Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Karena "Nyata": Disita

Kepolisian Surakarta menyita surat kabar mingguan Dharma Kanda Nyata karena tak punya Surat Ijin Terbit (SIT). Sumaryono, ketua PWI, menyayangkan tindakan itu, polisi tak konsultasi dengan PWI.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANG bertanda tangan dibawah ini nama: Soerlarjo, pangkat -- Aipda Sie Intel Komando Resort Kepolisian 951 kota Surakarta urusan pers. Mengaku telah menjita surat kabar mingguan Dharma Kanda Njala sebanjak 21 eksemplar. Dasar penjitaan karena DKN tak punja Surat Izin Terbit (SIT). Padahal menurut Andjar Any, Wakil Pemimpin Redaksi DKN jang merangkap pengarang selusin lagu-lagu Waldjinah kata "Njata" jang terbetik setelah kop Dharma Kanda hanjalah motto mingguan itu sendiri. Maksudnja mempertegas motto "Dharmaning Pantjasila" Tapi polisi tidak mau tahu. Suwarso, salah seorang diantaranja berkata: "Kami hanja bergerak kalau ada perintah dari atasan". Mungkin atasannja seperti OJ Klein jang memberikan alasan: "Kami lihat DKN nggak ada SIT. Kami ambil. Tjukup!". Merah. Memang tidak gampang bitjara dengan polisi. Walaupun N. Sakdani DP mendjelaskan sedjarah mingguannja jang kini djadi petjah berkeping-keping sedjak ia bentrok dengan Tukidjo (TEMPO, 8 Mei 1971) -- toch besar kemungkinannja masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Alat negara hanja melihat bahwa Dharma Kanda jang ditanja (No.8O Th.II minggu III bulan Mei) kelirnja tidak biru. Ini menjimpang dari konsensus setelah adanja perpetjahan dimana disampiln DK-hitam diperkenankan adanja DK-biru, dua-duanja berbahasa Djawa. Barang jang disita itu didjumpai polisi berwarna merah di podjok kiri-kanan. "Soalnja warna merah, mudah. Pertjetakan sulit menjediakan warna biru. Lebih lama", tukas Sakdani sang pemimpin redaksi. Karena itulah seputjuk surat diterimanja setelah DK-merah terbit. Isinja perintah agar Sakdani menjetop peredarannja. Begitu tjepat nampaknja polisi tahu perobahan jang terdjadi pada DK-nja Sakdani. Sudah barang tentu ini karena laporan dari DK jang lain -- jang mengaku paling sah karena punja jajasan jang memegang SIT. Padahal dalam perdjandjian antara pimpinan DK sendiri, beberapa hari setelah bentrokan antara Sakdani dan Tukidjo -- mereka bersepakat menerbitkan dua mingguan dengan satu nama tapi berbeda warna. Polisi tetap tak peduli. Djawabnja ketika ditanja tentang SIT itu: "Persoalan SIT milik siapa tanjakan ke Djapen", kata OJ Klein. Adalah keliru bila orang berprasangka bahwa bila Sakdani mendapat SIT jang baru berarti DK maupun DkN dengan warna apapun bisa terbit. Sebab alat negara itu hanja mendjawab: "Itu diluar urusan kepolisian". Persoalannja djelas kini -- bukan tjuma SIT. Sebab harian Ampera jang kebetulan terbit baru-baru ini di Solo, belum punja SIT sama-sekali. Kalaupun ada itu untuk pusat sedang jang beredar di Solo bertuliskan "Edisi Djawa Tengah". Pemadam kebakaran. Djawatan Penerangan Kodya Surakarta tidak memberikan keterangan samasekali soal Ampera ini maupun soal pensitaan DK merah. Ia hanja mendjelaskan bahwa SIT soal gampang. Dan agaknja SIT bukan penjebab tersitanja DK-merah, karena "Dk"-hitamnja Tukidjo djuga tidak memenuhi sjarat" kata Soedharto, Kepala Djapen tersebut. "Kalau sampai hari ini DK-hitam masih bisa terus beredar itu karena ada surat dari Djapenprop Semarang jang memberi saran agar Tukidjo tetap menerbitkan minguan itu dan sekaligus mendjabat sebagai pemimlpin redaksi dan penanggung djawab", tambahnja pula. Keterangan Soedharto tidak akan memuaskan Tukidjo seperti halnja sikap PWI setempat. Padahal PWI "menjajangkan polisi jang tidak mengadakan konsultasi-konsultasi" lebih dulu dengan mereka, seperti dikatakan HS Sutnarjono ketuanja. "PWI samasekali tak di adjak bitjara", katanja pula. Padahal PWI sedang "wait and see", udjarnja. "Kalau tidak diminta tidak turun tangan". "Kami tunggu panggilan", katanja mendjelaskan. Ini berarti bahwa PWI Solo tak ubahnja pemadam kebakaran jang diam sadja sewaktu ada rumah terbakar dan tidak bergerak sebelum ada panggilan resmi. Untunglah Sakdani tidak bunuh diri karena beberapa hari kemudian Djapen memanggilnja. "Ada orang propinsi dan pusat", kata sang undangan. Dibalik pintu jang tertutup rapat dikisahkanlah tentang kemungkinan-kemungkinan Sakdani mendapatkan SIT. "Tinggal njusun surat-suratnja", djawabnja pada para wartawan ketika keluar dari pertemuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus