Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembina dan Penasehat Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI), Roy Suryo mencatat sejumlah kejanggalan dalam kecelakaan bus rombongan SMK Lingga Kencana Depok di Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kecelakaan itu terjadi pada Sabtu malam, 11 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roy mengatakan penyebab utama kecelakaan karena rem blong adalah alasan klasik. “Padahal kontur jalan menurun dan sewajarnya harus ada penurunan kecepatan yang signifikan,” kata Roy melalui keterangan tertulis pada Ahad, 12 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, bus yang membawa romongan SMK Lingga Kencana mengalami kecelakaan di Jalan Raya Kampung Palasari, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada 11 Mei lalu. Kecelakaan terjadi ketika rombogan hendak pulang ke Depok. Hingga siang ini tercatat, sebanyak 11 anggota rombongan meninggal dalam peristiwa itu.
Kecelakaan bus terjadi setelah para siswa dan guru makan di sebuah rumah makan usai acara perpisahan. Menurut saksi mata, bus itu sempat meluncur cepat dengan penerangan lampu hazard dan bukan lampu utama. Atas pernyataan tersebut, Roy memperkirakan adanya mati mesin hingga terjadi kecelakaan. “Sehingga praktis fungsi booster dan master rem abnormal,” ucap Roy.
Berdasarkan pengamatan polisi di lokasi kecelakaan pada Ahad, 12 Mei 2024, polisi tidak menemukan jejak rem kendaraan. Namun, ada satu bekas ban yang diduga satu ban bagian sebelah kanan.
Bus Putera Fajar, kata Roy, disebut sebagai bus keluaran tahun 2006 alias sudah 18 tahun beroperasi untuk carter pariwisata. Menurut dia, bus dengan usia di atas 10-15 tahun cukup untuk kapasitas 57 orang. Namun, harus melakukan perawatan lebih ketat. Terlebih, bus itu digunakan untuk bisnis pelayanan publik.
Pakar Telematika itu menganggap pernyataan sopir bus tak relevan saat diwawancarai salah satu media televisi. Ia tak yakin keterangan dari sopir tersebut dapat menjadi alasan kuat. Sebab, sang sopir mengaku sudah berpengalaman menyetir bus selama 28 tahun, tapi berujar baru pertama kali memegang Bus Putera Fajar. “Sebenarnya pernyataan itu akan bisa lebih banyak digali, bagaimana status dia sebagai karyawan tetap pemilik bus, atau ‘sopir dadakan’ alias ‘sopir tembak’,” ucap Roy.
Roy menganggap kesalahan tak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sopir. Sebab, ahli mekanik dan pemilik perusahaan ikut terlibat dalam kasus ini. Pemeriksaan harus dilakukan mulai dari perawatan teknis bus secara rutin oleh perusahaan. “Termasuk kelengkapan surat-surat kendaraan dan Uji KIR secara periodik minimal 6 bulan sekali untuk memastikan segala aspek teknisnya berjalan sebagaimana mestinya, mulai dari rem, lampu-lampu, klakson, sesuai UU lalu lintas yang mempersyaratkannya,” ujar Roy.