Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aktivitas pengerukan sedimentasi laut bisa berjalan setelah dokumen pengkajian selesai.
Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Mahfud Md. menyarankan aturan ini dibatalkan.
Pengerukan sedimentasi laut tak akan banyak mendatangkan keuntungan bagi Indonesia.
JAKARTA – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut akan diterapkan pada Maret 2024. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan saat ini tim pengkajian yang dibentuk pemerintah tengah menyiapkan dokumen perencanaan. Dokumen ini akan berisi kajian sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ditargetkan dokumennya selesai pada awal Maret. Setelah itu sudah bisa digunakan untuk seluruh kegiatan,” ujarnya saat pemaparan Outlook Program Prioritas Sektor Kelautan dan Perikanan di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regulasi sedimentasi laut ini disahkan pada Mei 2023. Lima bulan setelah itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023.
Pangkalan pasir laut Tanjung Priok, Jakarta. Dok. TEMPO/Tri Handiyatn
Pemerintah mengklaim peraturan ini dibuat untuk mengatur pengerukan sedimentasi laut agar lebih terkontrol. Namun aturan ini juga menuai kritik. Selain mengenai dampak lingkungan, PP Nomor 26 Tahun 2023 dianggap akan membuka kembali ekspor pasir laut.
Kemarin, Trenggono kembali menyatakan hasil pengerukan sedimentasi laut akan diprioritaskan untuk reklamasi dan pembangunan infrastruktur dalam negeri. “Sisanya untuk ekspor,” katanya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan dokumen kajian itu harus diterbitkan lebih dulu sebelum pengusaha bisa mengajukan permohonan izin pemanfaatan. “Kalau bisa, dokumennya lebih cepat selesai. Nanti setelah dipublikasi oleh Menteri, barulah bisa diajukan permohonan,” katanya kepada Tempo kemarin.
Tim ahli ini berasal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, akademikus, serta pemerintah daerah. Mereka bertugas menentukan titik lokasi yang potensial untuk diambil sedimentasi lautnya. “Gambaran potensi lokasi sudah ada, tapi kami juga perlu menetapkan potensi sedimentasinya seperti apa,” kata Victor. Namun ia enggan menyebutkan lokasi mana saja yang menjadi titik sedimentasi.
Victor menyanggah aturan ini sebagai penambangan pasir laut. Menurut dia, implementasi kebijakan sedimentasi adalah pembersihan. “Di penjelasan Pasal 1 sudah jelas pengertian sedimentasi. Tidak ada satu pun terminologi penambangan dalam aturan itu,” ujarnya.
Banyak Masalah Aturan Sedimentasi Laut
Dampak Pengerukan Sedimentasi Laut
Dari laman Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, sedimentasi laut didefinisikan sebagai pecahan material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi akibat dinamika oseanografi serta terendapkan. Sedimen ini rencananya diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran. Hasil sedimentasi berupa pasir laut ataupun lumpur.
Akademikus dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, Rignolda Djamaluddin, mengatakan, untuk mengatasi masalah endapan di laut, seharusnya dilakukan upaya pengendalian aktivitas di darat. Menurut dia, peraturan ini justru dilahirkan dengan semangat mengeksploitasi, bukan mengontrol sedimen.
"Untuk menanggulangi masalah penumpukan sedimen yang berasal dari daratan, seharusnya kontrol dilakukan di darat," ujarnya, kemarin. Selain itu, menurut dia, pengerukan dapat membuat profil dasar perairan bisa berubah dan menyebabkan berbagai permasalahan.
Dampak dari pengerukan sedimentasi laut juga sulit dilihat dalam waktu singkat karena dinamika perairan laut sangat kompleks. Karena itu, pengkajiannya pun akan memakan waktu lama. "Dampak lingkungannya besar. Ongkos kerugian ekologisnya bisa lebih mahal dibanding keuntungan. Jadi jangan sampai aturan itu baru kemudian dicabut setelah ada kerusakan," ujarnya.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Parid Ridwan mengatakan hal serupa. Menurut dia, biaya pemulihan untuk kerusakan lingkungan bisa lebih besar daripada keuntungan yang didapat.
Dia mengatakan, jika pemerintah ingin menyehatkan laut, seharusnya bukan dengan memperbolehkan pengerukan sedimentasi, melainkan dengan tetap melindungi kawasan terumbu karang, padang lamun, dan bakau. “Ada beberapa aturan yang seharusnya lebih diprioritaskan, seperti harmonisasi RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove," katanya. Ia berharap pemerintah tidak melanjutkan kebijakan pengerukan sedimentasi laut.
Aktivitas pangkalan pasir laut di Tanjung Priok, Jakarta. Dok. TEMPO/Tri Handiyatn
Usulan penghapusan aturan juga datang dari Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Dalam laporan berjudul "Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum", tim merekomendasikan pembatalan PP Nomor 26 Tahun 2023. “PP ini membuka kembali ekspor pasir laut yang telah terbukti menyebabkan konflik serta memberikan dampak buruk terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup," demikian isi laporan itu.
Tim Percepatan Reformasi Hukum mengusulkan pencabutan peraturan pemerintah kepada Presiden Joko Widodo pada Desember 2023. Meski demikian, menurut Parid, rekomendasi ini tidak menjadi pertimbangan KKP. Tim pengkajian tetap bekerja menyiapkan rencana sedimentasi pasir laut.
Sorotan lain juga datang dari sisi potensi pendapatan negara. Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 menyatakan pemanfaatan pasir laut juga bisa untuk ekspor. Menurut ekonom Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, kebijakan ini pada akhirnya hanya akan menguntungkan Singapura sebagai negara yang sedang gencar mereklamasi wilayah. “Pemerintah Indonesia memang mendapat penerimaan dari kegiatan ekspor hasil laut ini, tapi sangat terbatas,” ujarnya, kemarin.
Menurut Huda, total cuan pengusaha bisa mencapai lebih dari Rp 700 miliar. Sementara itu, yang masuk ke negara hanya sekitar Rp 70 miliar. “Dampak kerusakannya bisa tiga kali lipat dari penerimaan negara, jadi kebijakan tersebut lebih banyak mudaratnya.”
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo