Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepekan kemarin sungguh merupakan hari yang padat bagi Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Sudarsono Hardjosukarto. Ia mesti meloncat dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa-Madura demi sebuah misi. Ia memasarkan ide tentang kebangsaan ke komunitas yang selama ini lebih banyak mengkaji ilmu agama tersebut.
”Kemarin dilakukan di Jakarta dan Sukabumi, lalu di Pesantren Edi Mancoro, Tuntang, Semarang. Besok saya ke Gontor, terus ke Alhamdiyah di Bangkalan,” kata Sudarsono kepada Dewi Rahmarini dari Tempo, Rabu pekan lalu. Kesibukan itu bahkan belum susut pekan ini, karena dia mesti turne ke Yogyakarta, Sidogiri, dan Banten. Misinya tetap, penanaman semangat nasionalisme ke penghuni pondok.
Sudarsono menamai proyek itu dengan sebutan halaqoh kebangsaan. Sesuai dengan namanya, dalam halaqoh yang dihadiri para pengasuh pesantren itu akan diberikan materi kebangsaan. Rinciannya, mulai dari materi tentang posisi Indonesia dalam percaturan global, ketatanegaraan pasca-amendemen UUD 1945, hingga peran pesantren dalam perjalanan berbangsa dan bernegara.
Sejauh ini ia diterima dengan tangan terbuka oleh para pengasuh pondok. Hanya ketika di Pesantren Edi Mancoro, sang tuan rumah, KH Mahfud Ridwan, sempat memberikan sembutan cukup kritis saat pembukaan halaqoh. Kiai lulusan Universitas Al-Azhar Kairo itu mengkritik pandangan bahwa pesantren adalah sarang teroris. Katanya, itu sangat tidak beralasan. Mahfud menduga pandangan itu sengaja disebarkan agar ada alasan untuk mengawasi umat Islam.
Pak Kiai merasa perlu menyatakan hal itu karena ia mendengar bisikan dari pengurus Rabithah Ma’had Islami (RMI) bahwa acara yang dibungkus dengan istilah halaqoh itu sejatinya bagian dari proyek Departemen Dalam Negeri untuk sosialisasi antiterorisme di pesantren. ”Ini tidak bisa dibiarkan, seolah pesantren adalah komunitas yang harus diawasi dan membahayakan negara,” katanya kepada Tempo.
Meski demikian, pelaksanaan halaqoh di Edi Mancoro berlangsung meriah. Aula pondok disesaki sekitar 250 pengasuh pesantren di lingkungan Jawa Tengah. Mereka memenuhi undangan yang diteken oleh RMI dan Departemen Dalam Negeri itu dengan antusias. Di tengah asap rokok yang memenuhi ruangan, para pria bersarung tersebut mengajukan berbagai pertanyaan yang kadang memancing tawa hadirin. Dalam ceramahnya pun Sudarsono sama sekali tidak menyinggung soal terorisme.
Kendati demikian, kecemasan KH Mahfud Ridwan itu bukanlah tanpa alasan. Ridwan pun tak sendirian dengan kegalauannya itu. Banyak orang pesantren dan tokoh Islam merasakan sorotan terhadap mereka kian tajam setelah serial aksi bom bunuh diri mengoyak negeri ini. Maklum, tak sedikit para pelaku istimata itu yang pernah memiliki hubungan dengan pondok pesantren pada masa lalunya. ”Pada masa awal Orde Baru, pesantren dan kiai dituduh tidak Pancasilais. Sekarang pesantren dituduh sebagai sarang teroris yang harus diawasi. Ini sungguh tidak benar,” ujar Mahfud.
Kegalauan menguat setelah beberapa kali Wakil Presiden Jusuf Kalla diberitakan mengeluarkan opininya tentang pesantren. Pemberitaan itu kemudian menuai respons keras komunitas pesantren, karena Kalla dianggap ingin mengawasi pesantren. Pengawasan itu mulai dari membatasi aktivitas hingga melakukan pemungutan sidik jari para santri. Kalla juga pernah mengungkapkan ada sekitar tiga pesantren yang melakukan aktivitas pencucian otak dan mengajarkan makna jihad secara keliru.
Tetapi Kalla membantah pernah mengeluarkan pernyataan melalui media massa akan membatasi kegiatan pondok. Adapun soal sidik jari dia mengaku hanya merespons usul yang datang dari kalangan pesantren sendiri. Ia tak sependapat dengan tudingan pesantren sebagai sarang teroris. ”99,9 persen dari 17 ribuan pesantren itu damai, hanya dua atau tiga yang perlu diteliti,” katanya. ”Di pesantren tak pernah terdengar mereka terlibat tawuran seperti di SMU atau kegiatan penganiayaan seperti di STPDN,” tuturnya.
Seperti dalam sebuah orkestra, pendapat Kalla itu diiringi pernyataan amat serasi oleh beberapa lembaga pemerintah yang menggelar berbagai proyek ke pesantren. Departemen Agama, misalnya, bersama Majelis Ulama Indonesia telah membentuk tim penanggulangan terorisme. ”Tim ini tengah membuat persiapan untuk memeriksa buku-buku yang selama ini digunakan di pesantren,” kata Jahja Umar, anggota tim, kepada Nur Aini dari Tempo.
Di sisi lain, Jahja, yang juga menjabat Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, menepis anggapan Departemen Agama akan mengawasi pesantren seiring dengan merebaknya isu terorisme. ”Justru tugas kami melayani pesantren, misalnya dengan mengajukan anggaran kepada pemerintah.”
Dari kantor Departemen Dalam Negeri, proyek lain bahkan telah meluncur kencang dengan motor utama Direktur Jenderal Sudarsono itu. Proyek ini diluncurkan dengan alasan ancaman tradisional (perlombaan senjata, sengketa perbatasan, dan lain-lain) dan non-tradisional (pencucian uang, penyalahgunaan obat terlarang, dan terorisme) kian kuat. Untuk itu orientasi kebangsaan perlu ditanamkan di kalangan pesantren. ”Karena peranan pesantren yang penting selama ini,” katanya. Proyek ini, kata dia, merupakan kerja sama pemerintah dengan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) dan RMI.
Dia menepis anggapan misinya itu proyek terselubung untuk mengawasi pesantren. Proyek ini, menurut dia, juga tak berkaitan dengan banyaknya pelaku bom bunuh diri dari pesantren. ”Itu semua tak berhubungan.”
Kegairahan pemerintah pusat menyusun berbagai proyek itu diikuti oleh daerah. Sekurangnya, di Jawa Barat, penguasa setempat telah menyusun panduan dakwah yang dikemas dalam sebuah buku. Dalam kitab setebal 212 halaman berjudul Desain dan Silabus Dakwah: Konteks dan Model Dakwah di Jawa Barat itu tersusunlah tema beragam, mulai dari akidah, ibadah, hingga politik. Di antara sub-tema terdapat bahasan mengenai G30S-PKI, Pancasila, toleransi, serta posisi Islam.
Tio Indrasetiadi, Kepala Biro Pelayanan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, menegaskan tujuan peluncuran silabus adalah untuk menyeragamkan rujukan dakwah. ”Harus ada satu keseragaman dan kesepahaman dalam memberikan pencerahan masyarakat,” katanya. Ia juga membantah penerbitannya berkaitan dengan isu terorisme. Sebab, menurut dia, buku itu sudah dirancang sejak 2003.
Kalla punya satu rumusan untuk mendukung seluruh kegiatan tersebut. Yakni, semua itu merupakan perwujudan dari kewajiban pemerintah untuk menjaga kepentingan umat. ”Apa tugas pemerintah kalau tidak menjaga umat dari keyakinan yang keliru?” Ia juga mengingatkan bahwa kesepakatan mengkaji ulang kurikulum di madrasah tertuang dalam ”pertemuan OKI baru-baru ini”. (baca: wawancara dengan Kalla)
Serangkaian penyangkalan di atas ternyata belum melegakan komunitas pesantren dan organisasi keislaman. Apalagi bukan hanya kegiatan pengawasan yang terjadi, aksi penggeledahan bahkan sudah menimpa beberapa pesantren. Salah satu yang terkena adalah pondok milik Ustad Ikhwan di kawasan Cipanas, Lebak, Rangkasbitung.
Kepada Tempo dia mengaku serombongan aparat berpakaian sipil pernah mendatangi pondoknya pada pertengahan September lalu. Mereka memeriksa ruang perpustakaan dan mencari buku yang berkaitan dengan terorisme. ”Itu tak hanya terjadi sekali, tapi sudah beberapa kali,” ceritanya pekan lalu.
Pada saat kejadian Ikhwan sudah menjelaskan mereka tak memiliki buku itu. Tetapi penjelasannya dianggap angin lalu dan para tamu tak diundang itu tetap mengacak-acak perpustakaan. Walhasil, setelah sekian lama menelisik setiap rak, mereka pulang dengan tangan hampa karena buku yang dicari nihil adanya.
Kini pondok yang mendidik sekitar 150 santri itu kembali berjalan normal seraya menunggu-nunggu tindakan lanjutan dari pemerintah—jika memang ada. Terhadap kemungkinan bakal munculnya silabus yang merevisi kurikulum pesantren, Ikhwan terkesan tak acuh. ”Terserah saja. Kalau cocok, ya kami gunakan. Tapi, kalau tidak, jangan paksa kami menekuninya.”
Kejadian serupa juga menimpa dua pesantren di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Sekretaris Eksternal Gerakan Pemuda Islam (GPI) Perwakilan Wilayah (PW) Jawa Barat, Rahmat Saefullah, mengisahkan dua pondok, yakni di Leuwi Ereng dan Cilawu, pernah dikunjungi aparat keamanan. Kepada pengasuh pondok yang menemui petugas mengajukan banyak pertanyaan, di antaranya tentang jihad, kurikulum pesantren, dan metode pengajaran. ”Pertanyaan yang diajukan lebih mirip interogasi,” katanya. Rahmat mengakui banyak santri di dua pondok itu yang telah menjadi anggota GPI.
Tidak hanya itu. Dari segi pengembangan organisasi, GPI juga mengaku mendapat hambatan. Sekretaris Umum GPI Jawa Barat, Nurdin Qusyaeri, menegaskan hal itu disebabkan kian ketatnya pengawasan aparat. Bentuk hambatan yang sering muncul adalah pertanyaan mengenai izin kegiatan. ”Padahal dari dulu tidak pernah ada keharusan perlunya izin untuk acara intern organisasi,” katanya. Tetapi ia mafhum GPI menjadi sasaran kecurigaan, karena stigma Islam garis keras kadung melekat di organisasinya.
Tidak hanya di kawasan Jawa Barat, ”silaturahmi” dadakan petugas keamanan juga dialami Pesantren Al-Islam, Lamongan, Jawa Timur, yang terkenal sebagai tempat sebagian pelaku bom Bali I menuntut ilmu. Pada awal bulan ini aparat berpakaian sipil mendatangi Ustad Mohammad Khozin, pimpinan pondok, dan menyatakan hendak mengambil sidik jari para santri. Tetapi niat itu ditolak mentah-mentah Khozin, meski mereka mengaku mendapat perintah dari atasan. Untunglah aparat tak memaksakan kehendaknya.
Gagasan pengambilan sidik jari itu seakan menjadi bukti bahwa kagalauan komunitas pondok selama ini beralasan. Apalagi gagasan ini diberitakan didukung oleh Wakil Presiden. Namun, menurut Jusuf Kalla, ide itu pertama kali datang dari ulama di Ciamis, Jawa Barat, dalam acara silaturahmi dengan Kepala Polres setempat. ”Dan saya hanya merespons ketika ditanya wartawan.”
Tetapi, tentu saja, karena respons itu datang dari seorang wakil presiden, dampak hebat pun merebak di masyarakat. Serangkaian kecaman dan penolakan pun muncul dari delapan penjuru. (baca Tempo edisi 12-18 Desember 2005)
Hingga pekan lalu sejatinya tidak jelas benar dari mana ide itu bermula. Kapolres Ciamis, AKBP Drs Istiono, membantah ide unik itu terlontar dalam pertemuannya dengan pengasuh pesantren. Apalagi pertemuan silaturahmi itu baru berlangsung Selasa pekan lalu—alias beberapa minggu setelah heboh isu sidik jari meruyak. ”Pada saat itu tidak ada satu pun pengasuh atau ulama yang melontarkan perlunya pengambilan sidik jari,” kata dia. Istiono menduga jangan-jangan yang dimaksud adalah dari Cimahi.
Sedangkan dari Cimahi, Kapolres Kota Cimahi, Ajun Komisaris Besar Polisi E. Permadi, juga membantah gagasan itu meletik dari wilayahnya. Ia mengakui ada pertemuan dengan pengasuh pondok guna menyamakan persepsi sekitar fatwa MUI tentang jihad dan terorisme. Tetapi saat itu sama sekali tidak disinggung soal pengumpulan sidik jari.
Namun, esok harinya, beberapa harian lokal dan nasional menulis berita yang menyebut rencana polisi hendak mengumpulkan sidik jari para santri. ”Saya bingung, kenapa muncul isu itu,” katanya.
Permadi menduga hal itu terjadi mungkin ketika KH Noor Alan, pengasuh Pesantren Cibeureum Kidul, meminta saran dari dia untuk memperbaiki administrasi data santri. Sebab, sebelumnya para santri hanya mencantumkan nama dan alamat. ”Saya sarankan agar pakai foto dan ditambah KTP,” tuturnya. Kejadian inilah, dalam perkiraan dia, yang ditafsirkan wartawan dia hendak mengumpulkan sidik jari. Akibatnya, tak kurang Kepala Kepolisian RI, Jenderal Sutanto, meneleponnya untuk minta penjelasan.
Maklum, kesimpang-siuran pemberitaan sempat meniupkan isu sensitif di pesantren dan menimbulkan polemik hebat. Tetapi kini komunitas pesantren boleh melupakan isu sidik jari, setidaknya untuk sementara, karena Jenderal Sutanto menggaransi bahwa hal itu tak akan dilakukan. Kalaupun dilakukan, semata-mata sebagai bagian dari penyidikan kasus saja, dan bukan karena institusi pesantrennya.
Sementara ide pemungutan sidik jari batal, tidak demikian dengan safari halaqoh kebangsaan milik Departemen Dalam Negeri. Menurut Sudarsono, halaqoh masih akan terus berlangsung hingga Maret tahun depan. Penghuni pondok pun sepertinya harus siap-siap memamah gerojokan materi mirip penataran P-4 yang dipadatkan itu.
Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi menyilakan tim halaqoh datang ke pesantren untuk memperkuat visi kebangsaan. Ia malah melontarkan saran bagi pemerintah jika ingin mencegah terorisme. ”Perkuat jajaran intelijen yang selama ini lemah,” imbaunya.
Namun sebaliknya dia juga mewanti-wanti agar dalam penguatan intelijen itu, asas demokrasi tak dilanggar. Dia secara khusus meminta RUU Intelijen yang tengah dibahas tidak melampaui batas-batas tersebut. Rupanya Pak Kiai khawatir, ”barang” yang satu itu juga bisa menjadi alat merepresi kehidupan di pesantren.
Tulus Wijanarko, Muchamad Nafi, Sohirin (Semarang), Ahmad Fikri (Bandung), Faidil Akbar (Banten), Rambat Eko (Ciamis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo