Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kamu Buruh, Wartawan

B.M. Diah menyatakan perlunya dibentuk serikat sekerja wartawan, seperti anjuran ketua FBSI Agus Sudono adanya basis FBSI di perusahaan media memungkinkan perjanjian kerja secara kolektif. (md)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASAL mulanya B.M. Diah membangkitkan perhatian bahwa perlu dibentuk Serikat Sekerja Wartawan. "Bikinlah itu, kalau betul-betul PWI menurut saudara bukan serikat sekerja wartawan," katanya seperti dikutip Merdeka, koran yang dipimpinnya pula. Ucapannya itu keluar sesudah ia baru saja diterima oleh Wakil Presiden Adam Malik. Keduanya telah membicarakan masalah kampanye kode etik jurnalistik sepanjang Pebruari ini dan soal kesejahteraan wartawan. Ketika itu suara Diah berdering karena ia menjabat Ketua Harian Dewan Pers, malah Pembina PWI pula. Maka soal SSW dari mulut Diah-apalagi bukan karena lidah yang meleset -- tidak lewat begitu saja. Banyak wartawan, anggota PWI atau bukan, memberi reaksi: "Ah, boleh juga Pak Diah ini." SSW selama ini menjadi soal peka. Suara resmi PWI menafsirkan bahwa wartawan itu bukan buruh. Agus Sudono, Ketua FBSI (Federasi Buruh Se-lndonesia), pernah menganjurkan tahun lalu supaya basis FBSI dibentuk di tiap perusahaan suratkabar dan media lainnya. Artinya, wartawan bergabung dalam Serikat Sekerja di tempat kerja masing-masing, supaya bisa memperjuangkan perbaikan nasibnya secara kolektif menghadapi majikan. Suratkabar memang diterbitkan oleh perusahaan, di mana wartawan nyatanya menjadi karyawan. FBSI selalu menuntut diadakannya perjanjian kerja secara kolektif, lazim disehut CLA (Collective Labozir Agreement) di perusahaan. CLA itu selalu diperbaharui, sebagai hasil kompromi antara SS dan pihak manajemen (majikan). Sudah banyak kelihatan faedahnya. Tapi CLA itu sukar dicapai di perusahaan media selama tiadanya SS di tempat. PWI pada hakekatnya menolak diadakan SS untuk kaum wartawan. Perusahaan media pun, tentu saja, tidak mengadakannya. Dengan latarbelakang ini keterangan Diah tadi menjadi menarik. Wartawan umumnya masih memperoleh penghasilan rendah. Di Ambon, demikian Antara, Kaji wartawan hanya Rp 15.000 sebulan, malah ada yang kurang dari jumlah itu. Sedangkan upah buruh kasar di situ minimal Rp.700/hari atau Rp 21.000/bulan. Pelanggaran kode etik jurnalistik justru sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pendapatan wartawan. Di luar ia tergoda -- disuap atau memeras, sedang di dalam perusahaan nasibnya tak terjamin. Kasus terakhir tentang tiadanya jaminan itu terjadi di majalah Dialog yang bersaudara dengan majalah Kartini. Pimpinan media itu sewenang-wenang memecat sejumlah wartawannya, dengan alasan penerbitan Dialog dihentikan. Tapi caranya mendadak dan kasar, tanpa jaminan pesangon yang wajar pula. Para wartawan di situ dalam posisi lemah. Dalam kasus seperti ini PWI tidak bisa berbuat banyak. Ketua PWI Pusat, Harmoko, mengakui adanya tindakan sewenang-wenang oleh pihak majikan pers. Tapi pembentukan SSW sebagai jawaban untuk meningkatkan kesejahteraan tetap ditolaknya. Dengan SSW itu, katanya, akan timbul "kotak-kotak wartawan sehingga ada kelas majikan dan kelas buruh." Ada Tauke Perbedaan 'majikan' dan 'buruh' sudah menjadi kenyataan sesungguhnya antara sesama wartawan. Bahkan Adam Malik, sesepuh wartawan, pekan lalu dalam suatu percakapan dengan beberapa 'buruh' pers di Bina Graha memakai istilah wartawan tauke. "Banyak tokoh wartawan yang juga menjadi tauke," katanya. Soalnya ialah apakah sang wartawan mendapat tauke yang baik. Mereka yang bekerja di Sinar Harapan, misalnya, tidak mempunyai alasan untuk mengeluh dalam soal kesejahteraan. Pemimpin Umum H.G. Rorimpandey di harian yang beroplah besar itu mengatakan di SH ada Yayasan dan Koperasi oleh dari untuk karyawan. "Malah saya menjadi anggotanya," kata Rorimpandey. Di situ wartawan jelas tergolong karyawan. "Di tempat kami," katanya lagi, "wartawan itu juga majikan karena mereka diberi kesempatan memegang saham. " Tentu saja, tidak banyak seperti di tempat 'tauke' Rorimpandey. SSW baginya tidak perlu, asalkan wartawan mengadakan perjanjian kerja. Tapi justru dengan perjanjian kerja, benar juga Adam Malik berkata: "Jangan membohongi diri -- wartawan itu adalah buruh," meskipun ada yang menjadi tauke.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus