BELUM tua usia PBB, tapi banyak sudah orang yang protes. PBB di sini tentu saja Pajak Bumi dan Bangunan, dalam umurnya yang setahun lebih. Yang terkena bermacam-macam, juga keluhannya: mulai dari pengelola gedung tinggi sampai dengan para penghuni tempat tinggal yang masih dalam status "kredit pemilikan rumah" (KPR) -- yang diberikan oleh Bank Tabungan Nasional (BTN). Alasannya? Pengelola gedung tinggi memprotes, misalnya, karena taman yang menempel di bangunan itu -- mereka anggap itu buat memperindah lingkungan di kota ikut terkena pajak. Klien KPR BTN merasa tak layak kena PBB, karena rumah mereka belum jadi milik penuh. Adapun grundelan lain terutama terdengar di daerah-daerah. Maklum, ketika zaman Ipeda masih berlaku, yang mereka bayar untuk pajak sangat murah. Untuk sebuah rumah tembok yang berdiri di atas tanah seluas 300 m2, di wilayah daerah tingkat II, misalnya, pajak atau "iuran"-nya cuma Rp 1.500,00. Tapi, setelah Ipeda jadi PBB, yang harus dibayar Rp 4.500,00. Apalagi kalau tarif yang ditetapkan dianggap menyimpang. Seperti yang terjadi di Kecamatan Tambun, Kabupaten Bekasi sebuah kasus yang mencolok. Tiga rumah yang semi-permanen dan masing-masing didirikan di atas tanah 300 m2 dikenai tarif Rp 47 ribu. Padahal, kata pemiliknya, menurut rumus perhitungan PBB, (0,5% x 20% x harga jual tanah dan bangunan), jatuhnya hanya sekitar Rp 20 ribu. "Jelas, kami tak mau bayar," kata pemilik yang tak mau disebut namanya. Memang, dari tiga rumah itu hanya satu yang terkena pajak bumi plus bangunannya. Sementara itu, dua lainnya hanya terkena pajak bumi saja, karena nilai bangunannya kurang dari Rp 2 juta. Ada lagi yang membingungkan: sebuah bangunan bilik berukuran 60 m2, diatas tanah 100 m2, dikenai PBB Rp 18.000,00. Berdasarkan perhitungan, seharusnya cuma Rp 1.700,00. Bagaimana mengatasi keluhan macam ini? Setelah petugas penagih dari kelurahan bolak-balik, akhirnya jalan keluarnya adalah -- yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam perpajakan -- tawar-menawar. Tercapailah kesepakatan: PBB ditetapkan Rp 5.000,00. Keganjilan macam itu tampaknya sulit dihindarkan di tingkat bawah, apalagi karena kelurahan harus mengejar target. Di Kecamatan Tambun itu sampai terdengar suara bahwa camat akan bertindak tegas terhadap desa-desa bawahannya yang tak memenuhi sasaran jumlah penerimaan PBB. Misalnya, konon, harta milik kelurahan seperti sepeda motor, akan "disandera". Sofyan, Kepala Administrasi Kecamatan yang menangani masalah PBB, membantah adanya sanksi itu. Ia juga membantah penggandaan tarif. Katanya, "Persisnya saya tidak tahu, tapi saya yakin, itu tidak pernah terjadi." Alasannya, selain penarikan dilakukan berdasarkan pada buku pegangan yang dikeluarkan inspeksi pajak, juga pihak kecamatan selalu "mengadakan pembinaan operasional" ke desa-desa. Bukti lain: target PBB Rp 141 juta, dari sekitar 20 ribu wajib pajak, sudah tercapai. Orang di Tambun boleh ragu mendengar itu, tapi siapa tahu? Di tingkat atas juga sudah bertiup optimisme. Menurut Dirjen Pajak, Salamun A.T., target 1987 pasti tercapai, kendati pada akhir kuartal ke-2 PBB yang tertarik baru 46,6% dari Rp 274 milyar yang dibidik. Soal penggandaan tarif seperti yang dikabarkan terjadi di daerah? Salamun tak bisa sepenuhnya mengoreksi, sebab soal penarikan pajak di bawah adalah, "urusan Departeman Dalam Negeri, yang membawahkan kecamatan." Bagi Ditjen Pajak, yang penting tentu saja tercapainya sasaran PBB dalam bentuk jumlah uang yang masuk. Maklum, pihak Pajak tak mampu mengurus ketaatan (apalagi keluh-kesah) 11 juta subyek pajak yang tersebar di seluruh Republik. Apalagi untuk daerah tingkat II, 64,8% dari PBB merupakan hak pemda. Dalam suasana anggaran harus menyesuaikan diri dengan pendapatan yang cupet sekarang, prestasi menyedot PBB memang merupakan prestasi tersendiri bagi sebuah pemda. Yang belum jelas: bagaimana pembayar pajak bisa lebih bersuara tentang tindak-tanduk pemda yang sudah mereka sumbang itu. Budi Kusumah dan Priyono B.S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini