Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kajian CELIOS soal Untung Rugi Kebijakan Tapera

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyebut kebijakan Tapera dianggap memberatkan pekerja karena diwajibkan ikut dalam kepesertaan

4 Juni 2024 | 14.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja tengah menyelesaikan proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 6 Februari 2023 .PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. targetkan 182.250 unit KPR FLPP dan Tapera, seiring dengan rasio jumlah kebutuhan rumah (backlog) masih tinggi mencapai 12,75 unit. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari lembaga riset seperti Center of Economic and Law Studies atau Celios, merespons isu tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang belakangan mendapat sorotan dan kritik dari masyarakat luas. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyebut kebijakan tersebut dianggap memberatkan pekerja karena diwajibkan ikut dalam kepesertaan Tapera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Bhima, iuran peserta Tapera pun cukup besar dengan penghitungan ad valorem atau persentase dari gaji atau upah. "Jika pekerja tersebut berpendapatan di atas upah minimum regional, maka setiap bulan gaji pekerja itu dipotong 2,5 persen," kata Bhima dalam Policy Brief berjudul Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penolakan juga muncul dari dunia usaha yang keberatan dengan kewajiban menambahkan 0,5 persen dari gaji pekerja untuk iuran Tapera. Menurut Bhima, pertumbuhan ekonomi yang diklaim tinggi yakni 5,11 persen year on year pada kuartal I-2024 tidak menjelaskan secara komprehensif tantangan ekonomi sepanjang 2024.

Misalnya, dia merinci, penjualan kendaraan bermotor yang turun juga penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri di periode yang sama lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Lalu, anak muda yang menganggur atau Youth Not in Employment, Education and Training (NEET) menembus 9,9 juta orang. "Ancaman lain adalah memburuknya sektor industri pengolahan dengan beragam pabrik yang terpaksa menutup operasionalnya," ujarnya.

Dari kondisi tersebut, CELIOS menyarankan pemerintah mengubah regulasi ini agar peruntukan Tapera hanya untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan mandiri bersifat sukarela.

Berikutnya, Asal Muasal Tapera...

Asal Muasal Tapera

Sebelumnya, Tapera bernama Tabungan Perumahan (Taperum) Pegawai Negeri Sipil. Saat itu, pesertanya terbatas pada abdi negara untuk pembiayaan perumahan hingga pemupukan dana. Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) dibentuk sebagai pengelola dananya. Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (BAPERTARUM-PNS) merupakan badan yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 14 Tahun 1993 dan ditetapkan tanggal 15 Februari 1993.

Dalam skema Taperum, PNS  diminta untuk dipotong  gajinya untuk pembiayaan perumahan. Besarannya disesuaikan dengan golongan dan jabatan masing-masing dari pegawai.

Seiring waktu, dana yang dikumpulkan Taperum makin besar. Muncul dugaan penyelewengan oleh pejabat terkait lantaran dana yang dikumpulkan dikelola tanpa ada transparansi. Saat itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kesulitan mengaudit Bapertarum dan ada potensi kerugian sebesar Rp 179,9 miliar. Padahal kata Bhima, pada 1995, dana yang dikelola Bapertarum mencapai Rp 352,8 miliar. Kerugian ini memicu adanya Taperumgate. "Skandal pengelolaan dana publik yang cukup besar," tuturnya.

Lewat  Undang-Undang  Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Taperum berganti nama Tapera. UU Nomor 4 Tahun 2016 yang diundangkan pada tanggal 24 Maret 2016 memuat ketentuan yang menjelaskan mengenai ketentuan peralihan BAPERTARUM-PNS. Peraturan perundangan tersebut juga menurut Bhima, menjadi dasar pembentukan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Peserta dalam program ini juga diperluas bukan hanya pegawai negeri sipil (PNS). Namun melibatkan pegawai swasta dan pekerja mandiri. Salah satu alasannya, dia menuturkan, adalah masalah backlog perumahan yang masih tinggi di Indonesia. "Penduduk yang makin banyak tidak sejalan dengan pemenuhan kebutuhan rumah layak," ucap Bhima.

Apakah Benar Tapera Bisa Mengatasi Backlog?

Tapera untuk Mengatasi Masalah Backlog

Mengenai kondisi backlog perumahan Indonesia—selama periode 2010-2023—dalam kajian Celios—menunjukkan ada tren penurunan secara umum dalam backlog perumahan. Pada 2010, backlog tercatat sebesar 13,5 juta unit. "Meski ada fluktuasi kecil, tren keseluruhan menunjukkan penurunan yang berkelanjutan," tutur dia.

Puncak lainnya terjadi pada 2015—dengan backlog mencapai 13,5 juta unit. Namun, setelah itu angka ini terus menurun secara bertahap. Penurunan signikan terlihat pada 2021 ketika backlog menurun dari  12,72 juta unit pada 2020 menjadi 10,51 juta unit. Pada 2023, backlog perumahan berada di titik terendah selama periode yang ditinjau. "Sebesar 9,9 juta unit," kata dia.

Menurut dia, tren penurunan ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam ketersediaan perumahan di Indonesia selama bertahun-tahun. Perbaikan ini bisa jadi hasil dari berbagai kebijakan dan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan akses terhadap perumahan yang terjangkau.

Bhima menjelaskan, faktor ekonomi berperan penting dalam mempengaruhi permintaan dan ketersediaan perumahan. Perubahan kondisi ekonomi, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, stabilitas harga properti, hingga suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan uang muka pembelian rumah, besar kemungkina turut berkontribusi terhadap penurunan backlog perumahan ini. "Meski  terjadi penurunan, jumlahnya masih cukup besar," katanya.

Salah satunya, ujar Bhima, kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat. Secara rata-rata, dia berujar, kenaikan gaji masyarakat di 2023 adalah 1,8 persen. Mengutip laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia, terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96 persen.

"Bahkan untuk kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11 persen dan menengah 2,44 persen. Artinya, masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah semakin kecil kesempatan bisa memiliki rumah," ucap Bhima.

Badan Pusat Statistik menyebutkan 11 persen masyarakat dengan pendapatan 20 persen terbawah mendapatkan rumah dari warisan ataupun hibah. Menurut Bhima, angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. "Masyarakat miskin memiliki ketergantungan akan hibah atau warisan rumah untuk memiliki hunian, itu pun masuk kategori rumah kurang atau tidak layak."

Selain itu, ada beberapa perubahan preferensi tempat tinggal oleh kaum muda seperti milenial dan generasi Z. Terutama, bagi mereka yang tinggal di perkotaan. Ada preferensi memiliki hunian dekat tempat kerja dibandingkan jauh dari tempat kerja. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menurunkan angka permintaan rumah. 

Selama kebijakan Tapera nantinya berjalan, menurut ekonom CELIOS, Nailul Huda, masalah backlog perumahan juga belum bisa teratasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan. “Adapun alasan backlog sempat mengalami penurunan lebih disebabkan perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya,” Kata Huda.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus