Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kembang Palembang

Orang Palembang lebih suka membaca koran Jakarta daripada daerah karena isinya lebih lengkap. Wakil Ketua SPS Palembang M Ali menjelaskan seharusnya koran pusat dijadikan contoh untuk teknik & mutu.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ITU koran-koran jang diterbitkan di Palembang memang kelihatannja banjak seperti kembang ditaman. Tapi agaknja bukan kembang sedap malam jang harum baunja, ketjuali tjuma setumpukan kemalangan. Disamping senen-kemis hidupnja, pada hari-hari Djumat, Rabu dan Sabtu, djuga tidak laku. Sedjak 20 tahun jang lalu segala matjam koran beredar di Sumatera Selatan (Sumsel). Orang lebih suka membatja penerbitan Djakarta, karena isinja lebih lengkap. Padahal waktu itu mutu dan keteraturan peredaran koran daerah lebih bagus dari sekarang. Konon pada tahun 1957 saking bingung-nja pengusaha koran daerah bersaing dengan koran Djakarta, telah mengusahakan pendjagalah terhadap lawannja. Tapi gagal. Hingga kini setiap pagi koran Djakarta sudah bisa dibatja disana. Malahan didaerah-daerah jang letaknja hampir 50 kilometer dari Palembang, koran-koran itu sore harinja sudah sampai disitu. Dominasi koran Djakarta ini menghambat bagi perkembangan dan kemadjuan suratkabar daerah", kata Irsjadharun, Wakil Ketua SPS Palembang. Pendapat jang lutju tersebut untungnja dibantah oleh orang jang pernah dituduh "menjetir Kongres PWI jang lalu". Menurut Kapten M.Ali jang berbangga dengan titel BA-nja dan sampai kini masih mendjabat Ketua PWI setempat bahwa anggapan itu "anggapan klasik", karena baginja "koranl pusat" seharusnja tidak menghambat perkembangan koran daerah. "Apa jang dinamakan saingan antara pusat dan daerah tidak perlu ada karena fungsi koran daerah mengutamakan berita-berita daerah", katanja mendjelaskam Ia berpendirian bahwa koran pusat seharusnja didjadikan tjontoh untuk teknik dan mutu, karena apabila "wartawan di Palembang punja kemampuan maka konkurensi: nihil", udjarnja pula. Likuran. Ada tigalikur suratkabar terdaftar pada SPS Palembang. Sebuah di Bengkulu, ditjetak di Djakarta. "Entah beredar dimana", sindir Menteri Penerangan ketika berkundjung kesana. Sebuah stensilan ada di Bangka. Tiga terbit tiga kali sepekan di Palembang belasan terbit seminggu sekali, sedang jang lainnja sekedar terbit sebulan atau dua bulan sekali, untuk mendjaga agat SlT-nja tidak ditjabut disamping legalitas mendjaring iklan pedjabat-pedjabat daerah dan anggota-anggotanja ikut konperensi pers. Begitu banjak padahal untuk Sumsel 5 koran sadja sudah tjukup. "Tapi teratur", kata Ketua PWI Palembang itu. Masalahnja karena selama ini disamping koran-koran itu oplahnja rendah, terbitnja angot-angotan. Animo menerbitkan suratkabar disana silih berganti diantara timbul tenggelamnja koran-koran itu sendiri. "Tapi". kata M.Ali, "pengasuhnja tidak pernah orang baru -- dari itu ke-itu". Barangkali tidak sepenuhnja itu kesalahan para penerbit amatir tersebut, karena "Tak ada ketentuan penerbit harus membuktikan sedjumlah modal". Achmad Saleh, Mahasiswa UNSRI Pemimpin Harian Pelita, dalam berbuka kartu menjimpulkan: "Suratkabar di daerah ini terbit dalam keadaan belum siap benar". Setjara blak-blakan dikatakannja bahwa biaja penerbitannja di peroleh dari gali lobang tutup lohang. Tapi tidak pernah lobangnja jang disalahkan, karena selama ini kambing kitanja: pertjetakan Peserta Kongres PWI jang menanjakan "kapan Sumsel punja pertjetakan jang baik" -- hanja didjawab oleh Gubernur Sumsel, Asnawi Mangku Alam: "Kapan Palembang punja surat kabar jang teratur setiap hari". Soalnja mungkin karena eksploitasinja diragukan. Tidak mungkin tertutup hanja dari tjetak koran. Untuk jang mentjetak jang lain? Pertjetakan biasa Jang ada sadja kewalahan mentjari order. Pertjetakan Kiou Paou dan Tjisangkuy pernah mentjetak suratkabar tapi kini keduanja tutup pintu. Sjahdan pertjetakan Meru sanggup tjetak dua suratkabar setiap hari, tapi kenjataannja 8 koran terbit bergiliran dalam sepekan. Pertjetakan tersebut menetapkan pembajaran sekaligus Rp 50 ribu untuk 4 kali terbit. Ia minta sekaligus "soalnja kepastian", kata Tjek Mamat, Pemimpin perusahaan merangkap redaktur Suara Rakjat Semesta. Tidak mahal sebenarnja, lebih-lebih karena pertjetakan tersebut disamping bisa mentjetak format tabloid, bisa djuga mentjetak koran model Djakarta (plano). Ongkosnja tjuma Rp 20 ribu per 5.000 eksemplar. Tapi agaknja tidak satupun koran jang mentjapai batas minimal tarif tjetak tcrsebut. Disini kelihatan pertjetakan tidak lebih menarik perhatian pengusaha ataupun pemerintah dari empek-empek & getah para.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus