ITU koran-koran jang diterbitkan di Palembang memang
kelihatannja banjak seperti kembang ditaman. Tapi agaknja bukan
kembang sedap malam jang harum baunja, ketjuali tjuma setumpukan
kemalangan. Disamping senen-kemis hidupnja, pada hari-hari
Djumat, Rabu dan Sabtu, djuga tidak laku. Sedjak 20 tahun jang
lalu segala matjam koran beredar di Sumatera Selatan (Sumsel).
Orang lebih suka membatja penerbitan Djakarta, karena isinja
lebih lengkap. Padahal waktu itu mutu dan keteraturan peredaran
koran daerah lebih bagus dari sekarang. Konon pada tahun 1957
saking bingung-nja pengusaha koran daerah bersaing dengan koran
Djakarta, telah mengusahakan pendjagalah terhadap lawannja. Tapi
gagal. Hingga kini setiap pagi koran Djakarta sudah bisa dibatja
disana. Malahan didaerah-daerah jang letaknja hampir 50
kilometer dari Palembang, koran-koran itu sore harinja sudah
sampai disitu. Dominasi koran Djakarta ini menghambat bagi
perkembangan dan kemadjuan suratkabar daerah", kata Irsjadharun,
Wakil Ketua SPS Palembang. Pendapat jang lutju tersebut
untungnja dibantah oleh orang jang pernah dituduh "menjetir
Kongres PWI jang lalu". Menurut Kapten M.Ali jang berbangga
dengan titel BA-nja dan sampai kini masih mendjabat Ketua PWI
setempat bahwa anggapan itu "anggapan klasik", karena baginja
"koranl pusat" seharusnja tidak menghambat perkembangan koran
daerah. "Apa jang dinamakan saingan antara pusat dan daerah
tidak perlu ada karena fungsi koran daerah mengutamakan
berita-berita daerah", katanja mendjelaskam Ia berpendirian
bahwa koran pusat seharusnja didjadikan tjontoh untuk teknik dan
mutu, karena apabila "wartawan di Palembang punja kemampuan maka
konkurensi: nihil", udjarnja pula.
Likuran. Ada tigalikur suratkabar terdaftar pada SPS Palembang.
Sebuah di Bengkulu, ditjetak di Djakarta. "Entah beredar
dimana", sindir Menteri Penerangan ketika berkundjung kesana.
Sebuah stensilan ada di Bangka. Tiga terbit tiga kali sepekan di
Palembang belasan terbit seminggu sekali, sedang jang lainnja
sekedar terbit sebulan atau dua bulan sekali, untuk mendjaga
agat SlT-nja tidak ditjabut disamping legalitas mendjaring iklan
pedjabat-pedjabat daerah dan anggota-anggotanja ikut konperensi
pers. Begitu banjak padahal untuk Sumsel 5 koran sadja sudah
tjukup. "Tapi teratur", kata Ketua PWI Palembang itu. Masalahnja
karena selama ini disamping koran-koran itu oplahnja rendah,
terbitnja angot-angotan. Animo menerbitkan suratkabar disana
silih berganti diantara timbul tenggelamnja koran-koran itu
sendiri. "Tapi". kata M.Ali, "pengasuhnja tidak pernah orang
baru -- dari itu ke-itu".
Barangkali tidak sepenuhnja itu kesalahan para penerbit amatir
tersebut, karena "Tak ada ketentuan penerbit harus membuktikan
sedjumlah modal". Achmad Saleh, Mahasiswa UNSRI Pemimpin Harian
Pelita, dalam berbuka kartu menjimpulkan: "Suratkabar di daerah
ini terbit dalam keadaan belum siap benar". Setjara blak-blakan
dikatakannja bahwa biaja penerbitannja di peroleh dari gali
lobang tutup lohang. Tapi tidak pernah lobangnja jang
disalahkan, karena selama ini kambing kitanja: pertjetakan
Peserta Kongres PWI jang menanjakan "kapan Sumsel punja
pertjetakan jang baik" -- hanja didjawab oleh Gubernur Sumsel,
Asnawi Mangku Alam: "Kapan Palembang punja surat kabar jang
teratur setiap hari". Soalnja mungkin karena eksploitasinja
diragukan. Tidak mungkin tertutup hanja dari tjetak koran. Untuk
jang mentjetak jang lain? Pertjetakan biasa Jang ada sadja
kewalahan mentjari order. Pertjetakan Kiou Paou dan Tjisangkuy
pernah mentjetak suratkabar tapi kini keduanja tutup pintu.
Sjahdan pertjetakan Meru sanggup tjetak dua suratkabar setiap
hari, tapi kenjataannja 8 koran terbit bergiliran dalam sepekan.
Pertjetakan tersebut menetapkan pembajaran sekaligus Rp 50 ribu
untuk 4 kali terbit. Ia minta sekaligus "soalnja kepastian",
kata Tjek Mamat, Pemimpin perusahaan merangkap redaktur Suara
Rakjat Semesta.
Tidak mahal sebenarnja, lebih-lebih karena pertjetakan tersebut
disamping bisa mentjetak format tabloid, bisa djuga mentjetak
koran model Djakarta (plano). Ongkosnja tjuma Rp 20 ribu per
5.000 eksemplar. Tapi agaknja tidak satupun koran jang mentjapai
batas minimal tarif tjetak tcrsebut. Disini kelihatan
pertjetakan tidak lebih menarik perhatian pengusaha ataupun
pemerintah dari empek-empek & getah para.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini