran utang. "Ini sekarang sedang kami lihat," kata dia.
Denda Terus Naik
Di sisi lain, Rionald memastikan nilai utang jatuh tempo berikut dendanya ini akan terus naik selama belum ada pelunasan. "Kami di DJKN akan melakukan (penagihan) sesuai ketentuan," kata dia.
Rio belum merinci secara pasti berapa nominal terbaru utang berikut denda yang harus dibayarkan oleh Lapindo dan Minarak ini. Ia hanya menyebut nominalnya sudah di atas Rp 1,5 triliun.
Dikutip dari Bisnis.com, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP Kementerian Keuangan Tahun 2020 mencatat total utang jangka panjang tersebut mencapai Rp773 miliar. Jumlah ini belum termasuk bunga dan denda keterlambatan pengembalian.
Jika ditotal, jumlah utang Lapindo ke pemerintah tembus hingga Rp2,2 triliun. “Kami sudah menyiapkan penilai untuk menilai aset tanah tersebut [Lapindo),” kata Rionald, Kamis, 27 Januari 2022.
Utang ini berasal dari pinjaman Dana Antisipasi Penanganan Luapan Lumpur Lapindo Sidoardjo oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya. Bisnis.com mencatat perusahaan konglomerasi Bakrie pada Maret 2007 memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar. Akan tetapi uang yang ditarik dari pemerintah sebesar Rp773,38 miliar.
Perjanjian pinjaman ini memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen. Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau Lunas pada 2019 lalu.
Namun, sejak uang negara dicairkan melalui perjanjian PRJ-16/MK.01/2015 mengenai Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Tedampak 22 Maret 2007, Lapindo hanya mencicil 1 kali.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merinci tagihan kepada Lapindo terdiri dari pokok Rp773,38 miliar, bunga Rp163,95 miliar, dan denda Rp981,42 miliar. BPK pun mencatat pemerintah telah mengupayakan penagihan kepada Lapindo dengan penagihan pada Juli 2019 dan September 2019.
Pada 19 Desember 2019, Lapindo meminta kepada Jaksa Agung untuk melakukan pembayaran dengan asset settlement. Beberapa waktu lalu, pemerintah mengaku masih mengupayakan proses penyelesaian piutang secara tunai. Namun, tidak menutup kemungkinan juga untuk membuka opsi lain, seperti dengan penyerahan aset Lapindo.